19. Dalam Diam Ada Ramai yang Mencekam

93 21 0
                                    

Udara sesak hari ini bukan disebabkan oleh polusi. Iya, mungkin karena polusi, namun ini berbeda, ini secara harfiah. Kejadian kemarin masih membuat Lisya sakit hati, ia masih belum berani menatap lekat mata milik Gean.

Sekarang, apa Lisya akan menyalahkan Gean atas patah hatinya? Atau menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu berharap pada Gean? Kenapa ia tak pernah beruntung? Apa karena ia bisu?

Berulang kali Lisya menanyakan itu, bermonolog pada dirinya sendiri. Kini, pikirannya ramai penuh, bak kendaraan kota yang memadati jalanan hari ini. Asap dari mesin bermotor tak hentinya mengepul di udara.

Lisya menatap keluar kaca mobil yang tengah ia tumpangi. Jujur saja, ia masih tak menyangka jika Gean akan menjadi pacar Anya kemarin. Harusnya ia yang ada di posisi Anya. Dan ... rasa sakit itu kembali mencuat. Ia berusaha bersikap biasa saja, namun hatinya sudah terlanjur remuk. Bagaimana ia bisa bersikap seolah ia baik-baik saja?

Lagi, ia pikir Anya tahu bahwa dirinya menyukai Gean. Tapi realitanya, Anya menerima Gean dengan senang hati, tanpa memikirkan perasaannya yang notabene-nya adalah sahabat Gean.

Lagi dan lagi. Ia masih menyalahkan dirinya sendiri karena kejadian itu terulang lagi. Ia cuek, lalu mencoba percaya pada orang lain. Setelah percaya, ia dikecewakan begitu saja. Kepercayaannya hancur seketika. Ia berusaha untuk menerima Anya menjadi temannya, tapi gadis itu justru menusuknya dari belakang. Jika itu Aneta, mungkin Lisya tak akan merasa sesakit ini.

Pada akhirnya, Lisya kembali ke titik beku, kembali menjadi dirinya yang lama. Menjadi cuek dan dingin, atau mungkin juga lebih dari itu.

Masih menatap keluar, air mata Lisya menetes. Sesakit itu rasanya dikhianati sekaligus ditinggalkan orang yang disayang. Menahan dan memendam semuanya sendiri bukanlah hal yang mudah, mungkin mudah untuk beberapa orang. Tapi, tidak untuk Lisya.

Ditambah Lisya hanyalah gadis disabilitas yang dijauhi banyak orang. Hanya Gean satu-satunya orang yang baik padanya, setidaknya itu menurutnya.

"Sudah sampai, Non," kata Pak Parman beberapa detik setelah mobil yang dikendarainya berhenti di pinggir jalan.

Seketika Lisya tersadar dari lamunannya. Gadis itu spontan mengusap air mata yang ada di pipinya. Ia lantas membuka pintu, lalu turun dari mobil seraya membawa dua plastik besar berisi makanan ringan.

Setelah ia menutup pintu, Pak Parman melajukan mobil, meninggalkan Lisya di tempat tersebut. Lisya memang sengaja menyuruh Pak Parman untuk pulang terlebih dahulu, sebab ia tidak akan pulang cepat hari ini.

Ia melangkah melewati gang sendirian. Tak lama, dirinya sampai di Panti Asuhan Wisma Bunda. Seperti yang terjadi di hari-hari sebelumnya, kedatangan Lisya selalu disambut dengan pelukan hangat dan antusiasme para anak di sini.

Lisya menjadikan anak-anak ini pengobat hatinya. Senyuman mereka membuat ia tenang, lega, bahkan sedikit lupa bahwa dirinya tengah sakit hati. Sungguh, ia berterima kasih pada mereka yang mampu membuatnya merasa lebih baik dari sebelumnya.

"Kak Lisya, kok, datengnya pagi banget? Kita aja baru selesai sarapan," ucap salah satu anak bernama Kyla. Lisya tersenyum sambil menggeleng pelan.

"Yaa, biarin. Kak Lisya bisa dateng kapan aja, kan dia Kakak kita," sahut Cia dengan suara gemasnya. Anak perempuan berumur 4 tahun itu menampakkan ekspresi lucu sehingga membuat Lisya gemas dibuatnya.

"Kan, aku cuma nanya." Kyla membalas dengan sebal.

Melihat adanya tanda-tanda pertengkaran anak kecil, Lisya langsung mengangkat telunjukknya di depan hidung, menyuruh mereka untuk diam. Mereka semua diam, seperti yang diperintahkan oleh Lisya. Anak-anak itu sebenarnya penurut, hanya terkadang sangat sulit untuk diatur.

Cactus Girl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang