Part 9

42 15 1
                                    

Di minggu pagi yang cerah, keluarga Abhitama melakukan kegiatan kerja bakti di sekeliling rumah. Sudah kewajiban mereka ketika hari minggu ikut membersihkan rumah. Sesekali membantu para pekerja rumah mereka.

Baron sedang berada di belakang rumah—kebun—sedang mencangkul rerumputan liar di bantu oleh Pak Haris—penjaga kebun belakang. Mencangkul dari ujung ke ujung, peluh sudah membasahi sebagian badannya.

"Al, sini! Gantian!" kata Baron dengan suara agak meninggi karena jaraknya yang jauh dengan sang anak.

Alvis dengan malas berdiri dari duduk setelah selesai dari kegiatan mari–melihat–ayah. Lantas mengambil alih cangkul dari tangan Baron, kemudian mulai mencangkul.

"Pak Haris boleh istirahat, biar Alvis yang lanjutinya." Kata Papa pada asisten rumah tangganya itu.

Pak Haris mengangguk patuh. Berpamitan kepada sang majikan, selepas kepergiannya, kini gantian Baron yang berlalu, membiarkan sang anak bekerja sendirian.

Alvis memasang wajah cengo nya, setelah tersadar, ia melihat area sekitar yang harus ia cangkul. Hembusan napas berat terdengar, tangan yang semula terjuntai sebelah kini beralih fungsi menjadi mengusap dada.

"Nggak apa-apa, gue kuat."

Ternyata masih banyak rerumputan yang harus ia cangkul sendiri, mungkin akan selesai dalam waktu yang lama.

"Semangat, Kak Al," kata Keysha yang diakhiri dengan tawa. Kebetulan ia dimintai tolong oleh Kirana untuk membawa selang dari gudang belakang, saat ia melintas, netranya menangkap sosok lelaki yang tengah mengusap dada.

"Kampret lo! Sini bantuin gue!"

"Nggak mau, Kak. Aku mending bantuin Mama di depan. Bisa duduk. Bantuin kamu? Jongkok aja nggak bisa. Dah ya, Kak. Terima nasib aja."

Gadis itu langsung mengambil langkah seribu begitu melihat Kakaknya mengangkat cangkul di udara. Walaupun hanya bercanda, tetapi gadis itu masih ingin aman.

Barangkali saja laki-laki itu tega untuk menggetoknya dengan gagang cangkul. Lebih baik ia cari aman.

"Gini amat adik baru gue," gumam lelaki itu sambil geleng-geleng kepala.

Alvis melanjutkan pekerjaannya, dari pada banyak mengeluh dan tidak menghasilkan apa-apa, lebih baik diam, tetapi badan bergerak bekerja.

Sepertinya Baron sengaja menyuruhnya untuk bekerja sendiri, karena minggu lalu ia hanya berdiam diri di kamar. Uh, sial sekali nasibnya!

Sang surya semakin terik, peluh sudah membasahi sebagian tubuh Alvis. Baju bagian belakang bahkan sudah basah sempurna, lengannya tidak henti-henti menyeka keringat yang mengucur dari pelipis. Sekitar tiga puluh menit ia bekerja tanpa henti, akhirnya selesai juga. Ia memandang sekeliling. Sepi.

Sepertinya tinggal ia sendiri yang masih berada diluar. Mengerucutkan bibir kesal, kemudian tungkainya menendang sebuah kerikil yang tepat mengenai kepala Keysha.

"Eh, Ca. Maaf, hahaha."

Keysha memandang sengit ke arah oknum yang baru saja menendang kerikil hingga mengenai kepala, niat baikn mengembalikan selang ketempat semula ternyata harus mendapat balasan kesialan.

Tangannya mengusap kening yang terkena kerikil. Untung saja kerikil tidak terlalu besar. Jika iya, sudah dapat dipastikan akan ada benjolan besar di kening.

Dari pada meladeni Kakaknya, ia lebih memilih untuk menuntaskan tujuan utama—menyimpan selang. Setelah selesai, ia berniat masuk rumah dari pintu belakang—dapur.

Namun, seperti Jalangkung yang suka datang tanpa diundang, Kakanya sudah menunggunya di sana lebih dahulu dengan bersedekap dada.

"Ngapain lo di sini?" tanya Keysha sinis, "ngikutin gue ya, lo?!" tuduhnya.

Path of Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang