Alvis memandang gerbang di hadapannya yang tertutup rapat. Lelaki itu melirik sinis pada gadis di sampingnya. Jika bukan karena gadis berotak anek itu, pasti ia sekarang sudah duduk manis di bangku kelasnya.
Mau ditaruh di mana wajah tampannya ini? Jika orang-orang tahu seorang Alvis Abhitama yang dikenal karena kedisiplinan, hari ini datang terlambat.
Lelaki itu mengusak rambut frustrasi. "Gara-gara lo, nih, Ca!"
"Lah, kok, aku?"
"Bodoh, ah!"
Langkah lain terdengar mendekat. Keduanya menoleh ke asal suara. Dari kejauhan, terlihat seorang lelaki yang datang dengan gaya angkuhnya.
Ah, ternyata dia Herdian. Tidak heran lagi jika ia datang terlambat. Buku kesiswaan hampir penuh karena ulahnya, ia tidak pernah jera membuat ulah walaupun diberi hukuman."Wow! Lo bisa terlambat juga?" lelaki bermata sipit itu bertepuk tangan heboh. Seakan mendapat hiburan.
"Bukan urusan lo," balasnya.
Keysha satu-satunya perempaun yang berada di sana hanya memandang heran kedua lelaki yang nampak tidak bersahabat. Seakan ada aliran listrik yang keluar dari mata mereka. Apakah mereka berdua tidak akur?
Gadis itu menarik-narik lengan seragam kakaknya. "Kak, itu, ada Guru." Tunjuknya pada guru yang berjalan ke arah mereka bertiga.
"Loh, Al? Kamu terlambat?" tanya guru tersebut setelah sampai. Pandangannya beralih pada Herdian, "Kamu, kapan datang tepat waktu?!" guru berbadan gempal itu menatap nyalang pada lelaki bermata sipit.
"Aelah, Ibu. Kapan-kapan aja, deh." Lelaki terebut menjawab dengan santai.
Gadis dengan tas berwarna ungu itu tertawa dibuatnya.
"Kamu kenapa tertawa? Ada yang lucu?" tanya guru tadi, panggil saja Bu Amel.
Sang oknum menggeleng. Ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
"Murid baru? Saya baru lihat kamu. Bagus, ya. Di hari pertama sudah membuat ulah," cibir Bu Amel, "Ayo, masuk. Kalian bertiga, Ibu hukum bersihin gudang belakang!"
Tidak dapat membantah, ketiganya mengangguk pasrah. Mengikuti ke mana saja langkah kaki guru berbadan gempal itu membawa mereka. Tatapan murid lain yang sedang melaksanakan upacara bendera tidak dihiraukan.
"Kalian Ibu tinggal. Sampai ada yang coba kabur, tunggu saja hukuman selanjutnya."
Selepas kepergian guru tadi, mereka bertiga baru bisa bernapas lega. Berada di dekat Bu Amel seperti sedang menguji nyali.
"Kak, kamu duduk di sini aja. Biar aku yang gantiin kerjaan kamu. Kakak di hukum gara-gara aku, 'kan?" Gadis itu membawa satu kursi kayu untuk Alvis duduki.
"Bagus kalau sadar." Lelaki itu duduk dengan santai melihat dua orang lainnya mulai membersihkan gudang.
Herdian yang melihat lelaki yang menurutnya adalah rival itu hanya bersantai tanpa melakukan apapun ingin ia hampiri lalu memberikan setidaknya satu bogeman. Namun, niatnya utung ketika mendengar suara gadis memanggilnya.
"Kenapa?" tanyanya ketika berada di hadapan si gadis.
"Mm, boleh ambilin kemoceng itu nggak, Kak? Ketinggian, hehe." Gadis di hadapannya itu menyengir kuda.
'Lucu banget astaga!'
Lelaki sipit itu kemudian mengambil benda yang di maksud dari jendela yang lumayan tinggi untuk ukuran gadis bertas ungu tersebut. Setelah itu, ia memberikan alat tadi pada si peminta.
"Makasih, Kak!" ucap gadis itu dengan riang.
"Sama-sama." Lelaki yang memiliki mata sipit itu tersenyum. Bahkan matanya pun ikut terseyum. Indah, seperti bulan sabit.
Tangannya mengacak surai hitam gadis itu, membuat si empu merengek karena rambutnya berantakan.
"Imut banget, sih." Herdian mencubit gemas kedua pipi gadis itu, "Namanya siapa, sih?" Puas dengan aksinya, lelaki itu melepas kedua tanganya. Ia Terkekeh melihat pipi gadis itu memerah karenanya.
"Keysha, Kak. Panggil aja Eca," ucapnya memperkenalkan diri.
Lelaki itu ingin sekali menculik makhluk imut yang ada di hadapannya sekarang juga. Baru kali ini ia mendapati manusia yang begitu imut tanpa dibuat-buat.
"Eum, nama Kakak siapa?"
Ah, iya. Lelaki itu hampir lupa memberi tahu namanya karena asik mengagumi gadis imut tersebut.
"Herdian, terserah mau panggil apa aja."
Gadis tersebut mengangguk. Nanti saja ia pikirkan nama panggilan yang cocok untuk orang itu. Sekarang, ia harus cepat-cepat membersihkan gudang ini sebelum guru menakutkan tadi datang.
Sementara di sisi lain, laki-laki yang sedari tadi menyaksikan interaksi keduanya sedang meremat jemarinya kuat-kuat. Ia tidak suka miliknya di dekati. Apalagi yang mendekati miliknya adalah musuh.***
Pelajaran pertama sudah berakhir, Alvis cepat-cepat masuk ke dalam kelas, lalu duduk dibangkunya sebelum guru mata pelajaran selanjutnya masuk.
"Telat lo? Kenapa?" Pertanyaan dari Ditya mengalihkan atensinya.
"Habis rombak dandanan gembel," jawabnya acuh.
"Al, adek lo mana? Katanya hari ini dia masuk sekolah." Gantian Chaska yang bertanya. Dapat dilihat kalau ia sangat antusias menyambut adik temannya.
"Ruang guru."
Sebelum ke sini, lelaki itu lebih dulu mengantar sang adik ke Ruang Guru untuk mengurus beberapa hal perihal kepindahan. Tidak lupa untuk meminta agar gadis itu di tempatkan di kelas yang sama dengannya.
Langkah kaki lain terdengar dari luar. Itu Pak Azwar-wali kelas mereka sekaligus guru mata pelajaran selanjutnya. Di belakangnya ada seorang gadis.
"Pagi, anak-anak. Langsung saja, hari ini kita kedatangan murid baru," ucap guru tersebut. "Perkenalan dirumu, " titahnya.
"H-halo, semua. Namaku Keysha, kalian bisa panggil aku Eca." Cengiran lebar terpampang jelas diwajahnya.
"Neng, Eca! Sini sama Bang Chaska," teriak lelaki Tan itu dari bangkunya. Sontak mengundang seruan tidak setuju dari penghuni kelas, "Ah! Sirik aja kalian!"
Sorak-sorai membuat gaduh. Banyak orang yang memperebutkan gadis itu agar duduk di samping mereka, walaupun kursi tersebut sudah terisi, tak segan-segan mereka menyuruh sang pemilik supaya pindah.
Kebanyakan kaum adam yang berebut. Ada juga dari kaum hawa, tetapi hanya beberapa. Berbanding balik dengan salah satu gadis yang duduk di kursi pojok kanan paling belakang yang masih menelungkupkan kepalanya seakan tidak terusik dengan suara berisik tersebut.
"Oke, Keysha. Silahkan duduk di bangku samping Aryastia. Tia, tolong angkat tangan kamu."
Gadis yang dimaksud mengangkat tangannya dengan malas, lalu ia turunkan.Setelah mengucapkan terima kasih pada sang guru, gadis bertas ungu tersebut segera berjalan ke arah bangkunya.
"Baiklah, mari kita mulai pelajarannya!"
Gadis itu memperhatikan dengan seksama apa yang sedang diterangkan oleh pengajar di depan walaupun sebenarnya ia tidak mengerti sama sekali. Huh! Sudah dikatakan jika ia tidak cocok berada di kelas unggulan dengan otak udangnya.
Rasa bosan menyerangnya. Ia tidak bisa belajar lama seperti ini. Di sekolahnya dulu, pasti ia bisa mengajak teman sebangkunya bercerita walau hanya dibalas dengan tatapan sinis. Ia menoleh ke samping, merasa ada yang memperhatikan.
Benar saja, gadis yang ia tahu bernama Aryastia sedang menatapnya dengan mata melotot. Untung saja ia dapat menyeimbangkan diri. Jika tidak, pasti ia akan menjadi bahan tertawaan seluruh kelas karena terjatuh dari bangkunya.
Sejurus kemudian, gadis yang memelototinya tadi tersenyum lima jari. Giginya yang tersusun rapi sampai terlihat. Err, agak creepy.
"Eca, 'kan? Mau berteman?"
Tbc
Gilak sih, udah berapa abad ini gak update ini ff. Masih ada yg nungguin gak ya:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Path of Destiny
Fanfiction[JANGAN LUPA FOLLOW YA, GAES!] ↪ft. 00L Kisah klasik gadis polos bertemu dengan lelaki jakung super menyebalkan