24. Manusia Kadang Lupa Bahwa Bom Waktu Bisa Meledak Kapan Saja

91 21 2
                                    

Suara ala mesin pengering rambut terdengar di kamar Gean malam ini. Lelaki itu tengah mengeringkan rambut usai mandi. Aroma harum sabun mandi juga masih tercium dari tubuh lelaki berusia 17 tahun itu.

Saat masih sibuk menyisir rambut, sesuatu tiba-tiba menarik perhatiannya. Sebuah kertas berwarna putih terlipat di atas meja belajarnya. Lelaki itu lantas cepat-cepat merapikan rambutnya dan mematikan alat pengering rambut yang ia pegang.

Setelahnya, Gean melangkah menuju meja belajar. Ia mengambil kertas itu sambil bergumam, "Apaan, nih?"

Ketika ia membuka lipatannya, tampak deretan tulisan yang ia kenal betul pemiliknya. "Kapan Lisya ngasih ini ke gue?" tanyanya bermonolog. "Oh, iya. Sebelum dia pergi sama Adyt, dia ngasih ini ke gue." Ia terkekeh sendiri, mengejek dirinya yang lupa.

Ia baru teringat kejadian sore tadi, saat ia bertemu dengan Lisya di depan sebuah cafe. Ia sama sekali tak berpikir akan bertemu Lisya di sana, sebab sebenarnya tadi, ia tengah kencan dengan Anya.

Baru saja ia membukanya, pintu kamarnya pun juga terbuka.

"Buruan turun, ditunggu Mama di meja makan," ucap sesosok gadis di ambang pintu.

Gean spontan mengalihkan tatapannya sejak pintu terbuka. Lelaki itupun membalas ucapan kakaknya dengan satu kata. "Iya."

***

Pagi ini, tahun ajaran semester 2 akan dimulai. Suara ramai murid memenuhi sekolah yang sepi beberapa minggu terakhir. Mereka mulai menceritakan tentang liburan akhir tahun atau semacamnya. Intinya, sekarang sekolah sudah hampir dipenuhi oleh murid.

"Lisya!" Seseorang berseru dari belakang. Lisya yang berjalan beberapa langkah memasuki gerbang sekolah, spontan menoleh ke belakang.

Adyt tersenyum manis, semakin manis saat ia melihat gadis yang ia panggil namanya menoleh pada dirinya. Ia berlari menghampiri Lisya. Setelahnya, lelaki itu menyamakan langkah.

Berjalan beriringan, Adyt tiba-tiba menempelkan tangannya di kening Lisya. "Udah reda demamnya," ucapnya seraya mengangguk.

"Maaf, ya, gue bikin lo sakit karena hujan-hujanan." Ia menyambung ucapannya dengan raut menyesal. Lisya menggeleng sambil tersenyum seakan mengatakan bahwa itu bukan masalah.

"Maaf juga buat kemarin lusa." Masih dengan langkah yang sama, Lisya mengernyitkan alis usai mendengar perkataan Adyt.

"Gue belum sempet ngomong sesuatu ke lo waktu itu. Jadi, pulang sekolah, mau jalan sama gue?" tanya Adyt. Lisya menggeleng tak mau, sok jual mahal.

"Gue bakal ngomong, deh. Serius. Gak bakal gue tunda lagi," bujuk lelaki itu pada Lisya. Lisya masih menggeleng.

"Beneran, gue janji!" Adyt menyangangkat satu jari paling kecil di tangan kanannya, kelingking, seakan ia berjanji untuk jujur nanti.

Sekali lagi Lisya menggeleng. Gadis itu mempercepat langkahnya, sengaja menjauh dari Adyt. Melihat itu, Adyt berdecak seketika. "Dasar cewek keras kepala!"

Lelaki itu berlari mengejar Lisya, kemudian menghadangnya. Lisya sontak berhenti di tempat saat Adyt berhenti di depannya. Gadis itu terkejut bukan main karena Adyt tiba-tiba berhenti tepat 5 cm di hadapannya. Hidung mereka bahkan hampir bersentuhan.

Lisya membulatkan mata kaget. Jantungnya berdegup sangat kencang. Dunia terasa bergerak sangat lambat. Jarak mereka sangat dekat, Lisya dapat merasakan embusan napas Adyt.

Lisya merasakan sesuatu yang baru. Ia mencintai Adyt. Entah sejak kapan, namun ia baru berani mengakuinya. Ia pikir, Adyt hanyalah pengisi kekosongan hatinya. Nyatanya, ia salah kaprah soal itu. Meski sebagian hatinya masih dimiliki Gean, ia akan mencoba untuk move on.

Cactus Girl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang