13. Ujian

25 10 8
                                    

13. Ujian

Hari demi hari telah berlalu, tibalah saat untuk menentukan kemampuan akademik masing-masing mahasiswa.

Fanni dan Diana sudah belajar dengan baik, kini mereka harus bekerja keras selama seminggu.

Kini Fanni duduk di kursi taman yang sudah seperti miliknya, disampingnya ada Dika yang juga tengah menunggu Diana selesai uts.

Tak lama gadis itu datang, seperti biasa dia tiba dengan napas yang terengah-engah, memprotes bangunan kampus yang memisahkan fakultasnya dengan fakultas Fanni begitu jauhnya.

"Sumpah, ya nyebelin banget. Mana baru hari pertama lagi, gak kuat gue kalau harus nunggu sampai minggu depan. Gue kangen banget sama dia, Fan!" Ucap Diana menggebu-gebu, dia seperti orang gila membayangkan harus menjalani hari tanpa sang kekasih.

Fanni terkekeh, dia jelas tahu bagaimana perasaan Diana. Karena dia pernah ada di posisi yang sama, namun beda kondisi saja. Jika Diana dia bisa kapan saja menemui Rian, karena dia hanya tidak bisa menghubungi Rian dalam batas waktu yang jelas. Bukankah itu akan lebih menyenangkan? Ditambah dengan kemampuan Rian dalam belajar yang bisa diancungi jempol.

Dan lagi, Diana hanya perlu menahannya selama seminggu. Sedangkan Fanni? Dia bahkan tidak bisa menemui Haris dan itu lebih dari dua tahun lamanya. Dan sekarang gadis itu harus menahan untuk tidak mengingat Haris atau lebih parahnya menyiapkan hati untuk menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Fanni menghela napas, seharusnya dia tidak memikirkan Haris. Yang malah berujung pada dia yang ingin menghubungi Haris, kemarin juga begitu. Fanni nyaris menelpon Haris, nasib baik saat itu Diana menelponnya.

"Lo dengerin gue gak sih?!"

Fanni segera beralih menatap Diana. "Denger, Din. Udah gak papa. Masa lo gak bisa? Seminggu doang loh! Lagian si Rian juga gak akan kemana-mana 'kan? Kalau lo gak hubungin dia."

"Cuma lo bilang? Hey seriously, yang bener aja? Lo sih enak tinggal ngomong! Seminggu, Fan. Sehari aja gue berasa seabad gak ketemu sama dia!" Ucap Diana tak terima.

Fanni berdecak seraya menggeleng heran. Padahal ' kan memang hanya seminggu, sepatutnya Diana tidak selebay itu.

____

Tujuh hari telah berlalu, sekarang semua Mahasiswa Universitas Tridharma sudah menyelesaikan ujian mereka. Seakan beban yang mereka pikul telah dibebaskan, rasanya begitu lega.

"Ahk, gue ngerasa baru bebas dari penjara. Astaga, akhirnya selesai juga!" Diana meregangkan kedua lengannya.

Fanni menghampiri bangku Diana dan duduk di kursi sebelah Dika. Seperti biasa duduk di bangku taman, karena tempat tersebut nerupakan titik pusat fakultas mereka.

Fanni menoleh ke samping, Dika tengah menelungkupkan wajahnya di meja.

"Narapidana baru dong!" Celetuk Fanni.

"Ya beda, kalau gue napi tanpa masalah. Kalau yang di sana pada punya masalah semua!"

"Akhirnya otak kecil gue ini bisa istirahat, kerja bagus baby!" Diana menepuk-nepuk kepalanya, seperti tengah berbicara dengan otak kecilnya itu.

"Pokoknya malam ini kita harus rayain kesuksesan otak kita yang udah berbaik hati mengisi soal-soal itu!"

"Sip!" Diana menunjukkan jari jempolnya. "Gue yang beliin makanan, ahk lo harus nginep di rumah gue!"

"Wih, baru dapat lotre lo? Tumbenan banget neraktir gue." Fanni bertanya curiga, ayolah Diana ini tipe manusia pelit, sebelas dua belaslah dengan si Rama.

"Baru ngepet duit Bokap gue. Kemarin baru gajian dia. Nyokap gue juga, lumayanlah."

"Ck! Oke entar malam gue ke rumah lo."

"Lo tahu gak? Semalam gue ketemu sama cogan, astaga idaman banget deh." Diana menopang dagu dengan sebelah tangannya, antusias menceritakan pria yang ia lihat tadi malam.

Fanni memicing. "Lo gak ada rencana buat selingkuh 'kan?"

Diana berdecak, ayolah dia tidak mungkin melakukan hal seburuk itu. "Gak mungkinlah! Tapi, cowok kemarin tuh emang beneran ganteng banget. Ahk, seandainya aja gue jomblo, udah langsung gue embat tuh."

"Kalau Rian tahu abis lu sama dia! Lagian, ya udah tahu punya pacar masih aja mikirin cogan!" cibir Fanni.

"Eh, gue tuh, ya liatin cogan buat stok doang. Kira-kira yang mana nih yang cocok buat sahabat gue yang udah kelamaan jomblo ini."

"Dikira itu cowok barang kali, ya? Pake di stok segala. Lagian, ya stok cogan di luar list lo itu jauh lebih banyak. Dan yang ada di list lo itu belom tentu jomblo."

Diana mengangguk. "Iya, juga ya. Lagian gini hari mana ada cogan masih jomblo. Kelainan kali dia."

"Yuk, balik! Gue lapar, nih. Kemarin gue beli bakso instan di online shop. Kayaknya enak, gue belum sempat coba. Lo mau nyoba juga, gak? Nanti sekalian gue bawa."

Fanni menenteng tasnya, bersiap untuk pulang begitu juga dengan Diana. "Boleh, bawa aja."

Diana melihat Dika, sepertinya lelaki itu ketiduran. "Fan, lo liat dia deh. Ketiduran kali tuh!"

Fanni melihat arah pandang Diana, kemudian mengguncang lengan Dika. Memiringkan wajahnya agar bisa melihat wajah Dika. "Woy, Dika! Dik, bangun!"

Mata Dika perlahan terbuka, lalu kemudian mencoba menegakkan tubuhnya. Dika menggosok kedua matanya dengan tangan. Kemudian membuka kembali matanya, ternyata dia tidak salah lihat.

Pipi Dika memerah, tentu saja karena ia melihat wajah Fanni tepat di depannya saat ia terbangun. Dika jadi salah tingkah sendiri.

"Eh, g-gue ketiduran, ya?" Dika menoleh ke kanan, kiri, depan dan belakang. Seperti orang linglung. "Makasih udah dibangunin."

"Yang nyuruh bangunin lo itu si Diana, bukan gue. Jadi lo bilang makasihnya sama Dianalah, bukan sama gue!"

"O-oh, gue kira lu inisiatif sendiri."

Fanni tersenyum mengejek. "Lo ngarep gue yang inisiatif ngebangunin, lo?"

"Ciee, kenapa pipi lo merah gitu?" Fanni mendekatkan wajahnya semakin dekat ke wajah Dika.

"lo Salting, ya?" Tebak Fanni lalu kemudian meneggakkan tubuhnya seraya menutup mulut dengan ekspresi kaget yang dibuat-buat. "Atau jangan-jangan lo suka, ya sama gue?"

"Ih pipi lo makin merah anjir!" Ledek Diana lalu tertawa.

Dika menegang, dia tidak mampu untuk sekedar menyangkal ejekan kedua gadis di depannya. Pipinya semakin terasa memanas, jantungnya berdetak cepat. Rasanya Dika ingin mengubur dirinya saja.

Fanni mendekat dan merangkul pundak Dika. Dia menepuk kepala Dika pelan." Sans, Bro. Gak usah tegang gitu, kali."

"Gue kan cuma bercanda."

"Yuk, Din. Gue pulang duluan, ya  bye! " sebelum pergi dari sana Fanni masih sempat-sempatnya menggoda Dika, gadis itu menoleh dan mengedipkan matanya kemudian tertawa dan menghilang dari pandangan Dika.

Dika meneguk ludahnya kemudian mengusap tengkuknya. Lelaki itu tertawa hambar, harusnya dia tahu Fanni hanya bercanda, dan dia yang terlalu berharap. Mengambil tasnya lalu pergi dari sana.

__________
______________________________________

Lihatlah bagaimana menyedihkannya aku, sudah tidak bisa menyatakan rasa rindu, tidak bisa bertemu. Bahkan hanya aku yang menyukaimu!

______________________________________
__________


ex_project

Mau nanya nih, menurut kalian Fanni lebih baik nunggu Haris aja atau sama Dika?

Dilarang saling rindu! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang