8. Lari tanpa Kaki, Jejaknya Tak Ada, namun Sakitnya Nyata

129 26 0
                                    

Dengung memenuhi indra pendengaran Lisya saat ini. Kepalanya terasa berat, bahkan sangat berat saat diangkat. Ia baru sadar, ia tidur di lantai semalaman. Ia juga ingat mengenai yang terjadi tadi malam, soal Raja yang membawa pergi uang untuk membayar outbond sekolah.

Gadis itu terduduk sambil memegangi kepala. Setelah dirasa lebih baik, ia lantas berdiri untuk pindah di kasur. Matanya tak kalah terasa berat untuk dibuka, mungkin efek menangis hingga terpejam. Pasti matanya sekarang membengkak sembab.

Usai ia duduk di kasur, diambilnya ponsel yang ada di atas nakas. Ternyata pukul 3 dini hari lebih. Sebentar lagi akan terdengar adzan subuh. Lisya memilih untuk tidak tidur lagi. Gadis itu memainkan ponselnya.

Lisya membuka aplikasi berwarna hijau putih bergambar telepon di tengahnya. Seperti biasa, yang ia tujuh pertama kali adalah kontak Gean. Membuka room chat lelaki itu, lalu melihat statusnya. Last seen-nya masih sama seperti saat dirinya mendapat pesan terakhir Dari Gean. Setelah itu, Lisya mengirimkan pesan pada Gean bahwa ia tidak jadi mengikuti acara ulang tahun sekolah itu. Lisya sedih, gadis itu membayangkan Gean akan kecewa karena dirinya tidak ada dalam acara ulang tahun sekolah untuk yang kedua kalinya.

Selesai mengabari, Lisya mematikan ponselnya. Gadis itu melamun dengan pikiran yang berputar tanpa henti. Tentang masalah yang ada, tentang rasa insecure yang semakin nyata, hingga tentang manusia yang memperlakukannya secara berbeda. Orang mengenainya dengan overthinking. Gadis itu berpikir terlalu keras, mungkin hampir depresi, namun otaknya masih bersih, hanya ada gumpalan masalah seberat kapas yang semakin lama menjadi batu.

Tapi, Lisya tidak boleh menyerah begitu saja. Ia pun tak ingin terlihat lemah meski kenyataannya memang begitu. Lisya hanya sok kuat, selalu mengatakan pada dirinya sendiri bahwa 'Tidak apa kalau tidak bisa bicara, itu bukan masalah yang besar.'

Kenyataannya itu salah besar. Lisya yang terlalu lemah atau dunia yang terlalu kuat untuk memukulnya dan membentuknya sedemikian rupa, kadang juga sampai tak berbentuk saking hancurnya.

Lisya ingin hidup dengan normal. Tapi, semua itu hanya sebatas 'ingin', tetap akan menjadi angan sampai kapanpun. Saat orang mengatakan dirinya bisu dan tidak berguna, awalnya Lisya menyangkal semua itu. Ia bisa melakukan semua hal meskipun ia tidak bisa bicara.

Nyatanya ia salah, lagi. Ia selalu berpikir untuk bodo amat, tak peduli dengan ucapan tentang kekurangannya ini. Sekeras mungkin ia menepis rasa bahwa ia memang tak berguna di dunia.

Tapi tetap saja, ia tak bisa lari dari kenyataan. Meskipun, ia sudah melangkah sangat jauh, kenyataan tetap saja memukul mundur. Lisya kembali ke realita yang menyakitkan.

***

Suara riuh piuh di kelas saat ini tak cukup membuat Lisya terganggu. Gadis itu fokus pada sesuatu yang ada di tangannya. Sebuah surat, lagi. Dari orang yang sama, namun dengan warna yang berbeda dari sebelumnya. Warnanya hijau, sama seperti surat yang pertama kalo ia dapatkan. Surat pertama berwarna hijau, surat kedua berwarna merah mudah, dan kini surat ketiga berwarna hijau. Mungkin ia tahu bahwa Lisya sangat menyukai warna hijau dan pink.

Tebak, siapa lagi kalau bukan Gean yang mengirimkan surat itu. Tak ada orang yang mengetahui warna kesukaan Lisya selain Gean. Kembali ke saat ini, begini isi suratnya ....

Selamat pagi, pemilik senyum paling manis di dunia ini. Gue boleh minta tolong? Gue minta lo ikut kegiatan dies natalis sekolah. Bisa kan? Gue tunggu jawaban lo. See you, cantik.

-G

Lisya refleks tersenyum. Penulis surat itu memang benar, Lisya memiliki senyum yang sangat manis. Selalu tersenyum saat mendapat surat. Surat itu mengubah mood-nya 180%.

Cactus Girl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang