Part 23

20 9 0
                                    


.
.
.

Sudah pukul tujuh lewat empat puluh pagi, tetapi Alvis belum juga membuka matanya. Ia masih asik berseluncur di alam mimpi. Semalam ia tidak tidur sampai pukul empat dini hari. Sibuk memikirkan bagaimana rencananya untuk hari ini.

"Aden, bangun." Bi Munah mengguncang bahu lelaki itu.

Alvis yang merasa terganggu, membuka mata secara perlahan. Kepalanya terasa pening, ia berdiam sebentar untuk mengusir kunang-kunang yang mengitari kepalanya. Tangan meraba-raba sekitar untuk mencari ponsel pintar. Ia membelalak kaget melihat jam yang tertera di layar.

"Mampus! Bi, makasih!" Lelaki itu buru-buru mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.

Mulutnya terus mengomel, tetapi tangannya tetap bekerja. Ia bagaikan orang yang sedang dikejar rentenir karena telat membayar hutang. Berakhir hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Untung saja tubuhnya tidak bau.

Biasanya ia akan langsung mengambil tas lalu turun ke bawah, tetapi kali ini, ia harus mempersiapkan isi tasnya sendiri. Dari pada pusing melihat jadwal, lelaki itu memutuskan untuk memasukkan seluruh buku tulisnya.

"Ca! Kok, lo nggak bang–" Lelaki itu terdiam di depan pintu. Tangannya masih berada di gagang.

Kosong. Kamar sebelahnya tidak berpenghuni. Ia baru ingat jika adiknya tersebut telah pergi. Ia mengacak rambutnya, padahal gadis itu baru pergi selama sehari, tetapi mengapa rasanya lama sekali? Andaikan ia bisa merengek supaya sang adik cepat kembali, mungkin sudah ia lakukan.

"Bi, aku pamit."

Alvis berjalan dengan gontai ke arah mobilnya, wajah lelaki itu amat lesu seperti tidak ada semangat hidup. Lantaran tidak konsen, kepalanya sampai terantuk.

"Sialan lo, Ca. Bisa-bisanya lo buat gue kayak gini."

Alvis melajukan mobilnya. Sepanjang jalan yang ia lakukan hanyalah melamun. Untung saja jalan masih lengang. Pikirannya hanya tertuju pada Keysha sampai lupa jika bisa saja terlambat.

Tak sengaja netranya menangkap sosok Herdian yang sedang kebingungan memperhatikan ban motornya yang bocor. Lelaki itu berhenti tepat di belakang motor milik lelaki sipit.

"Woi! Motor lo tinggal aja, nanti orang bengkel gue yang ambil," teriak lelaki itu dari mobil. Kepalanya menyembul keluar.

Herdian yang sibuk memperhatikan motornya sampai tidak sadar jika ada mobil berhenti di belakang. Ia menoleh saat Alvis meneriaki dirinya. Ia mendekat, tidak ada salahnya menerima tawaran orang. Lumayan, ongkos bengkel bisa ditabung untuk membeli cilok mbak Munaroh di kantin.

"Sekolah Gemilang ya, Pak. Nanti saya kasih bintang lima, " katanya setelah duduk di samping pengemudi.

"Sialan, udah dikasih tumpangan ngelunjak lo, yah!"

"Becanda, Al."

Keduanya nampak sangat akrab, padahal sudah setahun mereka tidak lagi bertegur sapa. Memang ikatan persahabatan itu erat. Sekalipun mulut berkata tidak, jika hati berkata lain, bisa apa?

"Sipit, lo tau dari mana kalau Keysha adik gue?" Alvis kembali teringat tentang pertemuan keduanya.

"Dari temen gue," jawab lelaki itu.

Teman? Teman yang mana? Kenapa orang itu bisa tahu jika gadis tersebut adalah adiknya? Apa ia punya penggemar gelap yang merangkap jadi teman dari lelaki yang sedang duduk di sampingnya ini? Banyak tanda tanya di kepalanya sampai Alvis pusing sendiri.

"Yang jelas, dong! Yang tahu Keysha adik gue cuman empat orang termaksud gue sendiri. Temen lo tahu dari mana?"

"Yo, ndak tahu. Kok, tanya saya!"

Kalau saja ia sedang tidak menyetir, mungkin lelaki di sampingnya ini sudah babak belur. Ia memilih diam dari pada harus bertanya lebih lanjut. Bisa-bisa kepalanya pecah karena lelaki itu.

Begitu sampai, Herdian turun lebih dahulu. Sebelum menutup pintu, ia berucap, "pembayarannya lewat ATM ya, Pak." Sebelum Alvis keluar dan memukulnya, lelaki itu segera pergi dengan tawa menggelegar.

"Herdianjing! Berhenti nggak lo?!" Alvis yang memang sudah jengkel dari tadi, segera mengejar lelaki itu.

Orang-orang yang menyaksikan itu, mengira bahwa keduanya akan berselisih lagi. Mulailah tersebar gosip yang tidak benar.

Dua orang yang menyaksikan interaksi keduanya dari awal, tersenyum senang sambil merangkul satu sama lain.

"Tom and Jerry is coming!"

"Halah, ulangan bahasa inggris aja masih remed."

"Rafka! Awas lo setan!"

***
Keysha terbangun karena lapar. Setelah selesai terapi kemarin sore, ia langsung tidur dan tidak sempat ikut makan malam. Gadis itu membersihkan kamarnya sebentar, lalu membasuh wajah.

Ia keluar kamar, kemudian menyempatkan diri untuk membangunkan sang kakak.
Langkahnya membawa ia mendekat pada gundukan selimut.

"Kak Al, bangun." Gadis itu mengguncang tubuh di balik selimut tersebut.

Sang empu menggeliat dari tidurnya. Merasa terganggu, ia membuka mata. Pandangan pertama yang ia lihat adalah seorang gadis yang baru saja menginjakkan kakinya kemarin pagi.

"Lo butuh sesuatu?" tanya lelaki itu.

Harap cemas jika adik sepupunya itu mungkin memerlukan bantuan sampai gadis tersebut membangunkannya.

Gadis itu terkesiap begitu mendengar suara asing. Ia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatan. Mulutnya terkatup rapat begitu melihat lelaki yang baru saja bertanya.

"Eung? I–itu. Kakak nggak ke sekolah?" Syukurlah gadis itu mendapat alasan yang tepat. Tidak mungkin ia mengaku jika ia ke sini untuk membangunkan Alvis, 'kan?

"Lah, iya. Makasih udah bangunin gue."

Keysha mengangguk, lalu berpamitan untuk turun ke bawah. Wajah gadis itu tertekuk. Otaknya terus berpikir, kenapa ia terus memikirkan tentang sang kakak?

Rasa laparnya hilang seketika. Gadis itu ingin sekali bertemu dengan lelaki yang baru kemarin ia tinggalkan. Ah, ada apa dengan perasaannya itu?

"Loh, kamu udah bangun, Sayang?"

Gadis itu berhenti tepat di anak tangga terakhir. Ia menoleh ke samping begitu mendengar sapaan. Gadis itu tersenyum sekilas sebagai balasan.

"Anak Mama kenapa?" Asti menuntun anaknya untuk duduk di sofa ruang keluarga.

"Nggak apa-apa, Ma," jawab gadis itu sembari menunduk.

"Kalau ada masalah, cerita aja. Mama dengerin." Mama menarik Keysha ke dalam rengkuhannya. Di tepuk perlahan punggung gadis tersebut guna memberi rasa nyaman.

"Ma."

Wanita tua itu tidak menjawab, ia membiarkan jeda waktu untuk anaknya berbicara. Ia tahu kalau sang anak tengah memikirkan sesuatu hal. Sebagai seorang ibu, tentunya ia bisa mengetahui kebohongan dari gadis tersebut walaupun waktu bersama keduanya sesingkat ini.

"Aku kangen Kak Al," ucap gadis itu lirih.

Asti terkekeh mendengar ucapan sang anak. Ah, anaknya sudah besar sekarang. Banyak waktu
tumbuh kembang yang terlewat. Ada rasa penyesalan pada dirinya karena tidak bisa menemani gadis itu dari kecil.

"Kangen apa kangen," godanya.

"Iiih! Mama ...!" rengek gadis itu. "Aku bisa sembuh nggak, ya? Kangen banget sama Kakak."

"Kalau kamu usaha, pasti bisa Sayang. Jangan nyerah, oke? Supaya cepet ketemu juga sama Kak Alvis-Nya."

"Mama, jangan godain aku terus, ih!"

"Loh, memangnya Mama bilang apa? 'Kan, kamu sendiri yang bilang kangen sama dia," ucap wanita tua itu sambil menaik-turunkan alisnya.

"I–iya, sih. Udahlah, Ma. Ngga usah dibahas lagi. Muka aku jadi panas."

Keputusannya yang ia buat bersama Kirana dahulu ternyata tidak salah. Ia bersyukur bisa menemukan lelaki yang cocok untuk anaknya.

"Keysha. Mau nikah sama Kak, Al?"

.
.
.

Tbc

Path of Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang