16. Jika Angkasa Adalah Bahagia

101 21 4
                                    

Dengan helaan napas berat di dada, Lisya berhenti di tempat. Ia lantas berbalik, menatap seseorang di balik gerbang megah rumahnya. Orang itu melambaikan telapak tangan, tak lupa senyum bodoh yang membuat Lisya ilfeel.

"Hai," ucap Adyt kecil sambil melambaikan tangan pada Lisya.

Ia sedang tak ingin di rumah sekarang. Memang bukan Adyt satu-satunya orang yang dapat membantunya sekarang. Ia bisa pergi kemana saja sendiri. Namun, mata Adyt tak bisa berbohong. Lelaki itu berharap lebih pada Lisya. Karena mood-nya sedang buruk sekaligus kasihan pada Adyt, Lisya pun berjalan ke arah gerbang rumahnya.

Gadis itu keluar rumah tanpa izin. Setidaknya ada satpam yang melihatnya keluar. Tolong, gw pengen hari ini berakhir lebih cepet lagi, batinnya.

"Mau main sama gue, kan?" tanya Adyt. Lisya membalasnya dengan sekali kedipan mata. "Kita ke rumah sakit dulu kalo gitu," sambungnya.

***

Perjalanan itu membutuhkan waktu yang sedikit lama karena rumah sakit agak jauh dari posisi mereka sebelumnya. Selain itu, Adyt juga menjalankan modusnya. Lelaki itu mengendarai motor dengan lambat supaya bisa berdua lebih lama dengan Lisya.

"Tau, gak, sih. Tadinya gue pengen pulang habis dari apotek. Tapi, akhirnya gue milih buat ngikutin lo ke rumah. Gue takut ada sesuatu yang terjadi sama lo," oceh Adyt. "Tau, gak, sih. Gue masih bingung, kenapa lo marah waktu itu. Mungkin lo kaget karena tau kalo orang yang ngasih lo surat itu gue. Tapi, gue udah pernah nulis penjelasan kalo gue bukan Gean, gue juga udah kasih kode samar, biar lo bisa nebak kalo itu gue. Gue kira lo gak marah, karena lo keliatan biasa aja. Atau jangan-jangan ... lo emang belum baca surat itu?" tanya Adyt, melanjutkan ucapannya sendiri.

Tidak ada jawaban dan Adyt juga tidak mengharapkan jawaban. Yang membuatnya sedikit aneh adalah, punggung dan bahunya terasa berat. Ia melirik spion, lalu tersenyum setelahnya. Yang ia lihat adalah wajah sayu Lisya yang tertidur sambil menyandarkan kepala di bahunya.

Adyt lantas menarik tangan kiri Lisya, kemudian menautkannya di tangannya, menggenggamnya dengan erat, lalu melingkarkan tangan Lisya di pinggangnya. Menyetir dengan satu tangan tak membuatnya kesusahan sedikit pun. Justru ini adalah suatu kesempatan baginya.

Tak lama kemudian, motor yang dikendarai Adyt dan Lisya berhenti di parkiran rumah sakit. Adyt lantas memanggil nama Lisya seraya menepuk pelan pipi gadis itu. Lisya terbangun, gadis itu masih menyesuaikan matanya dengan cahaya matahari.

"Sya, kita udah di rumah sakit," ucap Adyt. Lisya mengucek matanya supaya tidak mengantuk lagi. Setelahnya, ia turun dari motor, begitu juga dengan Adyt.

"Bentar dulu." Adyt menatap Lisya. Lelaki itu menyerapikan rambut Lisya yang berantakan dan menyelipkan anak rambut Lisya di telinga. "Cantik," ujarnya sambil tersenyum.

Lisya menelan ludah gusar. Adyt dan Gean memang sosok yang berbeda, namun sama-sama peduli padanya. Sayangnya, seberapa besar perhatian yang Adyt berikan, Lisya tak memiliki niatan untuk menyukai lelaki itu seperti ia menyukai Gean. Bahkan Lisya berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan menyukai Adyt sampai kapanpun.

"Jangan ngeliatin gue kaya gitu, gak sehat buat jantung gue," kata Adyt dengan senyum manis di bibirnya.

Seketika Lisya tersentak dari lamunannya. Ia mengedipkan mata beberapa kali, kemudian berjalan menuju pintu rumah sakit. Adyt melebarkan senyumnya sekilas, sebelum akhirnya mengikuti Lisya dari belakang.

***

Hampir setengah jam lamanya, akhirnya Lisya dan Adyt keluar dari rumah sakit. Beruntung yang Lisya alami hanya demam biasa. Dengan obat, ia bisa sembuh dalam waktu beberapa hari saja.

Cactus Girl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang