Keysha dan Alvis telah sampai di lantai dua. Sepanjang mata memandang, banyak seragam sekolah dari pendidikan ternama terpampang rapi—walaupun tidak semua, karena ada beberapa sekolah yang mempunyai seragam tersendiri—di kaca lemari. Aksesories seperti topi dan dasi tak luput memeriahkan isi toko yang sekarang menjadi tempat pemberhentian keduanya.
"Kak, beli buku aja, ya? Aku masih punya seragam."
Alvis yang sedang melihat-lihat seragam yang sekiranya pas dengan tubuh adiknya berbalik menatap gadis itu, lantas berkata, "nggak, pokoknya beli yang baru."
Gadis itu pasrah saja. Ingin membantah, tetapi nanti akan menjadi perdebatan yang tidak berujung.
Di toko tersebut sangat ramai, banyak muda-mudi mau pun orang tua membeli peralatan sekolah karena tahun ajaran baru, sudah dimulai sekitar dua minggu yang lalu.
"Ca," panggil Alvis. Di tangannya sudah ada seragam putih abu-abu yang ia pilih untuk Gadis itu. "Nih, coba."
Keysha mengambil alih seragam itu dan masuk ke dalam ruang ganti yang sudah di sediakan. Tidak butuh waktu lama, ia sudah siap dengan seragam barunya, ditatap lamat-lamat pantulan diri di cermin dengan guratan kebingungan.
"Beneran aku harus pake ini?" tanyanya pada diri sendiri sambil membolak balik badan di depan cermin.
Ia segera keluar dari dalam dan menemui Alvis yang sudah memanggilnya sedari tadi layaknya anak hilang.
Begitu ia ke luar, lelaki itu melototkan mata lantas mendorong tubuhnya agar masuk kembali.
"Sopan begitu?"
"Tolol, ih."
"Kenapa keluar make rok pendek kayak gitu?! Siapa yang milih?!" tanya Alvis kesal.
Saat Keysha keluar dari ruangan, banyak pasang mata nakal menatapnya. Lelaki itu mana mau adiknya dijadikan santapan Buaya.
Gadis itu memukul kepala kakaknya kesal, sudah jelas-jelas jika ia yang memilihkan seragam untuknya.
"'Kan, lo yang milih bego ...!"
"E–eh? Iya, ya ...." Alvis tertawa tidak jelas. "Ya, sudah, ganti," titahnya sambil bersedekap dada.
"Ck, iya. Keluar sana!"
"Kok, ngusir?!" protes Alvis.
"Kamu mau liat aku ganti baju, Kak? Mesum, ih!" ucap gadis itu dengan nada agak sedikit meninggi.
Alvis gelagapan. Suara adiknya tadi bisa saja terdengar sampai luar. Ia tidak ingin dikira melecehkan seseorang, dengan langkah tergesa disertai malu, ia keluar dari ruang ganti tadi.
Ia menunggu Keysha sambil memainkan benda pipih yang diambil dari saku celana. Mengetik pesan untuk seseorang, kemudian tersenyum penuh arti.
Tak lama kemudian, adiknya keluar dari ruang ganti dengan seragam yang dipilihnya sendiri. Nampak pas sekali dengan ukuran tubuhnya.
"Gimana, Kak?" tanya gadis itu.
"Ambil yang itu aja," jawabnya tanpa menoleh, ia masih sibuk bertukar pesan dengan orang di seberang.
Keysha mengangguk. Ia masuk lagi ke dalam ruang ganti guna melepas seragam sekolah. Setelah usai dengan urusannya, ia keluar dengan memeluk seragam baru.
"Kak ...." Gadis itu kesal sendiri saat lelaki di depannya sibuk dengan ponsel pintar tanpa mengindahkan kehadirannya.
"Apa?" tanya lelaki itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel. Jemarinya masih asik menari di atas keyboard.
"Ayo, jalan lagi. Bukuku belum," ajak gadis itu.
Alvis menoleh, dapat ia lihat wajah sang adik yang cemberut. Pipi dikembangkan, bibir dibuat manyun, persis seperti ikan. Ia terkekeh samar, kemudian menyimpan benda pipih tersebut ke saku celana.
"Ayo. Mau sekalian beli tas?" tawar Alvis.
Saat ia tertidur di kamar adiknya waktu itu, netranya tidak sengaja melihat peralatan sekolah gadis itu yang ia simpan di meja belajar. Tas gadis itu sudah usang, begitu pun seragamnya.
"Boleh?" tanyanya tidak enak hati. Bagaimana pun ia tahu jika berbelanja di tempat seperti ini pasti memakan banyak biaya.
"Iya, lah! Ayo, buru!"
"T–tapi, kalau uang Papa abis, gimana?" tanya gadis itu dengan raut cemas.
Jika uang Pak Baron habis, ia tidak punya uang untuk menggantinya.
Alvis terkekeh, "beli seisi gedung ini juga uang Papa nggak bakalan habis."
"Tapi, Kak–"
"Sekali lagi ngomong, lo, gue tinggal," ancam Alvis. Sudah jengah dengan adiknya yang terus bertanya perihal uang. Papanya tidak akan jatuh miskin hanya karena membelikan gadis itu seragam sekolah.
Ia kadang heran dengan sikap gadis itu. Terkadang adiknya menampilkan kesan polos menyerempet bego, kadang juga memperlihatkan sifat berani melawan. Apakah gadis itu siluman bunglon?
Dengan kaki dihentak-hentakkan, gadis itu mengekor di belakang kakaknya—layaknya anak itik yang mengikuti induknya berjalan.
Sumpah serapah gadis itu rapalkan dalam hati. Semua penghuni kebun binatang ia absen satu-satu. Asik menyumpahi sang kakak, ia sampai tidak menyadari jika kakaknya itu berhenti berjalan. Alhasil, ia menabrak punggung kakaknya.
"Aduh, Kak! Kalau mau berhenti bilang dulu, dong!" Keysha mengsap kepalanya. Hari ini, hari tersial bagi kepalanya. Sudah berapa kali anggota badannya yang satu itu kena masalah?
Pertama, tertimpuk kerikil. Kedua, dijambak. Ketiga, disentil. Terkahir, terbentur punggung kakaknya. Em, kalau dipikir-pikir, itu semua karena ulah kakaknya.
"Eh! Situ yang jalan ngga fokus," dengkus Alvis. Ia tidak terima disalahkan seperti itu.
"Lagian ngapain berhenti mendadak, sih?"
"Kita udah sampe bego!" Ingin rasanya lelaki itu membeli otak baru untuk adiknya.
"Oh, heheh." Keysha menyengir kuda saat sadar dimana mereka berada.
"Nyengir lagi! Ngeselin!"
Lelaki itu berjalan lebih dulu memasuki toko, mau tidak mau, adiknya harus mengikut.
"Ca, liat, deh. Tas Dora." Tunjuk Alvis pada salah satu tas berwarna ungu. "Lo mau, ngga? Habis dari sini kita ke salon dulu. Potong rambut lo supaya mirip dora beneran. Soal baju? Tenang, nanti kita beli."
Gadis berpipi gembul itu kebetulan seorang penggemar berat Dora. Dulu, semasa ia kecil, sering sekali pergi ke rumah tetangga di hari minggu hanya untuk menonton serial kartun kesukaannya tersebut.
"Mau dong, Kak!" Gadis itu kegirangan. Matanya berbinar melihat tas yang ditunjuk kakaknya tadi.
"Mbak, tolong ambilin tas itu dong."
Setelah mendapatkan barang yang ia tunjuk, lelaki itu kemudian memberikannya pada sang adik yang disambut pekikan senang dari dang empu.
"Gimana, Kak? Udah mirip sama Dora?" tanya gadis tersebut sembari membolak-balikkan badannya.
"Iya, udah mirip. Tapi, kayaknya ada yang kurang, deh." Alvis berpikir sejenak, apa yang kurang?
"Oh! Aku tahu! Monyetnya, Kak! Gimana kalau Kak Al jadi monyetnya?" Gadis itu bertepuk tangan heboh. "Ayo, Kak! Katakan peta, katakan peta. Lebih keras!"
Sumpah demi apapun. Lelaki itu ingin menghilang sekarang. Malu, ia sangat malu.
"Kok, monyet?! Kenapa nggak Diego aja? 'Kan, dia kakanya Dora!"
"Diego jarang muncul, Kak. Kak Al juga cocok jadi monyetnya, kok. 'Kan, si monyet selalu dampingi si Dora."
Mengembuskan napas kasar, lelaki itu tidak akan menang berdebat dengan sang adik yang dalam mode polos menyerempet bego ditambah sinting pula.
Sudah. Ia menyerah.
.
.
.
.Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Path of Destiny
Fanfiction[JANGAN LUPA FOLLOW YA, GAES!] ↪ft. 00L Kisah klasik gadis polos bertemu dengan lelaki jakung super menyebalkan