Sudah waktunya untuk pulang. Anak-anak mulai berhamburan ke luar dari area sekolah. Ada juga yang menetap. Seperti orang yang sedang ada ekskul hari ini. Alvis dan kawan-kawan masih setia di dalam kelas—menunggu Chaska memasukkan peralatan tulis.
Sudah lebih dari sepuluh menit mereka menunggu, namun lelaki dengan kulit tan tersebut belum juga menyelesaikan pekerjaanya. Jikalau saja Chaska bukanlah sahabat mereka, mungkin sudah sedari tadi mereka hengkang. Sayangnya lelaki yang baru saja menyengir kuda setelah selesai membereskan alat tulis tepat di menit kelima belas mereka menunggu adalah kawan mereka.
"Yok, berangkat!" ajak Chaska riang. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan adik baru Alvis. Dengan langkah ringan dia berjalan mendahului orang-orang yang menunggunya.
Tipe-tipe teman biadap memang.
"Untung gue sabar," kata Ditya sambil mengelus dada. Tidak terkejut lagi dengan sikap ajaib Chaska.
Ke-empatnya berjalan beriringan ke parkiran. Untunglah kali ini mereka tidak menjadi sorotan warga sekolah. Ada untungnya juga menunggu Chaska tadi. Biasanya, mereka akan menjadi sorotan lagi, bahkan setelah pulang sekolah. Risih. Eum, tidak terkecuali sebenarnya untuk Chaska si Buaya Darat yang suka tebar pesona.
Mereka memutuskan untuk memakai mobil Alvis saja. Yang membawa kendaraan seperti, Ditya dan Rafka, kendaraan mereka akan diambil oleh supir masing-masing. Chaska? Anak itu tadi ke sekolah diantar oleh Abangnya. Posisinya Rafka yang menyetir, di sebelahnya ada Alvis. Serta Ditya dan Chaska yang duduk di masing-masing kursi belakang. Doakan saja semoga tidak terjadi perang.
Jalanan yang padat menemani perjalan mereka. Sampai akhirnya macet datang. Ini yang tidak mereka suka dari Ibu kota. Selalu saja macet. Jika punya mesin waktu atau pintu ke mana saja milik Doraemon, pasti sangat menyenangkan!
"Tumben kalian nggak ribut," celetuk Rafka dari kursi pengemudi. Rasa penasaran sedari tadi menggerogoti, dia penasaran dengan dua orang yang setiap hari, bahkan menit selalu bertengkar sekarang duduk akur dan damai. Bukannya mengharapkan ada sesi baku hantam, tapi serasa ada yang menjanggal.
Chaska melirik Ditya sebentar lalu mengendikkan bahu. "Tahu nih, si Ditya diem-diem bae."
"Syukur aja mereka nggak ribut. Coba kalau iya, rumah sakit alamat mah," kata Alvis yang sedari tadi menyimak.
"Gue, cuman lagi mikir," akhirnya Ditya buka suara setelah diam beberapa saat."Mikirin apa? Perasaan lo nggak punya otak deh." Raut wajah Chaska dibuat seolah tengah berpikir. Jari telunjuk tak lupa di letakkan di samping kepala.
"Gue lagi nggak pengen tubir ya, sat!"
Ditya menjambak rambut Chaska, membuat si empu mengaduh kesakitan.
"Rambut gue anjir!" protes Chaska.
"Mikirin apaaan sih?" kini Alvis yang penasaran.
Ditya sebenarnya ingin memberitahu, tetapi dia tidak mau bila nantinya di sebut sok tahu oleh anak Dakjal yang duduk tepat di sebelahnya. Akhirnya kata tidak menjadi jawaban. Alvis hanya mengangguk sebagai tanggapan. Meski sedikit rasa penasaran masih tersisa.
Mobil yang di kendarai oleh Rafka sudah memasuki kompleks perumahan Alvis, melewati satu blok lagi akan sampai. Chaska sudah mulai berseru heboh dari bangku penumpang. Ditya sampai menutup kupingnya karena teriakan membahana milik lelaki tan tersebut. Jika saja ada kain, atau apa saja yang bisa dipakai Ditya untuk membuat mulut toa Chaska diam, sudah akan dia lakukan dari tadi, sayangnya alat yang dibutuhkan tidak ada, menutup telinga jalan satu-satunya.
***
Keysha baru saja akan merebahkan dirinya, sebelum bel berbunyi nyaring yang membuat dia mau tidak mau harus bangun. Seharian tadi, dia menghabiskan waktu untuk membantu para pekerja rumah. Dari pada tidak melakukan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Path of Destiny
Fanfiction[JANGAN LUPA FOLLOW YA, GAES!] ↪ft. 00L Kisah klasik gadis polos bertemu dengan lelaki jakung super menyebalkan