26. Bagian dari rindu

18 4 0
                                    

Satu-satunya hal yang membuat Fanni bertahan selama ini adalah rasa percayanya yang begitu kuat. Ia berkeyakinan bahwa suatu hari, yang entah kapan dia akan menemui jalan keluar atas hubungannya dengan Haris. Semakin hari semakin memudar,  dan tak terlihat akhir yang ia nantikan.

Sejak kapan semuanya terlihat tak beraturan? Atau mungkin sejak hubungan ini terjalin, sejak pertama kali keduanya bertemu, sejak awal semuanya sudah salah? Fanni tak mampu mengendalikan semuanya, yang seolah meledak di waktu yang bersamaan.

Beberapa hari terakhir pun sulit baginya menghubungi Diana. Fanni merasa bersalah telah menipu sahabatnya selama ini, hanya karena egonya. Ia terlalu takut untuk mengungkapkan kenyataan bahwa selama ini dia berhubungan dengan orang yang Diana benci.

Fanni menghela napas, tatapan matanya kosong. Dia melihat rintikan hujan mulai turun dan kian deras menerpa jalanan. Iris matanya berkelana, melihat suasana jalanan dari halte tempatnya duduk. Semua orang tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing, menjalani hari yang berat dan monoton setiap hari, tapi tidak punya pilihan selain bertahan.

Tak lama bis tujuan Fanni datang, dia naik dan duduk di kursi yang tanpa sadar selalu jadi tempat ia duduk selama 2 tahun terakhir. Waktu dan tempat yang sama, aktivitas yang dia jalani setiap harinya terasa berbeda. Hatinya terasa berdenyut, sesak seolah terhimpit jutaan batu.

Tatapan matanya tertuju pada seorang gadis SMA yang tengah bercanda ria dengan orang di balik telepon, sesekali berusaha menawan tawa sambil menjawab obrolan temannya. Fanni tersenyum, dalam hati dia berkata "Ah, dulu aku juga kaya gitu, ya? Keliatan seneng banget, padahal cuma denger suara dia aja dari telepon."

Sorot matanya beralih pada jalanan, butiran air hujan terus mendera bumi. Kembali, ia teringat banyak memori yang tak pernah lepas dari sosok seseorang yang terus menghantui pikirannya.

Setelah hari di mana dia bertemu Haris di taman, dia merasa perasaannya pun ikut ia tinggalkan di sana. Seluruh emosinya, tak satupun yang tersisa. Kini, Fanni merasa hidupnya sepi dan kosong. Ia hanya hidup karena memang seharusnya begitu.

10 menit berlalu, Fanni sampai di depan komplek perumahannya. Hujan masih enggan untuk berhenti menyapa bumi, Fanni tak berniat menghindari hujaman air hujan yang menerpa tubuhnya. Ia berjalan santai seolah air itu tak mengenai tubuh mungilnya.

Saat sampai rumah, Fanni membuka pintu. Ia melihat Rama dan Maya yang tengah makan gorengan. Mereka bertatapan cukup lama, sampai Rama meneguk ludah dan buru-buru menyimpan gorengannya. Ia berlari ke kamarnya, mengambil handuk untuk gadis itu.

Maya memberikan teh manis hangat agar Kakaknya itu tidak kedinginan. Tanpa berkata apapun Fanni menerima segala bantuan dari kedua Adiknya itu. Ia mengeringkan tubuhnya dan meminum teh hangat itu seteguk. Kemudian, Fanni pergi untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya.

Diam-diam, Maya dan Rama kembali menghembuskan napas. Mereka saling bertatapan dengan bingung, karena mereka kesulitan bagaimana menanggapi situasi ini.

Maya lantas berdiri dan mengetuk pintu kamar Fanni. Saat pintu terbuka, Maya memberikan kotak kardus berukuran sedang dengan kertas putih bertuliskan alamat sang pengirim dan tujuannya.

"Ada paket buat Kakak," ucap Maya.

Lama, Fanni diam memperhatikan alamat yang tertera di atasnya. Kemudian ia mengambilnya dan menutup pintu.

"Kak," panggil Maya.

Dengan nada ragu, Maya menimbang-nimbang keputusannya untuk bicara. Apalagi setelah melihat tatapan mata Kakaknya, Maya semakin bimbang. "Kak Haris tadi ke sini."

"Oh," Fanni menutup pintu, ekspresinya datar, tak tersirat sedikitpun emosi. Karena memang, Fanni telah kehilangan semuanya. Perasaannya seolah terhenti, di waktu dan detik yang sama. Terjebak dan tak bisa kembali.

Fanni duduk di ranjang, menatap ke samping kanan di mana jendela besar yang menjadi tempat terbaik baginya sejak pertama pindah ke rumah ini. Menampilkan hujan yang masih enggan pergi.

Tak lama Fanni mematikan lampu kamar dan menutup jendela. Memilih untuk terlelap di balik selimut dan melupakan semuanya.

◌⑅●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅◌

Bandung, 1 tahun yang lalu

Awan hitam sudah membumbung di langit sana selama hampir 30 menit yang lalu. Udara di sekitarnya mulai dingin menyapa tubuh.

Di salah satu gedungnya. Fanni duduk di lantai, mengulurkan satu tangannya untuk menampung air hujan. Meski akhirnya tetap tumpah, perempuan itu tetap melakukannya. Seperti senang meski ia sedang mengingat kenangan yang masih belum bisa hilang dari ingatan.

Dika berjongkok di samping Fanni memperhatikan gerak-gerik perempuan itu. "Celana lo nanti basah, Fan."

"Biarin."

"Lo suka hujan, ya?"

Fanni menggeleng. Tanpa menatap Dika, dia menjawab, "enggak, kenapa?"

"Nanya aja. Keliatannya lo seneng liat hujan."

"Lo tahu, gak? Kenapa gue seneng liat hujan?" Kali ini Fanni menoleh melihat Dika yang juga tengah menatapnya dengan tanya.

"Karena di sana gue liat dia. Gue bisa lepas rasa rindu gue sama hujan. Tapi, gue juga benci sama hujan. Karena hujan gak pernah sampain rindu gue ke dia."

"Dia siapa?" tanya Dika, padahal bukan itu yang ingin dia katakan. Bibirnya tidak mampu menipu hati yang tersakiti karena mendengar dia kini merindu pada yang lain.

"Kalau gue bilang dia itu Panglima, gimana?"

Dika terkekeh. "Oke. Sekarang yang ada di depan lo bukan Dika. Tapi, Panglima. Apa rindunya sudah tersampaikan?"

Fanni tersenyum getir. Seandainya ia bisa memberitahu Dika. Bahwa rindunya masih belum tersampaikan. Karena bukan dialah orang yang Fanni maksud.

Dika berdiri lalu mengulurkan tangannya, tatapan dan semu merah yang Dika dapatkan. Selalu bisa membuatnya tenang meski dia tahu senyum itu bukanlah sebuah jawaban pasti dari segala tanya yang menghantuinya.

"Enggak, justru makin nambah."

     ◌⑅●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅◌

Hai, akhirnya update lagi. Sebenernya sekarang makin sibuk banget karena kerjaan yang fulltime. Tapi, entah kenapa pengen cepet-cepet namatin ni cerita satu, greget pengen revisi karena berantakan banget, yah apa boleh buat.

Semoga gak makin molor deh nih updatenya. Byebye


Dilarang saling rindu! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang