Part 19

46 12 9
                                    

Langit mendung pagi ini, mendukung perasaan lelaki yang kini sedang bersedih. Dari semalam ia tidak bisa menutup kedua mata. Orang tuanya pun sudah lelah untuk menyuruh ia beristirahat.

Orang tuanya datang semalam, setelah ia memberi tahu tentang keadaan Keysha. Mereka sama terkejutnya dengan ia saat melihat kondisi gadis tersebut.

Alvis tidak ingin bersekolah hari ini. Lelaki itu tidak mau meninggalkan adiknya yang belum juga membuka matanya. Senyenyak itu dia tertidur sampai tidak ingin membuka mata?

Sejujurnya lelaki itu lelah, badannya juga serasa remuk. Duduk semalaman dikursi tidak nyaman. Namun, itu semua untuk Keysha, tidak apa-apa. Apapun akan ia lakukan demi sang adik.

Dari kemarin, ia tidak mau lepas dari sang adik. Tangan mereka pun masih tertaut. Ia juga tidak akan makan jika gadis itu belum makan.

Bunyi pintu terbuka pun tidak mengalihkan perhatiannya, ia hapal betul siapa yang masuk. Pasti kedua orang tuanya, terbukti dari suara Kirana yang menyuruh ia untuk makan.

"Nggak, Ma. Aku ngga mau," tolaknya.

"Tapi, kamu belum makan dari semalam."

"Aku nggak lapar."

"Kamu pikir, Keysha bakalan seneng kalau tahu kamu ngga makan karena dia juga belum?" tegur Mama.

Lelaki itu terdiam, ia membenarkan perkataan mama dalam hati. Lagipula cacing dalam perutnya sudah bersahutan.

***

Herdian berdiri di depan pintu kelas Keysha. Ia menunggu gadis itu keluar, tetapi sejak tadi ia tidak mendapati keberadaan gadis itu.

Lelaki itu pun menghalangi jalan salah satu siswi yang baru saja keluar dari kelas tersebut. "Keysha mana?" tanyanya.

"Denger-denger dia masuk rumah sakit," jawab siswi tadi.

Pantas saja lelaki itu tidak melihat gadis yang ia cari sejak pagi, ternyata gadis itu sedang sakit. Mood-nya turun drastir. Niat hati untuk mengajak sang empu untuk makan bersama di kantin harus dikubur dalam-dalam.

Ah, bodohnya ia karena tidak bertanya di rumah sakit mana sang gadis di rawat. Lelaki itu pergi dari sana sambil mengusak rambut frustrasi dan bergumam tidak jelas.

"Halo, Her!" sapa seorang gadis.

Lelaki itu mengumpat dalam diam. Kesialan macam apalagi sekarang? Ia sungguh malas berhadapan dengan gadis yang selalu membuntutinya bagai ekor hewan.

"Apa?" jawabnya acuh.

Jessica—gadis yang baru saja menyapanya—mengerucutkan bibir kesal karena respon lelaki itu yang kelewat cuek.

"Kamu ngapain di sini?" tanya gadis itu.

Masalahnya, lelaki sipit itu tidak pernah menampakkan mukanya lagi di kelas ini semenjak insiden tahun lalu.

"Bukan urusan lo. Udah? Minggir," tukas lelaki itu.

"Ish! Her! Ke kantin bareng, yok!" Jessica tanpa tahu malu merangkul lengan Herdian yang langsung ditepis sang empu.

"Ngga lapar," tolaknya. Lelaki itu hanya ingin terhindar dari gadis ini.

"Ck, ayolah, Her. Kali ini aja!" Gadis itu tetap kukuh dengan ajakannya.

"Gue bilang nggak, tuli, kah?" sentak lelaki itu, suaranya naik beberapa oktaf.

Dengan perasaan jengkel, ia segera berlalu dari sana. Perasaannya yang sudah berantakan kini menjadi lebih lagi karena gadis itu. Jessica hanya pengganggu bagi Herdian.

Path of Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang