10. Curiga

49 15 26
                                    

10. Curiga

Fanni turun dari bisnya, ia sempat menengok ke belakang. Anggi mengayunkan tangannya pada Fanni, gadis itu juga melakukan hal yang sama.

Fanni berjalan memasuki area fakultasnya bersamaan dengan bus yang mulai meninggalkan halte.

Jika di pikir-pikir, Fanni memang sedikit tertarik dalam hal tarik suara. Hanya sedikit, ingat itu! Lagi pula sekarang dia tengah disibukkan dengan segala tugas kuliah.

Fanni mengedikkan bahu, menyimpan kartu nama itu dalam saku celananya. "Mungkin lain kali."

Suasana lorong kampus cukup ramai dipadati mahasiswa, Fanni duduk di bangku dekat taman. Diana juga sudah sampai dan bersiap dengan segala peralatan make up yang dia bawa dari rumah.

Fanni melihat ke samping di mana Diana tengah bersenandung kecil sembari bercermin merapikan rambutnya.

"Udah oke, gak?"

Fanni menunjukkan jari jempolnya di hadapan Diana, yang dibalas anggukan oleh Diana. 

"Kok masih di sini?"

"Iya, mau ketemu Dika soalnya."

"Oh, gak bareng Rian?"

"Barusan pergi, lo sih telat datangnya."

"Yaudah sih. Malas juga gue liat kalian berdua mesra-mesraan. Ternistai mata gue, nih!"

Diana berdecak. "Makanya cari pacar!"

Fanni hanya merapatkan bibirnya. Diana tidak tahu saja jika dirinya sudah memiliki pacar, bahkan lebih dari 2 tahun dia berpacaran.

"Fan, lo punya kembaran, ya?"

Pertanyaan itu membuat Fanni dan Diana mendongak, lalu tertawa melihat wajah kebingungan dari Dika yang entah sejak kapan ada di samping Fanni.

"Hah? Ngaco lu! Mana ada gue punya kembaran!"

Dika cengo, lalu siapa yang tadi mengobrol dengannya? "Loh kok?"

"Eh Fanni itu gak punya kembaran, yang lo temuin siapa? Lo, ahk dasar ya! Ada aqua, Mas?"

Dika menggelengkan kepalanya, ia bingung sekarang. Menjauh dari Diana dan Fanni yang masih tertawa, Dika duduk di kursinya.

"Gue gak salah denger, kok. Dia bilang seumuran 'kan?"

Hari ini Dika berniat untuk menjemput Fanni di rumahnya. Karena sebelumnya Dika pernah mengantarkan Fanni, dan dia masih hapal alamat rumah Fanni.

Dika merapikan rambutnya, lantas berjalan memasuki halaman depan yang penuh dengan bunga.

Baru saja ia akan mengetukkan pintu ada seseorang yang membuka pintu. Seorang lelaki, dengan salah satu tangannya diperban, alisnya tertarik sebelah lalu menengok ke belakang sebelum kembali melihat Dika.

"Mas, tukang paket?"

"Bukan."

Rama kembali melihat kebelakang sebelum melihat Dika."Gosend?"

"Bukan juga."

"Cari siapa atuh, Mas? "

Dika tersenyum, sepertinya lelaki ini adalah Kakak dari Fanni. Dia melihat tangan kanan lelaki itu yang di gips, kasihan sekali.

"Ah, Fanninya ada Mas? "

"Fanni?" ah sekarang Rama tahu apa maksud lelaki ini. Ide jahil terbesit di pikiran Rama.

"Iya, Mas. Saya mau jemput Fanni."

Rama mengulum senyum, kemudian mengangguk. "Ah Fanninya udah berangkat tadi, jadi gimana? "

"Ah, u-udah berangkat ya Mas? " Dika menggaruk pelipisnya. "Yasudah kalau gitu saya pamit, ya. "

"Eh jangan." Rama menahan lengan Dika dengan tangan kirinya. "Masuk dulu, yuk. Masa baru datang udah pergi lagi. "

Dika rasanya tidak enak jika menolak. Jadi ia pun mengangguk dan masuk. Dika duduk di samping Rama. Netra lelaki itu celingukan, ia melihat foto Fanni bersama dengan seluruh keluarganya dan dia tidak curiga sama sekali saat tidak lagi melihat foto Fanni, selain foto berbingkai besar itu.

"Mas ini temen sekolahnya Fanni? "

"Iya, Bang."

"Jangan panggil Bang, kita seumuran kok."

"Oh, Mas Kakaknya Fanni, ya?"

"Bukan."

"Oh."

"Saya kembarannya."

"Ngawur lo!"

Fanni berdiri dan menepuk pundak Dika. "Udah, ya. Gue mau ke mang Ujang. Ngambil prinan."

→_→

"Mang, apa kabar?" sapa Fanni.

Mang Ujang tersenyum seperti pulsa. "Alhamdulillah, baik. Mau ngambil makalah Neng?"

"Enggak, Mang. Mau pesen bakso."

"Nih, udah jadi."

"Wih, berapa Mang?"

"Enam puluh ribu."

Fanni merogoh tasnya, mencari sisa-sisa hartanya. "Pake dana bisa gak Mang?"

"Bisa," jawab Mang Ujang seraya membawa ponselnya dan menunjukan barqode.

Fanni menbuka akun dananya dia meringis saat melihat angka yang tertera. Lantas ia melirik Mang Ujang. "Pake shopepay aja bisa gak, Mang?"

"Bisa, atuh. Mau pake pembayaran apapun bisa sok, bebas tinggal pilih aja."

Gadis itu kembali meringis, bahkan jumlah saldonya tidak cukup untuk membayar Mang Ujang. Sialnya dia lupa membawa uang cash dan total uang yang dia punya tak cukup meski ditotal dengan uang digitalnya.

"Mang, punya gue sekalian. Jadi berapa?"

"Tujuh lima, Dik."

"Itungin juga yang temen gue sekalian."

"Seratus tiga lima." Mang ujang menyerahkan makalah milik Dika. "Nih, makalahnya."

"Nih, Mang. Makasih, ya."

"Woke!"

"Makasih, Dik. Besok gue ganti."

"Sans, kayak ama siapa aja lo. Gak liat nih gue temen lo? Biasanya juga lo ngomel-ngomel kalau gue bantuin."

Fanni memukul kepala Dika. "Yaudah, gak jadi gue ganti duitnya."

"Yaelah, ntar siang gue makan apa dong."

"Ya mana gue tahu." Fanni berdecak."Gue traktir deh. Tapi, anter gue pulang dulu, biar bisa ngambil uang."

__________
______________________________________

Semakin hari semakin banyak pula yang menggantikan kehadiranmu. Tapi, percayalah. Sampai saat ini, pemilik hati ini hanyalah dirimu seorang. Seberapa keras pun orang lain mencoba merangsak masuk, aku tidak akan pernah membiarkannya.

______________________________________
__________

ex_project

Dilarang saling rindu! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang