15. I'm oke

27 10 0
                                    

14. I'm oke

Di hari yang cerah ini, Diana dan Fanni berencana untuk pergi ke jalan-jalan sekaligus untuk melupakan kesedihan karena putus cinta.

Dika dan Panji ikut, karena Panji yang memiliki kendaraan sedangkan Dika yang bisa menyetir turut ikut menemani perjalanan mereka.

Sementara itu Diana dan Fanni berada di depan pasar swalayan. Menunggu Dika dan Panji yang sedang mengisi bahan bakar.

Keadaan Diana baik-baik saja, jauh berbeda dengan orang-orang patah hati pada umumnya yang cenderung kehilangan semangat. Diana bahkan tidak berbeda dari hari-hari biasanya.

Fanni heran, bagaimana bisa Diana bersikap normal. Bahkan seminggu yang lalu dia terlihat tidak bisa kehilangan Rian barang sedetik. Sekarang saat hubungannya dipaksa berakhir dia baik-baik saja.

Lihatlah apa yang sekarang Diana lakukan, melakukan pemanasan dengan meloncat-loncat dan meregangkan otot-otot lengannya. Fanni jadi khawatir, rasanya lebih menakutkan melihat Diana bersikap biasa saja daripada melihat gadis itu menangis dan mengamuk atas apa yang menimpa hubungan percintaannya.

Diana mengambil tas yang ia taruh di bawah lalu menggendongnya. "Hais! Berat banget, berasa mau pindahan gue!"

"Taroh aja, dulu! Masih lama ini berangkatnya." Fanni berjongkok. Kesal karena dia sudah berdiri sejak setengah jam yang lalu, namun Dika dan Panji masih belum tiba.

Akhirnya setelah sekian lama keduanya sampai. Mereka pun memulai perjalanan yang cukup jauh. Fanni sempat heran bagaimana bisa Riki mengizinkan Diana pergi bersama Dika dan Panji sedang dia pun tidak memberi izin Rian untuk tetap berhubungan dengan Diana.

Rencananya mereka hanya akan pergi dua hari ke Yogyakarta. Tapi mungkin bisa lebih dari perkiraan.

Suasana dalam kendaraan roda empat itu ricuh pada 2 jam pertama sebelum kemudian kelelahan dan tertidur.

Panji dan Dika bergantian menyetir, karena dua perempuan yang duduk di kursi belakang hanya bisa berdoa sebagai bentuk bantuan.

Perjalanan dari Jakarta menuju Yogyakarta membutuhkan waktu hampir 8 jam. Itupun mereka hanya beristirahat sesekali untuk ke pom bensin dan makan pun mereka lakukan di dalam mobil, sungguh beruntung karena tidak terjebak macet sama sekali.

Saat hampir magrib barulah mereka sampai di hotel tempat mereka menginap. Trip kali ini disponsori langsung oleh Diana, seluruh biaya keseluruhan dia yang tanggung.

Mereka memesan dua kamar, satu untuk Diana dan Fanni satu lagi untuk Dika dan Panji. Kini Fanni ada di kamar hotelnya.

Sejak tadi Fanni diam di atas kasurnya sambil memainkan ponsel.

"Fanni, mau ke bawah gak? Jalan-jalan," ajak Diana.

Fanni mendongak lalu menggeleng seraya tersenyum. "Gak, deh. Gue mau istirahat aja, cape."

Beberapa menit kemudian ponsel dalam genggaman Fanni bergetar, tertulis nama Udin anak Jin di layar. Itu tak lain adalah nomor milik Diana.

"Hallo, kenapa lo telepon? Etdah kangen 'kan lu ama gua? Gue tahu gue ngangenin."

"Kagak," jawab Diana. Suara itu terdengar jelas dan bukan berasal dari ponsel Fanni.

Diana berjalan santai dan merebahkan tubuhnya di kasur Fanni. "Si Udin, pantes suaranya ada. Gak jadi ke bawah?"

"Fan," panggil Diana dan duduk di samping Fanni.

"Kenapa?"

"Gue gak putus sama Rian," ucapnya memberitahu.

"Gue tahu lo putus sama Rian 'kan gue liat sendi--wait!" Fanni menatap Diana dengan tatapan tanya. Diana mengangguk tanpa ragu.

"Lo gak putus sama dia?" tanya Fanni memastikan, dia bahkan gugup saat bertanya.

"Enggak, " jawab Diana enteng. Lalu kembali merebahkan tubuhnya di kasur.

"Kok bisa?"

"Ya bisalah."

"Kalau Bokap lo tahu gimana?"

Diana berpikir sebentar, kemudian dia meminum air mineral yang ada di atas meja. "Kalau lo gak bilang ya dia gak bakal tahu."

"Fan, gue kesel selalu diatur-atur kek gitu. Gue udah gede, gue tahu apa yang terbaik buat diri gue sendiri. Papa aja baru dua kali ketemu sama Rian dan dia langsung nyimpulin kalau Rian itu gak baik buat gue. Gue yang lebih kenal Rian, Fan. Gue tahu dia gak seburuk yang Papa bayangin."

Fanni menggigit bibir bawahnya, menepuk pundak Diana beberapa kali. Selama dia mengenal Rian, lelaki itu memang jarang bertingkah aneh atau membuat onar, bisa dibilang cukup baik tapi, siapa yang tahu bagaimana lelaki itu sebenarnya. "Mungkin apa yang Bokap lo omongin itu bisa aja bener, Din. Lo gak boleh mikir kek gitu!"

"Tapi, Fan?" Diana menatap Fanni dengan pandangan memelas. "Ya, oke. I know dia mau yang terbaik buat gue, dia ngelakuin itu karena dia sayang sama gue. Tapi gak gitu juga caranya."

Satu tangan Fanni menggenggam tangan Diana, satu tangannya merangkul pundak perempuan itu. "Terkadang apa yang ada di pikiran kita baik belum tentu baik juga di pikiran orang lain. Lo gak bisa salahin Bokap lo, bisa aja kan apa yang dia omongin itu bener."

"Kita gak pernah tahu isi hati orang lain, orang yang saling kenal selama bertahun-tahun aja kadang gak bisa kenal baik satu sama lain."

"Ya terus gue harus gimana, Fan?"

"Serahin semuanya sama takdir. Kalau lo sama Rian emang jodoh, pasti ada jalan buat Om Riki kasih kalian izin buat terus pacaran, bahkan sampai lanjut ke hubungan yang jauh lebih serius dari itu."

Diana mengangguk kemudian memeluk Fanni dari samping. Dia merasa lega telah menceritakan apa yang ia pendam sendiri. Berbanding terbalik dengan gadis yang baru saja memberi solusi pada hubungan orang lain, dia justru sedang risau dengan hubungannya sendiri yang sekarang seolah semakin buram dan tidak tahu dimana titik temunya.

__________
______________________________________

"Kita gak pernah tahu isi hati orang lain, orang yang saling kenal selama bertahun-tahun aja kadang gak bisa kenal baik satu sama lain."

________________________________________________

buna_rfa

Dilarang saling rindu! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang