16. I know

32 9 0
                                    

16. I know

Belum sepenuhnya sang surya muncul di langit tapi, para remaja dewasa itu sudah sibuk bersiap untuk memulai acara jalan-jalan mereka.

Diana sudah duduk manis di depan Fanni, lebih tepatnya mendandani perempuan berdarah Jawa dan Sunda itu. Kalau Fanni dia tidak terlalu paham tentang make up dan tetek bengeknya. Yang dia tahu hanya lipstik, bedak, pensil alis dan eyeshadow. Itu pun kadang dia salah menyebutkan nama-nama benda yang jarang amat jarang dia sentuh.

Fanni bukan perempuan yang tidak suka make up, dia suka merawat diri hanya dia tidak terlalu menomorsatukan penampilan seperti Diana. Cukup tahu beberapa saja.

Tapi entah ada angin apa, Diana tiba-tiba menawarkan diri untuk merias wajahnya.

"Ini masih lama lagi, ya?" Tanya Fanni dengan posisi mata tertutup.

Diana menggumam, tengah melihat hasil karyanya di wajah Fanni. "Dikit lagi beres, kok."

"Lo mah daritadi dikit lagi dikit lagi, kalau hasilnya mirip lonte gue bakar juga alat make up lo!" Ancam Fanni.

"Diem, Markonah!"

Beberapa menit kemudian Diana merapikan tatanan rambut Fanni yang dia catok selama lebih dari satu jam, di otak atik segala macam dan juga diberi sesuatu yang disemprotkan pada rambut Fanni, katanya vitamin rambut, atau spray rambut. 

Pukul sepuluh Panji dan Dika sudah kesal menunggu kawannya sejak pukul delapan pagi di aula hotel. Sementara dua orang perempuan yang sejak tadi mereka hubungi masih belum turun juga dari kamar hotelnya.

"Telepon coba, Ji!"

Panji menoleh dengan kesal."Lo pikir daritadi gue ngapain. Susul aja Dik!"

"Gak perlu, nih udah sampai." Diana dengan cetar membahana datang seraya memainkan rambut ikalnya.

"Kita mau kemana jadinya?" tanya Fanni.

"Woah, lo cakep banget kalau dandan." spontan Panji memuji.

Dika meneguk ludah, dia tertegun selama beberapa saat. Dia menoyor kepala Panji cukup keras. "Sadar oy!"

"Jadi nih ke Heha sky view? Atau mau ke parangkritis aja?" tawar Dika.

"Bebas, terserah sih. Gue ngikut aja." jawab Diana.

"Kenapa sih cewek kalau ditanya jawabnya terserah, ini kita jadinya mau kemana?" Panji berkata dengan kesal, dia sudah menunggu dari pagi tadi dan kedua temannya ini masih bingung dan mengulur waktu.

"Kenapa sih? Ngegas banget." Diana mendelik dan mencibir Panji.

"Ya udah, ke Heha sky view aja gimana?" tanya Dika.

"Bebas, gimana yang bawa mobil aja."

Mulut Dika terkatup dia menutup matanya mencoba menambah sisa kesabarannya. "Langsung berangkat aja, yuk."

Mereka memulai perjalanan, mobil terus melaju di jalan raya entah akan pergi kemana. Dika dan Panji sudah malas bertanya, mereka benar-benar hanya berdiskusi berdua tanpa menghiraukan kedua wanita yang duduk di bangku belakang.

"Habis ini kemana Ji?" tanya Dika.

Panji tampaknya tengah kebingungan dengan ponselnya. Terlihat dia mengotak-atik ponselnya, memindahkannya ke kanan dan kiri.

"Kenapa?"

"Gak ada sinyal. Lurus aja Dik."

"Serius nih?"

"Iya, kalau nanti ada rumah warga atau toko kita tanya. Kalau gak ada putar balik aja."

Dika mengangguk, mengikuti saran Panji dan terus menyetir. Jalanan beraspal itu perlahan berubah menjadi jalanan rusak yang berliku dan berbatu.

Di samping jalan yang tadinya perkebunan kini berubah menjadi hutan yang lebat. Sinar matahari pun mulai bersinar terang tepat di atas kepala mereka.

Sejak tadi tak ada satupun rumah yang mereka temukan. Hanya pepohonan yang gelap dan rimbun di siang yang terik ini.

Kedua gadis itu pun mulai menyadari perjalanan mereka yang tak kunjung sampai.

"Ini udah sampe mana?" tanya Fanni.

"Serius jalannya ke sini?"  Kini Diana yang bertanya.

Dika menghentikan mobilnya. Ia menoleh ke belakang."Kayaknya kita nyasar, periksa hape kalian ada sinyal gak?"

Diana dan Fanni lantas memeriksa ponsel mereka, dan keduanya kompak menggeleng.

"Mau putar balik? Biar gue yang nyetir."

"Iya putar balik aja."

Dika dan Panji berganti tempat duduk. Panji mulai menyalakan mobilnya, dia melihat indikator bahan bakar yang menunjukan bahwa mereka akan kehabisan bahan bakar.

Panji berharap mereka bisa sampai di pom bensin terdekat sebelum bahan bakar mobil habis. Nyatanya kekhawatiran Panji tadi benar-benar terjadi. Dia menawarkan diri untuk mencari sinyal agar mereka bisa meminta bantuan untuk pulang.

Dika, Diana dan Fanni juga turut menawarkan diri. Mereka berpencar untuk mencari bantuan.

Setelah waktu berlalu cukup lama Dika rupanya menjadi orang pertama yang kembali. Dia sudah mendapat bantuan, namun sepertinya teman-temannya belum kembali.

Dia masuk ke mobil hendak mengambil jaketnya yang dia pinjamkan kepada Fanni, dan tak sengaja membuat buku kecil dengan sampul polos itu jatuh.

Dika mengambil buku itu, dia melihat nama dan foto yang tertera di halaman pertama buku. Dia mematung, tanpa sadar tangannya mulai membuka lembar demi lembar catatan di sana.

Rindu ...

Malam ini terasa begitu dingin menyapa
Mutiaraku tertahan sudah di pelupuk mata
Ingatan tentang semua kesulitan semakin hari semakin nyata
Indah agaknya jika jarak tidak ada diantara kita

Ada setitik rasa syukur dalam dada
Sekiranya tidak jumpa dalam hal tak terduga
Mungkin tidak pernah jua aku mengenalnya
Tidak pula akan ada hari dimana pengakuan itu menjadi makna

Hari demi hari menjadi penguat Entah kapan dan bagaimana kepastian itu ada
Hanya berpegang pada satu hal saja
Meskipun sangat sulit kemungkinan semua akan benar adanya

Ini sangat sulit diterima
Aku hanya manusia biasa
Bukan Adam yang bisa dengan sabar mencari Hawa
Dan tidak jua aku sekuat ia yang tak lelah sampai Allah mengabulkan doanya

Dika tersenyum pahit, dia meletakan kembali buku itu di tempatnya semula. Dia tahu betul apa maksud tulisan itu.

Dari kejauhan terlihat Diana yang datang dengan menenteng kresek hitam. "Fanni sama Panji mana?"

Lelaki itu menggeleng, dia menerima roti yang diberikan Diana. "Sorry, tadinya liburan ini kan buat hibur lo."

Diana melihat temannya itu. "Sans, Mas bro. Gue udah seneng kok kalian udah mau nemenin gue kek gini."

Dika tersenyum, dia melihat Diana yang tengah asik menikmati roti cokelat di dalam mobil. "Lo gak putus kan sama Rian?"

"Siapa? Gue?" Diana kebingungan tapi memutuskan untuk mengatakannya karena Dika sepertinya mengetahuinya. "Rian bilang?"

Dika menggeleng dan menyantap rotinya."Keliatan jelas kok. Semoga selamat deh lo berdua."

Tak berselang lama, Panji dan Fanni datang. Tampaknya perjalanan Panji tidak sia-sia, dia datang dengan pick up milik petani di sana. Mereka akhirnya bisa melanjutkan kembali perjalanan.

"Jadinya mau pulang ke hotel langsung?" tanya Panji.

"Ke malioboro dulu lah, biar gak percuma kita jalan-jalan hari ini." usul Diana.

Di perjalanan tampak Dika yang terus memperhatikan Fanni dengan tatapan yang sulit dideskripsikan. Lelaki itu menghela napas, dan berhenti menatapnya saat Panji sadar akan apa yang dia lakukan.

__________
__________________________________

Nothing, hehe

____________________________________________

Dilarang saling rindu! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang