Part 21

31 11 11
                                    

Makasih banget yang udah support sama cerita ini. Ga nyangka bisa nangkring di #1 00Liners😭😭

So...
Happy reading!!

Herdian sudah berada di dalam ruang latihan karate—tempat yang ia sepakati bersama Alvis. Lebih dari tiga puluh menit ia menunggu, tetapi tidak sedikit pun siluet lelaki tersebut muncul.

Lihat saja nanti, dalam sepuluh menit, jika lelaki yang ia tunggu tidak juga datang, ia akan melupakan niatnya untuk berbaikan. Biar saja lelaki itu masih menyimpan dendam. Toh, bukan ia yang melakukan kesalahan.

Herdian juga sebenarnya tengah menahan takut, pukulan dari Alvis tidak main-main. Jadi menyesal telah menawari lelaki itu untuk berkelahi seperti ini. Namun, tidak ada cara lain. Tidak apa-apa jika wajah tampannya terluka, asalkan dendam masa lalu tuntas dan kebenaran akan terungkap.

Bosan menunggu, ia memilih untuk bermain ponsel pintarnya. Berseluncur di dunia maya sepertinya bisa mengobati rasa bosan. Baru beberapa menit ia membaca status di beranda twitter, tiba-tiba ada telepon masuk dengan nama orang yang sedari tadi ditunggu.

"Halo, A–"

[Ke Caffe deket taman. Ga pake lama.]

Telpon dimatikan sepihak. Herdian mengumpat, kesal karena Alvis selalu seenaknya.

"Alvis sinting Abhitama!"

Ia buru-buru pergi ke tempat yang dimaksud. Memacu kuda besinya diatas kecepatan rata-rata. Tidak ingin datang terlambat atau lelaki tadi akan membatalkan janji seperti ucapannya kemarin.

Ia telah sampai di tujuan. Melepas helm, kemudian melangkah ke pintu masuk. Ia bisa melihat siluet Alvis yang sedang duduk di pojok ruangan, segera ia menghampiri lelaki itu.

"Terlambat satu menit," kata Alvis begitu Herdian duduk di depannya.

"Gue yang udah nungguin elo hampir sejam di tempat karate nggak protes ya, bangsat!"

Tanpa memperdulikan ucapan lelaki sipit, Alvis kembali berujar, "Buruan. Lo mau bilang apa?"

"Sebelum itu, lo nggak boleh motong ucapan gue sebelum selesai ngomong." Ia tahu betul tipikal orang yang sedang bersamanya ini. Selalu saja memotong perkataan orang lain.

"Oke."

Herdian menarik napas terlebih dahulu, kemudian mulai bercerita tentang insiden yang membuat persahabatannya dengan Alvis jadi renggang.

Satu tahun lalu. Tepatnya di kediaman keluarga Jumilar sedang terjadi keributan besar. Lima anak SMA sedang adu cekcok. Empat dari mereka, menyudutkan satu orang dengan berbagai argumen.

"Lo nggak mau ngaku juga?" tanya Alvis. Emosinya sudah sampai di puncak.

"Al, bukan gue!" sangkal Herdian.

"Udahlah, Her. Kenapa nggak mau ngaku, sih? Udah jelas-jelas lo yang buat Amira celaka!" timpal seorang gadis yang satu-satunya berada di sana.

Amira adalah kekasih Alvis, gadis itu mengalami kecelakaan tunggal dikarenakan rem mobilnya tidak bisa digunakan. Akibat kecelakaan itu, mereka semua menyalahkan Herdian. Karena, ialah yang terkahir kali berada di dekat mobil gadis tersebut.

Herdian menatap tajam pada manik wanita itu, berani sekali dia menuduhnya padahal ia sendiri yang melakukan? Cih, wanita ular tak berguna!

"Al, tolong percaya sama gue! Nggak mungkin gue tega bikin cewek lo celaka!"

"Mungkin aja. Lo suka sama cewek Alvis, 'kan? Karena lo nggak bisa milikin dia, jadi lo buat dia kehilangan nyawa supaya ngga ada yang bisa milikin dia." Gadis itu terus saja menyudutkan Herdian.

Path of Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang