.
.
.Ditya benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang ia saksikan sekarang. Dua lelaki yang dulunya saling bermusuhan, sekarang bercanda ria. Ditambah lagi, kedua sahabatnya yang lain juga berada di sana. Ada apa ini? Mengapa mereka tidak mengajaknya?
Lelaki itu memilih untuk bergabung bersama, ia duduk tepat di samping Chaska dan Rafka yang sedang berebut satu bola bakso. Lelaki tersebut tidak heran lagi dengan sikap keduanya. Namun, yang mengambil perhatiannya adalah dua lelaki yang tengah tertawa lepas.
Lelaki manis itu hanya diam menyimak. Ia tidak tahu harus berbuat apa atau menimpali ucapan siapa karena mereka seperti asik dengan dunia masing-masing. Ia bak butiran debu yang tidak terlihat dengan mata telanjang.
"Loh, Ditya? Kapan lo di sini?" tanya Herdian. Ia membuat gestur seolah-oleh baru menyadari kehadiran lelaki tersebut.
"Eh, ada lo ternyata. Sorry, ya. Kita terlalu sibuk sama jokes yang dibuat sama ini anak sampai ga nyadar ada lo."
"Kok, lo di sini?" Lelaki itu mengabaikan ucapan Chaska barusan. Lebih memilih untuk menuntaskan rasa penasaran bagaimana lelaki bermata sipit tersebut bisa bersama teman-temannya.
"Emang nggak boleh?"
"Aneh aja, sih. Suasananya jadi ngga bagus pas ada lo," kata lelaki itu.
"Bukannya hawanya ngga enak karena ada lo?" balas lelaki sipit.
Ditya menatap sinis lelaki tadi, kemudian beralih pada Alvis. "Al, lo kenapa mau temenan lagi sama pembunuh?"
"Dari pada temenan sama penipu, yang ada gue ketipu terus seumur hidup." Lelaki jakung itu menatap remeh sang lawan bicara.
"Maksud lo?" Sungguh, lelaki manis itu tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang.
Kenapa mereka semua seakan-akan menjauh?
Alvis terkekeh. Ia tidak tahu, lawan bicaranya memang tidak paham arah pembicaraan atau sengaja pura-pura tidak tahu? Ingin rasanya membeberkan semua kebusukan lelaki itu, tetapi ia masih menunggu waktu yang tepat serta satu orang lagi yaitu, dalang dari semua masalah ini.
Ia sebenarnya tidak akan marah pada Ditya jika lelaki manis itu dari awal mau mengaku. Namun, lelaki manis tersebut malah membuat kebohongan lagi demi melindungi sepupu jelmaan iblisnya.
Alvis tidak bisa berpikir bagaimana jika hari itu ia tidak menemukan kebenaran. Mungkin selamanya ia akan terperdaya dengan tipu muslihat lelaki tersebut. Ia tahu jika niatnya baik, tetapi masalah ini menyangkut nyawa seseorang serta membuat konflik berkepanjangan.
"Katanya pinter, gitu aja nggak tahu," sindir Rafka. Lelaki berhidung bangir tersebut lelah melihat tingkah Ditya yang seakan tidak tahu apa-apa. Ia sudah tidak sabar untuk segera membuat ototnya bekerja.
"Apa, sih? Gue emang nggak ngerti!"
"Nggak ngerti atau pura-pura nggak ngerti?" tambah Chaska. Mulut pedasnya sudah gatal dari tadi. Ia butuh asupan julid.
Ditya benar-benar merasa terpojok sekarang. Sikap temannya berubah drastis. Mereka seakan bisa menguliti ia hidup-hidup hanya dengan tatapan.
"Hai! Udah lama nunggu, ya?"
Lelaki itu segera berbalik begitu mendengar suara milik sepupunya. Jantungnya berpacu lebih cepat sekarang. Kepalanya kini dihantui dengan pikiran negatif. Ia memohon dalam diam, semoga apa yang sedang ia pikirkan tidak akan terjadi.
"Ngga, kok. Sini duduk."
Gadis itu memekik senang saat ia ditarik dan duduk di antara dua lelaki yang telah lama ia idam-idamkan. Berbanding balik dengan Alvis yang menatapnya tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Path of Destiny
Fanfiction[JANGAN LUPA FOLLOW YA, GAES!] ↪ft. 00L Kisah klasik gadis polos bertemu dengan lelaki jakung super menyebalkan