12. Boleh Jatuh Hati, tapi Harus Tahu Kapan Berhenti

108 20 0
                                    

Bintang-bintang malam ini tertutup mega mendung. Awannya tak tampak sebab gelap. Rembulan memancarkan cahaya, namun entah di belahan bumi mana. Intinya suram. Bagi sebagian orang, keadaan ini sangat mencekam, apalagi di tengah hutan.

Lain halnya dengan sepasang mata yang menatap langit saat ini. Bukan malam yang ia takutkan, melainkan sesuatu yang sedari tadi ada di pikirannya. Ia melewatkan acara puncak malam ini. Sengaja memang, meski sudah dilarang.

Adyt, pemilik sepasang mata legam itu membalikkan tubuh, membelakangi jendela terbuka yang sedari tadi menjadi tempatnya merenung. Ia lantas melangkah, mengambil jaket, kemudian memakainya. Sepi, semua orang tengah berada di depan villa untuk acara pentas malam ini.

Setelah keluar dari kamar dan menutup pintu, Adyt melangkahkan kakinya menuju deretan kamar wanita. Usai berada di depan salah satu kamar di sana, ia berhenti. Tatapan lembutnya terpaku pada pintu kamar.

Ia menatap pintu tersebut sejenak dari jarak satu meter. Beberapa saat kemudian, ia menghela napas. Setelah itu, ia melangkah pergi dari tempat tersebut. Niatnya memang hanya untuk mendatangi kamar itu sejenak, mengecek, apakah salah satu penghuni kamar itu baik-baik saja atau tidak.

Ceklek

Baru beberapa langkah, Adyt spontan berhenti di tempatnya. Ia yakin bahwa itu adalah suara pintu kamar yang terbuka. Ia berbalik, melihat barangkali yang membuka adalah orang yang sedari tadi membuatnya khawatir.

Benar saja. Di sana, Adyt melihat Lisya keluar dari kamar. Wajahnya putih pucat. Gadis itu tampak lemah dengan perban yang membalut kepalanya. Dengan segera, Adyt berlari ke arah Lisya.

"Lo mau kemana?" tanya Adyt. Ia tak membutuhkan jawaban, sebab, bukan itu yang sebenarnya ingin ia tanyakan.

Lisya memegangi kepalanya yang terasa berat. Selain itu, ia merasa perih di bagian belakang kepala. Ia mengingat dengan betul bahwa ia terjatuh ke sungai siang tadi. Ia pikir ia mati, ternyata ini belum waktunya.

Lisya berusaha sekuat mungkin menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Ia ingat ada acara puncak malam ini. Gean akan tampil, dan ia harus melihat penampilan sahabatnya itu. Ia ingin mendengar Gean bernyanyi sambil bermain gitar. Harus.

"Jangan banyak gerak, kondisi lo masih belum stabil," ucap Adyt seraya memegangi Lisya agar tubuh gadis itu tidak terhuyung.

Lisya menyingkirkan tangan Adyt yang merangkul pundaknya. Lelaki ini ... Lisya menyebutnya sebagai pengganggu. Tiba-tiba datang, dan entah sejak kapan sudah berada di depan kamar yang ditempatinya.

Lisya melangkah, meninggalkan Adyt dengan langkah yang sedikit ngilu. Tapi, Lisya gadis yang kuat. Ia tak boleh tumbang hanya karena luka di kepala.

"Sya!" Panggilan dari Adyt sama sekali tak dihiraukan oleh Lisya. Adyt berdecak. Geram sekaligus cemas, Adyt mendekati Lisya, kemudian menggendong gadis itu.

Lisya terkejut, tubuhnya tiba-tiba saja terangkat ke udara. Rupanya, Adyt menggendongnya. Ia meronta supaya lelaki itu menurunkannya, namun tak ada respon sama sekali.

"Lo mau liat Gean, kan?" tanya Adyt. Lisya merotasi bola matanya. "Gue bawa lo ke sana."

Benar saja. Adyt berjalan ke arah depan villa sambil menggendong Lisya ala bridal style. Lisya sedikit keberatan, karena Adyt menggendongnya tanpa izin. Namun, bukannya meminta untuk diturunkan seperti tadi, Lisya justru terdiam.

Mata gadis itu tertuju pada wajah Adyt sepenuhnya. Entah bagaimana Adyt menyita perhatiannya sepenuhnya kali ini. Dari bawah, Lisya menatap Adyt tanpa berkedip sama sekali, terutama pada mata hitam lelaki itu.

Cactus Girl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang