Part 20

42 9 11
                                    

Keysha hanya sendiri di ruangannya. Orang tua serta sang kakak pergi sebentar. Gadis itu menjadi bosan sendiri. Ia sedih tidak bisa lagi berdekatan dengan Alvis karena takut akan ancaman yang selalu menghantui pikirannya. Ia tidak ingin disakiti lebih jauh.

Kenapa trauma masa lalu harus datang kembali? Ia sudah dengan susah payah melupakan kenangan buruk tersebut. Gadis itu takut, jika nantinya hal tersebut membuat ia depresi. Traumanya terjadi sejak gadis itu duduk di bangku sekolah dasar. Sang Ayah sering sekali memukulnya, bentakan keras pun tidak luput dari indranya.

Masih tercetak jelas diingatannya, bagaimana sang ayah menyiksanya tanpa ampun. Puncaknya terjadi saat lelaki tua itu kalah berjudi dengan uang taruhan sebesar lima puluh juta.

Ia yang saat itu masih mengenakan piama tidur bergambar beruang harus terbangun karena ayahnya menarik lengan kecil itu dengan paksa. Diikat pada kursi kayu, dijambak dan diberlakukan layaknya binatang.

Tidak terasa, buliran bening sudah memenuhi sebagian wajahnya. Buru-buru ia menghapus jejak air mata itu, sebab pintu terbuka. Ia tidak ingin membuat orang lain khawatir karena melihatnya menangis.

"K–kak Herdian?" monolog gadis itu, saat tahu siapa yang baru saja masuk.

"Halo, Ca. Apa kabar?" Herdian mulai mendekati brankar tempat Keysha berbaring.

"J–jangan mendekat!" larang gadis itu. Ia kembali panik, matanya menatap was-was sekeliling.

"Ca, lo kenapa? Gue ada salah?" tanya lelaki itu. Ia butuh penjelasan, mengapa selalu saja disuruh untuk menjauh?

"S–stop!"

"Tapi, Ca. Gu–"

"Aku bilang stop! Ya, stop!" Dengan sekuat tenaga gadis itu membentak.

Kepalanya mendadak pening. Ah, serangan panik sialan itu lagi.

Herdian diam membisu. Lelaki itu tidak tega melihat gadis tersebut kesakitan. Namun, gadis itu tidak membiarkannya untuk membantu. Mendekat saja dilarang.

"S–sakit. Jangan, j–jangan lagi. Aku nggak deketin mereka berdua," racau gadis itu sembari memegangi kepalanya dengan kedua tangan.

"Lo apain adik gue, sialan?!"

Bagai deja vu, Herdian terhuyung ke belakang setelah satu pukulan mengenai wajahnya. Alvis—si pelaku pemukulan—mencengkram baju lelaki bermata sipit dengan kuat. Sudah dua kali ia mendapati lelaki itu membuat adiknya berteriak histeris. Sudah cukup, kejadian dulu jangan terulang lagi.

"Sampai adik gue kenapa-napa, gue ngga akan maafin lo." Dengan kasar ia menghempaskan kaos lelaki tadi. Kemudian memencet bel darurat agar dokter cepat datang.

***

Kedua lelaki yang mempunyai kepribadian bertolak belakan sedang duduk berhadapan. Dari tatapan keduanya saja, orang-orang sudah tahu jika mereka tidak memiliki hubungan yang baik. Saling memberi tatapan sirat akan kebencian.

"Lo kenapa bisa ada di sini?" tanya Alvis memulai percakapan.

"Buta? Gue jenguk Keysha, lah!" jawab Herdian dengan nada tak santainya.

Mereka kembali dilanda keheningan. Sudah lama tidak duduk berdua seperti sekarang. Suasananya begitu canggung. Berapa lama mereka tidak berbicara berdua seperti ini?

"Ekhem, Al. Gue mau ngomong." Baiklah, mungkin ini saat yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran.

"Itu lo udah ngomong."

'Orang sabar jodohnya banyak,' batin si lelaki sipit.

"Gue serius." Katanya sungguh-sungguh.

"Jangan bilang lo mau bilang kalau lo suka sama gue? Dih, jijai!"

Suasana yang tadinya begitu panas, kini berubah drastir karena ulah Alvis. Entah mengapa lelaki itu malah membuat lelucon. Dirinya sendiri juga bingung.

Herdian menahan tawa, sebisa mungkin bersikap cool. Bisa rusak image-nya kalau tertawa hanya karena candaan receh itu. Ya, walaupun sebenarnya humor lelaki itu receh juga.

"Gue pikir lo pinter anjir, ternyata sama aja begonya." Lelaki sipit itu menetralkan napasnya sejenak. Kemudian lanjut berkata, "Gue mau minta maaf, sekaligus lurusin kesalahpahaman."

"Nggak usah ngungkit masa lalu, gue muak," tolak Alvis. Lelaki itu berdiri dari duduknya, lantas meninggalkan Herdian tanpa sepatah kata pun.

"Gimana mau baikan kalau lo aja nggak mau dengerin penjelasan gue, Al? Sialan emang!"

Lelaki bermata sipit itu segera menyusul Alvis. Ia ingin masalah selesai hari ini juga!

"Al, dengerin gue!"

Jika digambarkan, mereka berdua bak sepasang kekasih yang sedang ada masalah.

"Ck, kalau nggak mau dengerin penjelasan gue secara baik-baik. Gelud aja kita!"

Berhasil. Alvis menghentikan langkahnya begitu mendengar seruan Herdian yang menggema di lorong rumah sakit. Selain tertarik dengan ajakan tersebut, ia juga sudah malu menjadi pusat perhatian karena suara milik lelaki sipit itu tidak berhenti bersahutan.

"Deal, besok sepulang sekolah gue tunggu." Tanpa membalikkan badan, lelaki jakung itu menerima tawaran.

"Anjing! Giliran baku hantam aja langsung gercep!" dumel Herdian yang tentunya tidak didengar oleh sang empu.

***

Pintu tertutup rapat, baru saja ia akan membuka pintu, tetapi siluet orang tuanya yang sedang berbicara dengan orang lain mengurungkan niatnya. Dari raut wajah, ia bisa tahu jika mereka sedang membiacaran hal serius.

"Terima kasih sudah menjaga cucu saya. Besok, saya akan membawanya pergi untuk berobat."

"Ngga. Keysha ngga bakalan ke mana-mana." Alvis muncul di antara mereka. Betapa terkejutnya ia begitu mendengar ucapan orang tadi.

"Al." Kirana mendekat pada sang anak, "Kamu mau adikmu cepat sembuh, 'kan?" tanyanya.

"Tapi, Ma. Di rawat di sini juga bisa, 'kan?"

"Alvis, biarkan Keysha ikut kakeknya," timpal Baron.

Kakek dari gadis itu tiba-tiba saja datang. Beliau sangat khawatir begitu tahu akan kondisi cucunya saat diberi tahu oleh orang tua Alvis.

"K–kakek?" beo lelaki itu.

"Iya, sayang. Maafin Mama karena nggak kasih tahu kamu," sesal mama.

Lelaki itu mengangguk. Ia menoleh ke arah adiknya yang ternyata sedang menatap ia juga. Mungkin gadis tersebut juga ingin bersama keluarganya yang selama ini ia cari.

Perlahan ia mendekat ke arah gadis itu. "Nggak apa-apa. Jangan takut, mereka nggak ada di sini." Lelaki itu sangat sedih mendapat respon yang sama dari sang adik, "Cepet sembuh, oke? Biar bisa balik lagi ke rumah. Terus kita main jambak-jambakan."

Keysha terharu mendengar ucapan sang kakak. Padahal dulu, lelaki itu seakan tidak suka akan kehadirannya. Ia mengangguk singkat.

Gadis itu sebenarnya tidak rela harus meninggalkan rumah keluarga barunya, ia sudah terlanjur nyaman. Namun, siapa yang akan menolak ajakan dari keluarga yang selama ini kita cari?

Betapa bahagianya gadis itu begitu tahu jika keluarga yang selama ini ia cari akhirnya ketemu. Bertambah lagi selepas kakek bilang jika ibu kandungnya adalah orang lain. Tentu Keysha ingin bertemu dengan orang yang sudah melahirkan ia.

"Kak, Al. Maafin aku nggak bisa kasih pelukan perpisahan," lirih gadis itu.

Alvis memberikan senyum terbaiknya. Kuat-kuat menahan tangis yang kapan saja akan meledak. Ia tidak ingin terlihat sedih di depan adiknya itu.

"Cepat sembuh. Ayo ketemu lagi."

Ah, jika saja lelaki itu tahu kalau waktu bersama adik barunya itu hanya memakan waktu singkat, mungkin ia dulu akan memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin.

.
.
.

Tbc

So, dari awal emang niat bikin book ini supaya cepet tamat wkwk. Makanya momen Alvis sama Keysha dikurangin:') kalau ada yg masih minat, maunya bikin season dua wkwk

Path of Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang