Part 4

62 19 3
                                    


.
.
.

Alvis telah sampai di sekolah-tepat jam setengah delapan pagi. Memarkirkan mobilnya lalu turun dan langsung menuju kelas. Sepanjang jalan banyak sekali pasang mata yang melihatnya. Pekikan gadis-gadis bersahutan, seakan tidak ada hari esok lagi untuk melihat betapa tampan ciptaan Tuhan satu ini.

Alvis sangat risih jadi pusat perhatian. Ia bukan anak-anak yang suka tebar pesona seperti Herdian. Sesekali ia merutuki orang yang terus memandangnya, lantas berjalan cepat di koridor menuju tangga agar sampai di kelasnya yang berada di lantai dua.

Saat di depan tangga, Alvis bertemu dengan sahabatnya dan memutuskan untuk berjalan bersama. Sebut saja dia Raditya Andaka atau yang kerap disapa Ditya. Lelaki dengan tubuh semampai, kulit bersih serta wajah manis menjadi daya tariknya. Ditya tidak kalah populernya dengan Alvis. Eum, sebenarnya tidak ada yang tidak tersohor dalam circle pertemanan mereka. Seperti Chaska Wahyu dan Rafka Fauzi. Jika Chaska wahyu terkenal dengan kulit eksotisnya, maka berbeda dengan Rafka yang terkenal dengan tubuh atletis. Mereka berempat sudah berteman semenjak duduk di bangku kelas tiga SMP di mana ketiganya bertemu di kelas unggulan.

Mereka sudah saling mengerti satu sama lain. Sudah tau seluk-beluk, baik dan buruk. Tidak pernah ada pertengkaran hebat. Hanya ada pertengkaran kecil yang ditimbulkan oleh Chaska dan Ditya. Mereka berdua bak Tom and Jerry versi manusia. Selalu mempeributkan hal kecil, tetapi itulah yang membuat pertemanan mereka semakin erat.

Kini, keduanya-Alvis dan Ditya-sudah sampai di pintu kelas mereka. Terlihat Chaska dan Rafka yang sibuk dengan alat tulis. Sudah seperti makanan sehari-hari bagi keduanya untuk melakukan hal tersebut. Selalu saja menyalin tugas saat dead line sudah dekat.

"Kebiasaan ya, lo berdua," cibir Ditya yang sudah duduk manis di bangkunya. Di susul oleh Alvis.

Chaska hanya tersenyum lima jari sedangkan Rafka tidak peduli. Saat ini, ia bagaikan berada di ujung ambang antara hidup dan mati. Jika terlambat sedikit saja mungkin sudah tamat riwayatnya. Salahkan dia karena mengikuti perkataan Chaska yang sesat. Semalam ia diajak oleh Chaska untuk bermain PS di rumah lelaki berkulit eksotis tersebut, Rafka sempat menolak dengan mengatakan jika ia harus mengerjakan tugas. Tetapi tergoda dengan perkataan Chaska yang bilang kalau bisa mengerjakannya di sekolah.

"Akhirnya, selesai juga!" ucap Chaska sembari meregangkan otot-ototnya.

"Besok-besok, gue nggak mau ikut ajaran sesat lo lagi," ucap Rafka.

"Ya, lagian. Udah tahu si Chaska sesat. Masih aja diikutin," celetuk Ditya, lelaki manis itu sepertinya minta sedikit sledingan. Muka Rafka masam dibuatnya. Ingin membantah, tapi yang dikatan lelaki itu tidak ada salahnya.

"Oit, Al. Diem bae, lempeng banget idup lo," komen Chaska. Lelaki ini memang suka sekali memancing keributan. Untungnya Alvis bukan orang yang gampang emosi seperti Ditya.

Alvis tidak menimpali candaan Chaska, dirinya malah sibuk memikirkam perkataan Keysha sebelum dia berangkat ke sekolah. Kenapa ingin merahasiakan status mereka? Seperti orang pacaran yang takut speak up ke publik saja. Begitu pikirnya.

Di tengah lamuannya, bel tanda masuk berbunyi. Guru yang akan mengajar pagi ini telah tiba dan melakukan pembelajaran setelah mendapat kata sambutan dari siswa maupun siswi kelas. Alvis tersenyum tipis melihat deretan buku yang tersusun rapi dalam tasnya. Sebenarnya dia belum sempat mengecek isi tas, rasa khawatir muncul ketika ia pertama kali membuka tas, takut-takut kalau buku yang dimasukkan Keysah salah semua. Ternyata dugaannya salah.

Pelajaran Matematika menemani pagi mereka saat ini. Susunan angka-angka terus terukir di papan tulis. Bagai lukisan yang belum utuh sampai hasil akhir ditemukan. Terus membuat rentetan angka baru yang bisa membuat siapa saja pusing melihatnya. Seperti Chaska yang sudah memijit pelipisnya pusing. Lebih baik ia belajar sejarah dari pada matematika.

Dua jam belajar menghitung ternyata belum cukup, sebab satu jam setelahnya-jam pelajaran berganti-mereka masih akan tetap menghitung. Ini sebabnya mereka membenci hari Kamis. Lantaran dari jam pelajaran awal sampai akhir, otak mereka harus menghadapi jejeran angka yang tidak ada habisnya. Bayangkan saja setelah ini mereka harus belajar Kimia, Fisika dan juga geografi lintas minat.

"Mau pindah ke pluto aja gue kalau gini," keluh Rafka yang diangguki Chaska. Diantara ke empatnya, Chaska dan Rafka adalah orang yang paling anti dengan hitungan. Berbeda dengan Alvis dan Ditya yang sudah dianugerahi kepintaran sedari kecil.

Waktu terus berjalan, tidak terasa kini mereka telah sampai di jam istirahat. Artinya mereka terbebas dari neraka rentetan angka. Kata syukur terucap begitu guru ke luar dari kelas, tetapi tentu saja wajah mereka masih tertekuk karena mendapat pekerjaan rumah.

Alvis dan kawan-kawan sepakat untuk mendinginkan pikiran dengan pergi ke kantin dan meminum beberapa minuman dingin. Setelahnya mereka memesan makanan sesuai keinginan. Saat tungkai keempatnya mendekati stan makanan, banyak pasang mata memberi mereka jalan. Tidak perlu lagi untuk mengantri.

Setelahnya, kembali ketempat duduk masing-masing-meja pojok.

"Al, adik baru lo, gimana?" tanya Rafka.

Alvis memang selalu menceritakan kepada kawannya jika orang tuanya akan mencarikan ia seorang adik. Bukan hal baru lagi untuk ketiganya jika mendengar Alvis akan memiliki seorang adik baru. Hampir setiap bulan mereka mendengarnya, namun pada akhir adik Alvis memilih pergi.

"Gak kabur, lagi, 'kan?" sambung Chaska diakhiri kekehan dari yang lain.

Alvis memandang masam. "Sekarang enggak, gak tau nanti," jawabnya acuh seraya mengendikkan bahu.

Ditya menepuk punggung Alvis lalu berucap, "Gue harap, ini yang terakhir. Kasian tante Kirana."

"Hmm, iya," jawab Alvis malas.

.
.
.
Tbc

Path of Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang