Keping demi keping memori terputar jelas dalam ingatan, tak ubahnya sebuah rekaman yang selalu tersimpan rapi di lubuk hati yang paling dalam.
Ketika situasi terburuk dalam hidupnya saat ini, justru terputar kenangan yang tadinya begitu menyentuh dan membuatnya bangkit, yang sekarang melempar jauh dirinya tanpa peringatan. Fanni tersenyum, meratapi keadaannya.
Ada masa di mana makhluk hidup merasakan kehilangan. Saat yang membuat segala sesuatu terasa tak berwarna dan hampa. Hanya hasrat untuk terus hiduplah yang membuat seseorang bisa bertahan.
Penampilan Fanni cukup untuk menggambarkan kondisi hatinya saat ini. Beruntung pertengkarannya dengan Diana dapat terselesaikan. Meski pada akhirnya hubungan keduanya takkan lagi sama seperti sebelumnya, hanya karena keegoisannya. Dia melepas kepergian Diana dengan tatapan penuh sesal.
Matahari sudah pamit pulang saat Fanni tiba di rumahnya setelah mengantar Diana sampai stasiun. Ketika pintu rumahnya terbuka, dia melihat Maya yang tertidur di ruang tamu dengan televisi yang menyala. Menerangi ruangan yang gelap karena lampunya belum dinyalakan.
Dia berdecak, dan menyalakan penerangan. Memperjelas keadaan seisi ruangan yang cukup berantakan.
Fanni memilih untuk tidak memikirkannya, ia melihat ke samping dan menemukan Rama yang tengah berdiri tak jauh darinya, sedang memakan keripik dengan pandangan yang lurus melihat Kakak yang 2 bulan lebih tua darinya. Kemudian, pemuda itu berlalu tanpa memalingkan wajahnya dari Fanni.
Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya, ia membuka pintu kamarnya dan terlihat sang Ibu yang tertidur di atas tumpukan lipatan pakaian. Diambilnya selimut dari dalam lemari dan ia gunakan untuk menyelimuti tubuh sang Ibu. Ditutup kembali pintu tersebut dengan perlahan, berjalan menuju lantai dua di mana kamar Farhan berada.
Saat pintu terbuka, Farhan yang fokus menatap laptonya menoleh sekilas. Tanpa berbicara apapun Fanni menutup kembali pintu tersebut, dia berbalik dan terkejut saat melihat Rama berada tepat di belakangnya. Masih menikmati keripiknya, Rama memperhatikan Fanni dan mengekor di belakangnya.
Rama mengikuti Fanni sampai ke dapur, terus mengekorinya bak anak bebek pada induknya. Fanni mencuci tangannya, dan mengambil segelas air. Saat Fanni duduk, Rama turut duduk di sampingnya, melihatnya minum segelas air hangat.
Merasa tak nyaman, Fanni menoleh dengan kesal. "Apa liat-liat? Baru sadar Kakak lo ini cakep?"
Rama meneguk ludahnya takut. "Wah, pulang liburan malah badmood," gumamnya.
Pria itu bangun dari duduknya, melangkah cepat ke lantai atas. Dia baru saja memproses informasi, bahwasanya dalam beberapa hari ke depan, dia akan menjadi mangsa empuk bagi Kakak perempuannya itu.
Fanni menghela napas, dia melihat ponselnya yang penuh dengan notifikasi telepon dan pesan dari satu orang sejak kemarin mengganggu pikirannya. Selagi melihat profilnya, layar berubah karena panggilan telepon dari si pemilik kontak. Tanpa sengaja ia mengangkat panggilan tersebut, dengan susah payah dia mencoba untuk memutus panggilan, namun tak bisa karena jarinya yang masih basah.
Terdengar suara Haris dari telepon, sangat pelan sampai Fanni tidak tahu apa yang dia ucapkan. Napasnya terdengar berat dan meracau entah berkata apa. Tak lama kemudian tak terdengar kembali suara lelaki itu kecuali suara kendaraan yang berlalu lalang.
Sudah sepuluh menit berlalu, tangan Fanni pun tidak lagi basah, dapat dipastikan dia bisa memfungsikan layar ponselnya kembali dengan baik. Akan tetapi, panggilan tersebut masih berlangsung tanpa adanya komunikasi lebih lanjut.
Gadis itu memberanikan diri membuka pesan dari Haris. Dari salah satu pesannya ada satu pesan yang membuat Fanni berlari secepat mungkin, keluar menuju taman kompleknya.
Dengan napas yang terengah-engah, Fanni mendapati sosok yang baru kemarin dia lihat dengan tatapan marah, kini terduduk di bangku taman seorang diri dengan ponselnya yang tergeletak di sisi kanan dan koper besar di sisi kirinya.
Fanni berdiri dengan jarak 1 meter, tak berani melangkah lebih dekat. Dia baru menyadari kebodohannya yang berlari tanpa sadar bahkan memakai sendal Farhan yang cukup besar baginya hanya karena satu pesan dari orang yang telah mengecewakannya.
Kelopak mata itu terbuka perlahan, menampilkan iris kecoklatan dengan kantung mata yang hitam. Raut wajahnya tampak lelah dan pucat, dia berdiri dengan susah payah menghampiri Fanni.
Gadis itu mematung, sampai Haris berdiri tepat di depannya. Fanni dapat merasakan napasnya yang panas entah karena alasan apa, lelaki itu tersenyum lebar dengan mata yang sayu.
Haris menatap sosok gadis cantik di depannya, dengan wajah yang menyesal dia mengucapkan kata maaf dengan tulus dan kemudian jatuh di pundak Fanni.
Akal sehat Fanni seolah ditarik dari pusaran ilusi. Gadis itu mencoba mendorong Haris sebelum akhirnya dia merasakan dahi Haris yang panas, memperjelas kondisinya saat ini.
<(-︿-)>
Entah bagaimana caranya Fanni menggendong Pria yang bobotnya dua kali lebih besar darinya ke klinik. Dia benar-benar panik sekaligus khawatir.
Haris masih belum sadarkan diri sejak setengah jam yang lalu. Dia menelpon Sofi karena hanya ia yang Fanni tahu sebagai kerabat dekatnya Haris.
Fanni baru menyadari bahwa Haris memakai baju yang sama seperti saat di jogja kemarin ketika keduanya bertengkar. Dia bahkan memakai sepatu yang berbeda warna.
Sofi tiba bersama Riana, wajah keduanya panik sekaligus terkejut saat tahu Haris berada di Bandung.
Ada banyak pertanyaan yang hendak Sofi lontarkan. Perihal bagaimana Haris bisa datang ke sini tanpa mengabari? Mengapa ia bisa jatuh sakit? Dan apa yang membuatnya terlihat sangat kacau?
"Kak Fanni? Kenapa sama Bang Haris?" tanya Riana.
"Fan, apa kata dokter?" tanya Sofi.
Fanni menggeleng pelan dan bangun dari duduknya. "Aku pamit pulang, Kak."
Langkah demi langkah ia lalui, tak sekalipun melihat ke belakang meski suara Riana dan Sofi berulang kali memanggil namanya. Iris kecoklatannya meredup bak cahaya bulan yang tertutup awan.
Fanni terus melangkahkan kakinya, entah sudah berapa lama dia berjalan, tak terdengar suara kendaraan yang berlalu lalang maupun bunyi klakson kendaraan yang menyuruhnya untuk minggir, ia tetap tak bergeming.
Langkah Fanni terhenti, tangannya ditarik cukup keras hingga ia menoleh. Di sampingnya berdiri sosok Kakak laki-lakinya, Farhan.
Lelaki itu menatapnya dengan khawatir, napasnya tak karuan. Tanpa bertanya dia membawa Fanni dalam pelukannya. Hingga tak terasa mutiara kecil mulai membasahi pipi Fanni, menjawab segala resah yang menghimpit dada.
Perasaannya luruh seketika dalam pelukan sang Kakak. Seluruh kesedihan yang ia pendam selama ini jatuh tanpa persetujuannya.
Malam itu, dia menyadari kelemahannya. Selama ini dia tidak sekuat itu untuk tetap bertahan, dunia begitu cepat berubah, tanpa menunggunya untuk siap, hingga ia benar-benar jatuh tanpa seorang pun mengetahuinya.
Bertahun-tahun telah berlalu, usianya kini bukan lagi anak-anak. Fanni menyadari, bahwa jiwanya tak pernah tumbuh dewasa, ia masih orang yang sama dengan gadis kecil yang dulu menangis meraung-raung karena kehilangan Ayahnya. Ia masih membutuhkan tempat untuk bersandar, dan menguatkannya untuk tetap hidup.
Harusnya, dia menuruti ucapan Kakaknya dulu, untuk tidak pernah memulai apa yang akan dia sesali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilarang saling rindu! (Tamat)
Romansa"LDR itu nyakitin Bro, kita di sini cape-cape nungguin, eh di sana dia disuapin cewek lain." Fannisa Dera Luthfina Welcome to LDR Tiap hari liat hp Nunggu dia kagak ngechat kagak nelpon Welcome to LDR Mau marah liat dia sama cewek malah kena sempro...