22. Stasiun

27 8 0
                                    

22. Stasiun

Bandung, 2 tahun yang lalu

Haris berdiri di depan pagar hitam yang menjulang hingga sekitar seperutnya. Dia memukul-mukul pagar besi itu menggunakan slot kunci pagar.

"Misi, paket!"

Dengan kotak berukuran segi empat di tangannya. Ia menunggu orang yang memesan keluar dari rumahnya.

"Haris!" teriak Fanni lalu menghampiri lelaki itu dengan senyum cerahnya.

"Kamu jadi kurir? Paket siapa itu?"

"Ini paket atas nama tuan Putri. Dan satu lagi, saya bukan Haris. Coba tebak saya siapa?"

"Panglima?"

"Yap, tepat sekali."

"Sejak kapan coba panglima jadi kurir? Ngaco kamu."

"Biarin, Panglima rela jadi kurir cuma buat Putri."

Fanni tak acuh, lantas netranya berkelana meneliti ukuran kotak yang Haris pegang. Geli rasanya jika membalas candaan Haris tentang Putri dan Panglima."Aku tebak, ini isinya helm. Bener, kan?"

Haris mengangkat kedua bahunya. "Buka aja sendiri."

Fanni membuka kardus itu, dan benar saja isinya helm. Gadis itu bersorak riang, satu tangannya bergerak mengambil helm yang masih terbungkus plastik transparan. Dia memeluk Haris dengan penuh kebahagiaan. "Makasih."

"Lihat dulu coba! Bagus gak gambarnya?"

"Ris, bercanda, ya?" senyum Fanni luntur seketika, salahnya sendiri karena berharap terlalu tinggi.

"Kenapa?" Haris bertanya seraya terkekeh, jelas tahu apa yang membuat Fanni mendelik padanya. "Bagus, gak?"

"Kok ada gambar badut mampangnya?"

"Itu yang paling cocok sama kamu."

"Gak suka? Ya udah sini balikin aja."

Haris hendak mengambil alih helm yang Fanni pegang, secepat kilat perempuan berdarah Jawa itu memberengut, menyembunyikan helmnya.

"Jangan."

"Jadi helmnya diterima nih?"

Fanni menghela napas kasar. "Iyalah, yang penting gak sampai bikin kepalaku geser. Nyaman dipake, ya masih okelah. Makasih, ya sayangku."

"Duduk dulu, Ris." Fanni membuka gerbang rumahnya, mempersilahkan Haris untuk masuk.

Tubuh tinggi semampai itu mengayunkan kakinya dan duduk di samping Haris. Lelaki itu kini mulai mengeluarkan rokok beserta korek dari dalam saku celananya.

"Dari sejak kapan ngerokok?"

Haris menoleh, mengepulkan asap rokoknya keudara dengan tangan yang ia kibaskan agar kepulannya tidak mengganggu wajah. "Dari SMA."

"Kenapa? Mau nyuruh aku berhenti?"

Fanni menggeleng."Itu kan hak kamu."

"Aku ke dalam dulu, ya."

Fanni berdiri, namun pertanyaan Haris membuatnya terpaksa berhenti di ambang pintu.

"Ngapain? Temenin di sini."

"Mau ambil minum buat kamu, kasian Abang kurirnya pasti haus abis antar paket."

"Gak usah, aku mau langsung pergi lagi. Mau mau ikut, gak?"

"Kok udah mau berangkat aja?Baru juga datang. Mau kemana?"

"Ke stasiun. Hari ini aku mau berangkat ke Yogyakarta."

Dilarang saling rindu! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang