28. Satu universitas

22 7 0
                                    

28. Satu Universitas

Fanni berlari menaiki tangga untuk yang ke sekian kalinya. Membawa berkas-berkas yang disatukan dalam satu map.

Gadis itu mengetuk pintu bertuliskan ruang dosennya. Kemudian mengucapkan salam terlebih dahulu barulah dia masuk.

"Ini berkas yang kurang tadi, Pak." Fanni menyerahkan map berwarna coklat itu.

Pria paruh baya di depan Fanni mengangguk, membenarkan letak kacamatanya. "Taruh saja di sini."

Fanni menaruh map itu di atas meja. Lalu menunduk dan pamit pergi. Merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Fanni tidak sengaja menabrak seseorang di depan pintu ruangan tadi.

Lantas kertas-kertas milik orang itu berserakan di lantai. Fanni berjongkok seraya membantu mengambil kertas-kertas itu. Saat Fanni hendak mengambil ponsel milik si empu, ia tertegun kala ada foto Haris di layar ponselnya.

Fanni mendongak seraya berdiri. Dilihatnya wanita dengan wajah teduh dan hijab sebagai pelengkapnya. Tanpa sadar, kakinya melangkah mundur.

"Ini barang-barang, Mbak. Saya minta maaf." Fanni menunduk, memejamkan matanya lalu berusaha pergi dari sana secepat mungkin.

Perempuan itu menahan lengan Fanni. "Kamu yang di Jogja itu, kan?"

Bibir Fanni terkatup, napasnya kembali sesak. Semua permasalahan yang berusaha ia lupakan, tiba-tiba menyeruak menutupi seluruh saluran pernapasannya. Dari jutaan orang di dunia ini mengapa mereka harus bertemu? Diantara luasnya daratan di muka bumi yang bisa di tempati, mengapa ia harus kemari?

"Maaf, Mbak. Mungkin Mbaknya salah orang. Saya gak tahu apa yang Mbak maksud, permisi." segera, Fanni pergi meninggalkannya. Ia berjalan dengan terburu-buru, membuat wanita semakin yakin akan sesuatu.

"Kamu kenal Mas Haris, kan?"

Bodoh. Mulutnya bisa berbohong dengan lihai, tapi tubuh Fanni justru bereaksi setelah pertanyaan itu terlontar. Langkahnya terhenti, mematung di tempat. Tanpa menoleh pun Fanni dapat mendengar suara langkah kaki yang berjalan mendekat kearahnya.

Kini sosok berdiri tegap di depan Fanni. Diah namanya. Secantik namanya, wajahnya pun ayu rupawan. Fanni sempat mengalihkan pandang sesaat karena hal itu.

"Sepertinya kita perlu bicara."

"Namaku Diah. Diah Rahayu Arrasyid." Diah mengulurkan tangannya seraya tersenyum. Sesaat kemudian dia merutuki kesalahannya. "Kayaknya kita dalam kondisi yang gak berhak untuk disenyumi. Maaf."

"Kenapa?" tanya Fanni.

"Entahlah, mungkin kamu yang lebih tahu. Karena di sini aku villainnya."

Fanni menatap uluran tangan itu. Haruskah ia jabat tangan itu? Tangan yang sudah merebut seseorang yang Fanni cintai, tangan yang sudah mengambil alih sosok yang selama ini ia perjuangkan.

Dengan helaan napas pelan. Perlahan Fanni mengangkat tangannya. Hingga benar-benar menggenggam tangan dingin nan lembut itu."Fannisa."

"Kalau gitu aku panggil kamu Nisa?"

Alis Fanni bertaut. Aneh mendengar nama panggilannya menjadi Nisa. Meskipun itu memang namanya namun, nama Fanni sepertinya sudah terlalu melekat padanya.

"Aku tahu kamu gak nyaman, karena harus duduk berdua sama orang yang ... Kamu benci? Maybe. Jadi aku langsung to the point aja."

"Aku mau minta maaf. Untuk semuanya. Kamu pasti bingung lihat aku sama Haris di Jogja waktu lalu. Aku gak tahu harus jelasin dari mana yang jelas kita gak lagi dalam hubungan yang seperti kamu pikirkan."

Fanni tersenyum getir, jelas-jelas dia mengetahui hubungannya dengan Haris dari mulut gadis itu sendiri, sekarang ia mencoba berkilah. Bagaimana Fanni bisa mempercayai ucapannya?

"Kamu tahu Nek Sumi?" tanya Diah. Fanni menatap Diah cukup lama lalu mengangguk dengan ragu. "Itu Nenekku. Dulu waktu aku kecil aku tinggal sama Nenek karena orangtuaku pergi, gak tahu kemana. Lalu Mas Haris ikut tinggal di sana juga waktu awal-awal masuk SMA, aku anggap Mas Haris itu kayak Kakak sendiri, mungkin memang dari sananya Mas Haris itu punya Adik perempuan jadi dia bener-bener bisa berperan jadi sosok Kakak laki-laki dan keluarga buat aku."

Lagi, Fanni semakin tak sanggup mendengar penuturan Diah. Ia teringat cerita Nek Sumi tentang Adik yang tinggal bersama Haris, ternyata itu bukan Riana. Pantas saja, karena Riana baru pindah kemari dari Lombok saat SMA.

Wajah ramah Diah kini mulai meredup, matanya berkaca-kaca. "Lalu, Nenek meninggal dan aku gak punya siapa-siapa lagi untuk jadi keluargaku."

Fanni mulai menaruh perhatian, ia terkejut mendengar berita kematian Nek Sumi. Diah mengurai senyum sambil menahan air matanya. "Aku nyesel karena gak bisa nemenin Nenek di saat-saat terakhirnya. Aku nyesel karena terlalu egois dan malah pulang ke Jogja untuk urus pendaftaran kuliah, yang malah gak ada hasilnya dan aku cuma buang waktu aja."

"Keluarga dari pihak Ibuku yang di Jogja inisiatif untuk jodohin aku sama Mas Haris. Tapi, sebelum itu aku udah tahu kalau Mas Haris punya pacar, yaitu kamu Nisa. Aku minta Mas Haris untuk datang ke Jogja dan jelasin langsung ke keluargaku, syukurlah mereka mengerti. Sayangnya, karena kesalahanku, aku salah karena gak pernah ketemu sama kamu Nisa, malam itu kamu jadi salah paham. Dari setiap ucap dan sikapnya, dia gak pernah lupain kamu, dalam setiap kisah dan perjalanan hidupnya selalu ada nama kamu di dalamnya. Dari situ aku bisa lihat betapa sayangnya Mas Haris sama kamu. "

Dari sekian banyaknya penjelasan yang Diah berikan, rasanya tak cukup untuk menghilangkan rasa kecewanya Fanni. Ia merasa tak dilibatkan dan tak diberitahu apa-apa, seolah kehadiran dan pendapatnya tak berarti apa-apa.

Penjelasan Diah justru semakin terdengar seperti sebuah pembelaan dari kesalahan yang tak bisa dibenarkan. Nasi sudah jadi bubur.

"Makasih, Mbak sudah mau repot-repot jelasin meskipun terlambat, aku hargai itu. Aku terima maaf Mbak, tapi cukup sampai sini aja. Karena meskipun Mbak diberi kesempatan untuk ngasih tahu aku dan jelasin semuanya, Mbak gak ngelakuin hal itu dan nunggu semuanya berantakan dulu baru coba beresin."

Fanni menghela napas dan menutup matanya mencoba menahan emosinya agar tidak meledak. "Secara gak langsung juga, sebenernya apa yang Mbak Diah sampaikan gak sesuai kenyataan. Karena nyatanya Mbak gak keberatan dijodohin, buktinya Mbak bisa pake foto dia untuk wallpaper lockscreen."

Diah terdiam, ia merasa tertohok dengan apa yang Fanni ucapkan.

_____
__________________________________

Hati, kumohon jangan mempermainkanku. Disaat pemiliknya saja masih sama seperti dulu, kenapa engkau kini mulai terbuai lagi oleh rasa yang masih semu?
__________________________________
_____

Dilarang saling rindu! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang