21. Yang Sama-Sama Terluka Belum Tentu Saling Memahami

104 19 6
                                    

Pukul setengah 9 malam, Lisya menatap jam yang ada di ponselnya. Adyt bilang, mereka akan pergi jam 8 tepat. Tapi sekarang, Lisya masih berada di dalam kamar, melihat dirinya sendiri di cermin. Belum ada tanda-tanda kedatangan Adyt.

Kemana, sih, tu orang? Bilangnya jam 8, sampe gue lumutan kenapa gak muncul-mucul, sih?! Sial— Hampir saja Lisya mengumpat di dalam hati, merutuki lelaki bernama Adyt yang tak kunjung datang, tiba-tiba suara getaran panjang mengalihkan pikirannya.

Getaran itu berasal dari ponselnya. Rupanya Adyt menelepon. Ia lantas menggeser tombol berwarna hijau yang terpampang di layar ponsel tersebut.

"Gue udah di depan," kata Adyt tanpa basa basi. Setelah itu, Lisya langsung memutus panggilannya.

Lisya bergegas mengambil tas slempang yang sudah ia siapkan di atas kasurnya, kemudian keluar dari kamar. Gadis itu berjalan santai melewati ruang tengah, ruang keluarga. Sepi, kedua orang tuanya tengah mengadakan makan malam di sebuah restoran mewah bersama partner bisnis mereka. Sementara Raja, ia tak melihat batang hidung lelaki itu sejak tadi sore.

Dengan langkah teratur, Lisya keluar dari rumah. Ia membuka gerbang rumahnya sendiri, tanpa meminta bantuan pada satpam. Memang gadis yang mandiri dan enggan merepotkan orang lain. Meski begitu, orang tetap menganggapnya sebagai manusia yang tidak berguna.

Setelah keluar, Lisya menutup kembali gerbang rumahnya. Adyt kemudian menghampiri gadis itu.

"Ck ck ck." Adyt berdecak seraya menggelengkan kepala. Lisya spontan menatap dirinya sendiri. Mungkinkah ada sesuatu yang salah dengan dirinya?

Tapi, Lisya rasa, tak ada yang salah dengan penampilannya. Apa Adyt sengaja mengerjainya? Ia mendongakkan kepala, menatap Adyt penuh tanya.

Adyt tersenyum lebar sambil berkata, "Udah cantik fisiknya, cantik hati lagi. Siapa lagi kalo bukan jodoh gue."

Lisya tentu tahu siapa yang dimaksud 'jodoh' oleh Adyt. Karena, jelas-jelas Adyt menatap dirinya. Lisya memutar bola matanya malas, lagi-lagi ia mendapat gombalan receh.

Dih, siapa juga yang mau jadi jodoh lo, batin Lisya sinis.

Adyt menghela napas, ia mengeluarkan telapak tangan yang sedari tadi ia masukkan ke dalam saku celana. "Hari ini lo belum mau jadi jodoh gue, tapi mungkin besok atau lusa, lo bakalan mau." Adyt tersenyum, senyuman yang tak akan dimengerti oleh Lisya.

***

Motor milik Adyt melaju sedang, melewati jalanan kota. Sebagian besar pengendara mungkin memiliki tujuan yang sama, yakni merayakan malam tahun baru. Langit tak tampak terang, tak juga berbintang, hampir seluruhnya tertutup awan.

Adyt melirik Lisya melalui spion. Ia ragu mengajak Lisya bicara, karena kelihatannya, gadis itu sedang sedih. Terlihat jelas di wajah Lisya, mata lelah dan bibir tanpa senyum. Biasanya Lisya memang jarang tersenyum. Namun, kali ini berbeda, seperti tidak ada semangat hidup.

Adyt menghela napas panjang. Daripada perjalanan ini terasa canggung atau kurang seru, lebih baik ia membuka suara, meskipun Lisya tak meresponnya.

"Lisya!"

Bukan, itu bukan suara Adyt. Adyt baru saja membuka mulutnya, hendak menyebut nama Lisya. Namun, seseorang terlebih dahulu menyelanya.

Sang empunya nama spontan menolehkan kepala, begitu juga dengan Adyt. Tampak 2 orang pengendara di sebelah mereka adalah sosok yang familiar.

"Kalian pacaran, ya?" tanya Anya dengan nada menggoda. Gadis itu duduk di belakang. Lebih tepatnya di belakang Gean, si pengemudi.

"Iya, kalian cocok banget, serasi." Gean menyahut ucapan Anya.

Cactus Girl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang