11. Tentang masa lalu

11 2 0
                                    

11. Tentang masa lalu

Bandung, 3 tahun yang lalu

Siang itu bel sekolah berbunyi dengan nyaring, menandakan waktu pulang sekolah telah tiba. Suara riuh para siswa yang keluar dari kelasnya masing-masing, menggendong tas berisi tumpukan buku.

Di lapangan tampak beberapa siswa yang bermain sepak bola, menikmati waktu bebas mereka. Menambah suasana ramai siang itu.

Di luar gerbang sekolah tampak ada begitu banyak kendaraan memadati jalan raya. Suara klakson berpadu dengan keramaian yang ada, menciptakan suasana siang menuju sore itu begitu ramai.

Fanni memilih berjalan kaki sepulang sekolah, melatih otot kakinya yang tak pernah berolahraga. Seraya mendengarkan alunan musik dari idolanya dengan earphone dia berjalan di trotoar.

Di tepi jalan itu dihiasi pepohonan yang cukup rindang, menampilkan bayangannya yang tinggi ke jalanan. Membuat langkah Fanni tak begitu berat karena harus kepanasan.

Dari kejauhan, dia melihat sosok orang yang familiar baginya. Dia memastikan  bahwa orang yang dilihatnya benar Kakaknya.

"Bang Farhan!" Teriak Fanni dari kejauhan, dengan terburu-buru menghampiri Kakaknya dengan wajah ceria, dia menggandeng tangan sang Kakak membuat Farhan mengernyit kebingungan.

"Kenapa kamu? Sakit?"

Fanni berdecak lalu kembali tersenyum."Fanni ikut, ya."

Farhan melepas gandengan tangan Fanni dengan paksa."Enggak, ngapain ikut mau ketemu temen."

"Iya, tahu. Fanni ikut, ya? Ya?"

"Pulang sana, aku laporan Mama kalau kamu maksa ikut."

Gadis berbalut seragam itu mengurai jarak dengan Kakaknya. Dengan wajah dongkolnya ia melihat Farhan menerima telepon. Terdengar suara orang yang selama setahun ini dia sukai. Dia mengintip nama penelpon, namun tak kunjung terlihat.

"Iya, ini lagi otewe, udah pada kumpul?" tanya Farhan seraya berjalan, dia menoleh ke samping di mana sang Adik tampaknya cukup penasaran dengan orang yang dia hubungi. "Iya, bentar gue ke sana sekarang."

"Siapa? Temen Abang yang mana? Yang tinggi itu bukan?" tanya Fanni.

"Temen."

Fanni mencibir Kakaknya itu, sudah menduga jawabannya tak akan memuaskan rasa penasarannya.

"Jadi gimana?" Fanni mulai berjalan mengikuti Farhan.

"Gimana apanya? Pulang sana!"

"Gak mau, ikut, ya?" bujuk Fanni pantang menyerah.

Farhan menghentikan langkahnya."Gak seru serius, bosen di sana. Lagian gak ada ceweknya."

"Terus kenapa?"

Farhan terdiam, dia mengeluarkan ponselnya membuat Fanni panik dan segera merebutnya. "Iya, gak jadi ikut."

"Balikin hapenya?"

Fanni menatap wajah Farhan, masih enggan memberikan ponsel milik Kakaknya. Tangan Farhan terulur meminta barangnya dikembalikan. Dengan enggan Fanni mengembalikan ponsel Kakaknya, belum sempat kembali ke pemiliknya Fanni menarik lagi tangannya.

"Boleh minta nomor Kak Haris gak?" tanyanya dengan pelan dan cepat.

"Apa? Gak denger?"

Fanni meneguk ludah, dengan malu dia kembali berkata. "Minta nomor Kak Haris!"

Farhan merebut ponselnya dari tangan Fanni, dia menghela napas lalu pergi tanpa berkata apapun. 

"Bang!" panggil Fanni. "Nomornya mana?"

"Enggak ada!"

-_-+

Bandung, 2 tahun yang lalu

Siang menjelang sore, matahari mulai meredup tertutup pepohonan tinggi yang menari di tepi kiri dan kanan jalan setapak.

Suara angin sepoi-sepoi yang bernyanyi memainkan alunan irama tenang dan damai dari daun dan tangkai yang saling bergesekan.

Dari kejauhan terdengar suara burung yang hendak berpulang ke sarang mereka. Aroma daun, embun dan tanah yang benar-benar melekat dalam ingatan.

Fanni bersandar di bahu kekasihnya, matanya tertutup tenang menikmati momen yang mungkin tak akan mungkin bisa terulang.

Haris melihat pemandangan lembah di depannya, perlahan gelap karena sinar surya yang tertutup rimbunnya rumput dan pohon.

Rasanya waktu berjalan begitu lambat, turut menikmati keindahan yang disuguhkan.

Satu tahun telah berlalu setelah Fanni berhasil menggapai hati orang yang paling dia sukai. Setelah berjuang begitu keras, akhirnya pemilik nama Haris Brata Yudha itu berhasil ia luluhkan.

"Kenapa harus pulang sekarang?" mata Fanni terbuka perlahan dan menatap wajah Haris yang tengah fokus melihat ke depan.

Haris tersenyum, tanpa mengalihkan atensinya dia membelai rambut Fanni dengan lembut. "Mau gak mau, udah resiko ngerantau."

"Aku kadang mikir, kenapa kamu gak jadi orang Bandung aja dari lahir. Jadi kita gak perlu LDR."

Fanni bangun dia pindah tempat duduk ke hadapan Haris. "Aku denger banyak orang yang putus karena gak kuat ngejalanin hubungan jarak jauh. Kamu serius mau tetep pulang ke kampung halamanmu?"

Haris mengangguk. "Iya. Karena di sana aku bisa ketemu orang-orang yang aku sayang."

"Aku? Aku gimana?"

"Kamu juga. Meski kita jauh nantinya, susah ketemu dan mungkin bakal gak sempet saling komunikasi karena kesibukan masing-masing. Tapi, aku akan usahain buat gak bikin kamu khawatir."

"Tapi, Ris. Semisal nanti kamu goyah karena banyak cewek lain yang lebih cantik, lebih dewasa dan lebih banyak lebihnya daripada aku. Gimana?"

"Gak gimana-gimana."

Fanni melihat wajah Haris, dia memperhatikan dengan seksama membuat sang empu turut melihat kearahnya. "Kayaknya aku gak bisa."

Gadis itu tetap memperhatikan wajah kekasihnya. Matanya mulai berkaca-kaca siap meluncurkan mutiara kecil yang sedang ditahan oleh pemiliknya. Fanni menelungkupkan wajahnya dilutut, mencoba menahan sesuatu yang terasa ganjil dalam hatinya.

Kedua tangan mereka saling menggenggam erat. Haris menghela napas, dan menghembuskannya perlahan. Dia sendiri khawatir dan takut akan masa depan yang belum pasti, tapi saat ini ada orang yang membutuhkan untuk tetap tenang.

"Kalau di sana ada yang lebih baik daripada kamu, terus aku harus gimana? Kan yang pacarku itu kamu bukan mereka."

"Fanni." melihat Fanni yang tetap diam, Haris melanjutkan ucapannya. "Kamu percaya sama aku?"

Fanni menggeleng. "Enggak."

Haris tertawa karena tingkah Fanni. "Kenapa?"

Fanni menatap Haris. "Bukan kamu yang gak aku percaya, tapi aku."

"Aku takut banget, suatu saat pasti ada masanya bosen atau sibuk sama kegiatan masing-masing. Ada banyak banget kekhawatiran yang saat ini gak bisa berenti atau ilang dari pikiran. Gimana kalau kamu muak sama aku? Gimana kalau nanti kamu capek sama tingkahku dan banyak alasan lain."

Haris kembali melihat lembah yang penuh dengan pohon itu, ada beberapa burung dan tupai yang menghiasi tangkai pohon. "Lihat ada monyet!" tunjuknya.

"Serius, Ris."

"Iya ini lagi serius, gak ada yang bercanda."

Netra kecoklatan itu menatap wajah Fanni yang kesal karena tingkahnya. Dia membenarkan posisi Fanni agar duduk kembali di sebelahnya. Dia menunjuk burung-burung membuat sarang di pepohonan itu.

"Kamu lihat burung itu? Setiap hari mereka pergi jauh banget dari tempat mereka tinggal sekarang. Entah berapa kilometer mereka pergi setiap harinya, ninggalin telurnya di sarang. Dia gak tahu apa yang bakal terjadi setelah dia pergi, entah telurnya hilang atau mungkin sarangnya jatuh. Dia mencoba percaya, mencoba yakin dan terus menjalani hidupnya. "

"Makanya, kamu cukup percaya dan yakin sama aku. Apapun yang terjadi, sekalipun nanti kita ada masalah, sebisa mungkin aku harap kamu bisa percaya sama aku."

Dilarang saling rindu! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang