11.0

47 7 0
                                    

Aku mengharapkan dunia ini runtuh saat ini juga. Aku sangat menyayangi keluargaku, aku tidak merasa senang . Namun aku hanya mengasihani diriku sendiri.

Ayah,, aku memandang ke arah ayahku yang berpenampilan sangat sederhana bahkan dengan pakaiannya yang terlihat sangat lusuh  dan rambut berewokan di janggutnya. Air mataku berlinang seketika mendapatinya masih memandang wanita di depannya dengan rasa iba. Wanita yang bukan lain ibu kandungku sendiri berdiri berdampingan dengan lelaki yang membuatnya mengkhianati cinta ayah.

Aku mengutuk keadaan ini Tuhan ! Katakan saja aku marah seperti anak kecil. Aku benci melihat orang yang aku sayang terlihat menyedihkan.

Mereka bertiga pun angkat kaki dari ruangan yang sejak tadi terasa menegangkan.

Aku langsung berhambur ke pelukan ayah, aku ingin menyalurkan kekuatanku untuk ayah. Tapi disini terlihat diriku lah yang membutuhkan pelukan itu untuk menenangkan emosiku.

"A-a,,ayah,,," aku semakin memeluk erat tubuh ayahku

Mulutku bahkan tidak bisa melontarkan satu kalimat pun.

"Anakku,, tidak apa-apa sayang.." sembari mengecup puncak kepalaku sesekali mengelus pelan pundak ku.

"Maafin Andin,, andin gak bisa bawa mama pulang." Aku menatap ayah, mata kami sama-sama bergenang air mata

"Semua sudah jelas sayang,,, itu sudah menjadi masa lalu. Biarkanlah." Ucapnya tegas terlihat ayah memaksakan senyum tipisnya itu semakin membuat hatiku tergores

Air mata tak henti-hentinya menetes saat itupun kami hanya saling menyalurkan kekuatan untuk menghadapi masa depan tanpa ibu, tidak ada lagi perjuangan, tidak ada nama ibu. Cukup kejadian yang tadi menjadi bukti bahwa dia benar-benar sudah membuang kami. Kamipun harus membuka lembaran baru

Saat ini, hari ku dengan Ayah baru di mulai. Aku hanya mengharapkan kehidupan yang bahagia dan sederhana.







Bersambung...

WHENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang