10. Bukannya Mengobati, Justru Makin Menyakiti

113 24 0
                                    

Ini adalah hari kedua, hari di mana outbond akan dilaksanakan. Beberapa murid sudah siap memakai kaos olahraga, dan sebagian masih mengantre untuk mandi. Sementara itu, guru-guru tengah mempersiapkan sarapan untuk semuanya.

Tak ada yang menarik untuk Lisya sekarang, selain menatap Gean dari kejauhan. Lelaki itu tengah membantu para guru menyiapkan sarapan di aula. Gadis itu mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sampai tenang. Ia lantas melangkahkan kaki menghampiri Gean.

"Eh, Sya. Ngapain di sini?" Ternyata Gean menyadari keberadaannya. Lelaki itu sesekali menatapnya sambil meletakkan alat makan di meja. "Udah laper, ya?" tanya Gean.

Lisya yang sudah berada di dekat Gean pun menggeleng.

"Yaudah, lo tunggu di luar dulu. Takutnya lo dimarahin guru-guru karena dianggap ganggu," ucap Gean. Wajah Lisya berubah seketika saat mendengar ucapan itu. Sebenarnya dirinya ingin membantu, namun Gean terlanjur mengatakan hal tersebut. "Oh, ya. Sama rambutnya, jangan lupa dikuncir biar gak berantakan," tambahnya.

Dirinya hanya bisa mengangguk, lalu pergi dari aula. Baru beberapa langkah ia meninggalkan Gean, dirinya mendengar suara yang begitu familiar di indra pendengarannya.

"Gean. Ini piringnya mau ditaruh mana? Kata Bu Sella suruh ngasih ke kamu." Lisya seketika berbalik, memastikan bahwa ada yang salah dengan telinganya. Nyatanya tidak. Itu benar-benar suara Anya yang saat ini sedang berada di dekat Gean sambil membawa setumpuk piring.

Lisya berhenti sejenak sambil melihat Anya dan Gean bicara.

"Ini udah dilap semua, kan?" tanya Gean. Anya mengangguk. "Taruh sini, nanti gue yang tata," ucap lelaki itu.

"Biar gue bantu nata piringnya." Anya memaksa membantu Gean.

"Gak usah. Sini, biar gue aja," ucap Gean seraya mengulurkan tangan, hendak mengambil piring yang ada di tangan Anya. Karena posisi itu, tangan mereka tak sengaja bersentuhan. Telapak tangan Gean menggenggam tangan Anya. Lisya melihatnya dengan jelas bahwa mereka bertatapan.

"Eh, Sya. Gue nyariin lo dari tadi. Kata temen-temen lo, lo di sini." Lisya langsung menoleh ketika mendengar namanya disebut. Ia menatap orang tersebut dengan intens, lalu memutuskan untuk pergi dari tempat itu.

Orang itu-Adyt-tiba-tiba mencekal tangan Lisya saat gadis itu melangkah pergi. "Gue tau lo cemburu. Jangan terlalu dipikirin. Itu cuma kebetulan aja," ucap Adyt dengan suara yang kecil, namun Lisya masih dapat mendengarnya.

Lisya menyentak tangan Adyt dengan keras, namun Adyt mencengkram tangannya lebih kuat. Adyt menyejajarkan posisinya dengan Lisya, kemudian membalikkan telapak tangan gadis itu.

"Sakit, kan? Ayo, gue obatin lagi. Tapi, kali ini jangan kabur, jangan sampe luka lo infeksi, bahaya." Tanpa berucap lagi, Adyt menarik tangan Lisya keluar dari aula menuju sebuah tempat. Tempat itu tidak jauh dari villa, namun Lisya merasa perasaanya tidak enak.

"Duduk." Adyt menepuk tempat di sebelahnya setelah dirinya duduk di bawah pohon. Tak melihat tanda-tanda Lisya akan duduk, Adyt menatap Lisya tanpa beralih sedikitpun. "Duduk, gue gak mau ngapa-ngapain lo. Gue cuma mau obatin luka yang kemarin, karena gue adalah penyebab luka di tangan lo."

Lisya menghela napas. Benar, tangannya harus diperban agar tidak perih jika ia ingin melakukan sesuatu. Kemarin saja dirinya hampir menangis karena menahan perih SAA merapikan barang-barang. Rasanya sangat sakit saat luka terbuka di tangannya bersentuhan langsung dengan benda.

Dengan berat hati, Lisya duduk di samping Adyt. Gadis itu segera mengulurkan tangannya untuk diobati. Ia tak ingin berlama-lama di sini.

Adyt tersenyum kecil saat melihat tingkah Lisya. Yang ditatap pun mengalihkan wajahnya dengan sinis. Kalau bukan karena lukanya yang menganga, ia tak akan mau berada di sini bersama lelaki yang baru ia kenal.

Cactus Girl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang