30. Dilarang saling rindu! ( End)

24 3 0
                                    

30. Dilarang saling rindu! (End)

Bandung, 2 tahun yang lalu

Rumah berwarna hijau itu menjadi tempat yang sangat famililar bagi Haris. Selama beberapa waktu terakhir, ia lebih sering menghabiskan waktu di sana daripada di kediamannya sendiri.

Dilihatnya sang Adik yang berlari kecil menghampirinya. Senyum cerahnya mengembang menyambut kedatangan Kakak laki-lakinya ini. "Abang, habis dari mana? Katanya mau datang pagi. Riana tungguin loh, Bibi juga udah masakin soto kesukaan Abang."

Haris mengurai senyum, ia menepuk pelan kepala sang adik  dan menyentil dahinya. "Dasar bocah, ini masih pagi tahu."

"Pagi apaan?" balas Riana. "ini udah jam sebelas Bang, udah siang banget. Ayam aja kayaknya udah beres nyari makan."

"Iya deh, ayo masuk. Lapar banget Abangmu ini. Bukannya disuruh masuk dulu, malah diomelin. " Haris merangkul pundak Riana yang kini sudah berdecak kesal.

Saat ini Riana tinggal bersama Paman mereka. Ketika pertama kali Haris menyampaikan niatnya untuk tinggal bersama Neneknya yang ada di Bandung, Riana adalah orang yang paling menentang keputusannya itu.

Orang tua mereka masih hidup, sehat dan mampu memenuhi kebutuhan mereka. Hanya saja, pertengkaran tidak berujung, perselingkuhan, dan kebohongan turut mewarnai kehidupan keluarga mereka.

Haris saat itu bertekad untuk segera pergi dari sana, ia muak setiap kali melihat Ayah atau Ibunya membawa selingkuhan mereka ke rumah. Seolah itu hal yang normal.

Mereka bertengkar, saling berteriak dan memukul. Mencoba membenarkan setiap kesalahan dari masing-masing pasangan. Lalu kemudian berbaikan seolah tidak ada yang terjadi.

Hal itu terus berlanjut, hingga bertahun-tahun lamanya. Kedua orang tuanya terikat sebagai pasangan namun terlihat seperti sekedar formalitas. Keluarga mereka terlihat lengkap dan bahagia, mereka hidup berkecukupan tapi rasanya itu semua tidak cukup, ada satu bagian yang terasa menghilang.

Berulang kali Haris mempertimbangkan keputusannya untuk pergi. Ia ingin membawa Riana hengkang dari rumah penuh nestapa itu  bersamanya, tapi kedua orang tuanya tidak mengizinkan itu.

Sampai sekarang akhirnya Riana bisa datang menyusulnya kemari. Haris merasa sedikit lebih lega setelah melihat Riana kembali tersenyum seperti sekarang.

Ketika pintu terbuka sudah ada Sofia beserta Paman dan Bibinya. Entah kenapa Haris merasa ada yang janggal saat melihat wajah sang Paman yang tampak gelisah.

       ◌⑅●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅◌

Cahaya mentari mulai terasa lebih sejuk, angin bertiup mengiringi tarian alam yang menenangkan jiwa.

Kedua insan dimabuk cinta itu saling mengungkapkan kasing sayang mereka lewat tatapan mata. Lewat satu lilin yang tertancap di atas kue, menyimpan ribuan memori yang akan selalu terkenang.

"Happy anniversarry, my baby. "

Seutas senyum terurai, begitu indah bak lekukan pelangi sehabis hujan. Fanni menatap Haris begitu lekat, seolah hari esok tak akan pernah sampai. Jauh ia mengenang kembali, kilasan memori dalam iris mata kecoklatan itu. Betapa besarnya ia memberi kasih, hingga akhirnya lelaki itu mau melihat kearahnya. Tak terasa air mata Fanni jatuh begitu saja, bak air hujan yang turun menemui tanah. Melepas kerinduan yang selama ini terbendung.

"Hey, kenapa nangis?" tanya Haris, tangannya beranjak mengusap lembut pipi kekasihnya.

Fanni menggeleng pelan, ia kembali tersenyum. "Gak tahu, tiba-tiba aja air matanya jatuh."

Haris mendekat, ia mendekap Fanni dalam pelukan hangatnya. Lagi, gadis itu tak kuasa menahan air matanya. Ia membalas pelukan Haris lebih erat, dia tidak rela Haris pergi.

Hari ini, tepat satu hari sebelum keberangkatan Haris ke kampung halamannya. Hari ini mungkin akan jadi terakhir kalinya Fanni dapat leluasa menatap pacarnya.

Rasa takut kehilangan membuat Fanni semakin tidak sanggup jika harus menjalani hubungan jarak jauh. Ia takut Haris tidak kembali padanya, ia takut suatu saat rasa percayanya tidak cukup besar untuk menghadapi segala masalah yang akan datang nantinya.

Fanni mengurai pelukan, ia mendongak menatap wajah Haris yang tersenyum menenangkannya. Sesekali ia menatapnya dengan wajah meledek dan menertawakannya, sengaja membuat Fanni kesal.

"Udah dong nangisnya, ini harusnya kita happy. Jangan dibawa sedih terus, aku gak akan lama di Lombok."

"Berapa lama?" tanya Fanni, Haris tampak merenung dan hanya tersenyum sebagai jawaban yang mana ia sendiri tidak tahu berapa lama ia akan tinggal di sana. "Kamu aja gak bisa kasih kepastian, gimana bisa aku lepasin kamu dengan tenang."

Haris mencubit hidung gadis itu karena gemas. "Aku usahain untuk pulang lebih cepat. Segera setelah urusanku dengan orangtuaku selesai, aku pasti bakal balik lagi ke sini. Sabar, ya sayangku."

"Gak bisa, aku gak mau sabar," balas Fanni cepat.

"Jangan gitu dong, Fan. Aku jadi makin bimbang, aku pulang ke Lombok juga bukan karena kemauanku. Udah dong, jangan ngambek."

Fanni menghela napas. "Kalau aku kangen gimana?"

"Aku telepon."

"Kalau aku pengen ketemu kamu saat itu juga?" desak Fanni.

"Aku usahain balik ke sini hari itu juga. Tapi, aku gak janji." Haris mulai gelisah, ia takut merusak kepercayaan Fanni jika tidak bisa menepati ucapannya.

Haris kemudian mengeluarkan kotak persegi kecil dari dalam tas ranselnya. Ia membuka kotak itu dan mengambil satu buah gelang dengan liontin bulan kecil menghiasi. Dipakaikannya gelang itu, tampak cantik dan pas di pergelangan tangan Fanni.

"Apa ini?" tanya Fanni.

"Ini hadiah, aku titip gelang ini, ya. Memang bukan barang yang spesial ataupun berharga. Tapi, gelang ini berharga buatku. Ini gelang dari Kakakku sebelum dia pergi jauh."

"Suatu hari nanti, saat aku kembali aku akan kasih kamu barang yang lebih berharga, dengan satu syarat," lanjut Haris.

Fanni bertanya dengan penasaran. "Apa Syaratnya?"

"Kita taruhan, siapa yang bisa nahan untuk bilang kangen dia yang dapat hadianya."

"Kalau kamu yang menang?"

"Enggak, aku bakal pastiin kamu yang menang." Haris menepuk pelan kepala Fanni sekali dan tersenyum.

Saat ini, Fanni baru sadar bahwa ucapan Haris mungkin memang sebuah pertanda. Bahwa di kemudian hari yang ia janjikan itu tidak pernah datang.

Fanni benar-benar menyesali keputusannya untuk melepas kepergian Haris, karena nyatanya dia memang kembali tapi tidak untuk menemuinya. Tidak untuk berlari kearahnya dan memulai kembali kisah yang sempat tertunda. Ia hanya kembali dan meninggalkan hati juga perasaannya jauh di belahan bumi sana.

Dan kisah mereka, berakhir di sini.

          ◌⑅●♡⋆♡The End♡⋆♡●⑅◌




Dilarang saling rindu! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang