Puk puk puk
Bi Sasti menepuk pelan pipi Lisya. Gadis itu terbaring di atas tempat tidur dengan pakaian kering.
"Bangun, Non," kata Bi Sasti.
Puk puk puk
Setelah menepuk pipi Lisya yang kedua kalinya, Lisya akhirnya terbangun. Ia membuka matanya perlahan.
"Alhamdulillah, Non udah bangun. Makan dulu, Non. Bibi udah buatin bubur." Bi Sasti tersenyum lega.
Lisya yang masih berusaha mengumpulkan kesadaran penuh seketika menatap sekelilingnya. Seingatnya, ia tidur di teras dan bajunya basah karena hujan semalam. Tapi sekarang, ia berada di kamarnya dalam keadaan pakaian yang sudah berganti dan tubuhnya tertutup selimut.
Bang Raja yang bawa gue ke sini? tanya Lisya membatin.
"Duduk dulu, Bibi bantu." Ucapan Bi Sasti spontan menyadarkan Lisya dari lamunannya. Lisya lantas mengubah posisinya menjadi duduk, dibantu oleh Bi Sasti.
Bi Sasti mengambil semangkuk bubur yang ada di meja. Ia mulai menyendok dan menyuapkannya ke mulut Lisya. Bukannya Lisya ingin merepotkan Bi Sasti, ia tak memiliki niat seperti itu. Ia hanya sedang tidak baik-baik saja.
Bahkan bubur hangat yang ia makan tak cukup membuat dingin di tubuhnya menghilang. Kepalanya juga sakit, sepertinya ia demam, lagi.
"Maaf, ya, Bibi gak bisa bawa kamu ke rumah sakit, Bibi takut dimarahin. Jadinya, cuma ini yang bisa Bibi lakuin. Untung juga ada Pak Parman yang bawa kamu ke sini." Bi Sasti mencoba mengajak Lisya bicara supaya suasananya tidak terlalu tegang.
Ada sedikit pukulan di hati Lisya.
Ralat. Bukan sedikit.
Ini terasa seperti dihantam batu yang besar. Lisya pikir, Raja yang menggendongnya kemari. Apa berharap pada Raja adalah sebuah kesalahan? Karena sepertinya, harapannya selama bertahun-tahun ini tidak pernah terwujud. Raja masih sama dengan sifat egoisnya.
"Kalo Bibi boleh ngomong, Bibi cuma mau bilang, kamu anak yang kuat. Keluarga kamu mungkin gak memperlakukan kamu dengan baik, rumah ini juga mungkin bukan rumah yang nyaman. Tapi, biar gimanapun, keluarga adalah orang yang akan tetap ada di sisi kamu sampai akhir," ucap Bi Sasti. Terdengar halus, namun terlihat seperti omong kosong.
Bohong jika Lisya merasa nyaman di rumah ini. Bohong jika ia adalah orang yang kuat. Bohong jika ia tidak membenci keluarganya. Ia diperlakukan seperti sampah selama ini, sampai ia juga membenci dirinya sendiri.
Tapi, Lisya juga tidak punya tempat lain untuk pulang selain keluarganya. Bahkan Gean, orang yang ia anggap sebagai penolongnya, ternyata juga menciptakan luka.
"Non gak boleh nyerah, dunia butuh manusia yang kuat." Mungkin Bi Sasti terlalu banyak menonton sinetron sampai bisa mengucapkan kata-kata melankolis seperti itu.
Tetapi tetap saja, menyerah adalah pilihan untuk Lisya saat ini.
***
Lisya masih terbaring di tempat tidur, bahkan hingga sore menjelang. Gadis itu mencoba untuk tidak tidur lagi. Ia sudah tidur dari pagi hingga siang karena efek obat yang ia minum pagi tadi. Dan, ya, karena minum obat lagi, Lisya jadi mengantuk lagi.
Akhirnya, gadis itu terduduk sambil bersandar pada dinding. Ia merapikan rambutnya yang menutupi wajah. Gadis itu mulai memikirkan seseorang, salah satu penyebab overthinking-nya selama ini. Gean.
Berkali-kali ia berpikir untuk jujur pada Gean tentang perasaannya. Sejak dulu. Namun, ia tak cukup berani melakukan itu. Ia terlalu positive thinking, mengira Gean yang akan menyatakan cinta padanya suatu hari nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cactus Girl [END]
Teen Fiction-Kita serasi, namun tak serasa- *** Lisya adalah satu dari segelintir orang dengan keterbatasan indra yang bisa masuk sekolah normal. Tapi sayang, dia dingin dan menusuk bagai tumbuhan hijau berduri yang disebut kaktus. Orang pikir, kaktus tak perna...