Alvis menganggap ini bukan salahnya, hanya saja adik yang dicarikan oleh kedua orangtuanya tidak memenuhi kriteria dan adik-adik terdahulu itu yang terlalu memasuki perkataan Alvis ke hati. Padahal itu hanya candaan. Alvis ingin mempunyai adik yang tahan banting jika ada, yang membuatnya kesal pun tak apa. Ia hanya ingin pertengkaran kecil antara Kakak dan adik pada umumnya. Namun, ia tidak sadar, bahwa yang disebutnya candaan itu sungguh keterlaluan.
"Kenalin dong, Vis," kata Chaska sambil mengerlingkan mata jahil.
Alvis mendengus, tetapi mengangguk setuju. Sudah seperti kewajiban dirinya untuk mengenalkan adik baru kepada ketiga kawannya. Terlebih lagi kepada Chaska. Chaska pernah berkata, jika Alvis mempunyai adik, maka harus dikenalkan padanya. Barangkali adik Alvis akan kecantolan dengan Chaska. Terserah padanya saja.
"Pulang sekolah langsung ke rumah aja, kebetulan dia gak sekolah," ucap Alvis.
Ditya merenggut, "nggak sekolah, maksudnya?"
"Maksud gue, dia belum masuk sekolah. Senin depan baru sekolah," ralat Alvis.
"Sekolah di mana?" tanya Ditya.
"Sekolah di sini."
"YES!" Chaska berseru senang. Akibatnya, seluruh penjuru kantin melihat ke arah mereka. Chaska tidak peduli, tetapi beda lagi untuk yang lain. Mereka mati-matian menahan malu.
"Nagapain sih, lo? Malu-maluin aja!" Dengus Rafka tak suka. Memang harus punya kesabaran ekstra untuk berteman dengan manusia modelan Chaska.
"Sorry, pangeran terlalu bersemangat." Kekehnya. "Cakep gak, Vis? Mayan ntar bisa Aa' Chaska gebet."
"Lumayan sih," jawab Alvis sembari mengingat bentuk wajah adik barunya. Mata hitam besar, pipi chubi, rambut panjang, bibir mungil, serta hidung mancung tidak luput dari ingatannya. Ah, jangan lupakan bau bayi yang menguar dari tubuh adiknya.
"Kalau Alvis bilangnya lumayan, bisa jadi berlian di mata Chaska," canda Rafka.
"Namanya siapa, Vis?"
"Namanya Keysha. Keysha Aaron," jawab Alvis atas pertanyaan Chaska.
"Mantap bor! Namanya aja cakep, apalagi orangnya. Pasti wah ...."
"Jangan macem-macem!" Alvis melirik sinis pada Chaska.
"Aaron ...?" beo Ditya. Dia seperti tidak asing dengan nama belakang tersebut. Seperti pernah mendengarnya di suatu tempat, tapi ... di mana?
"Kenapa, Dit? Lo, kenal?" tanya Rafka penasaran setelah melihat raut wajah aneh Ditya.
"E–eh, enggak."
Alvis kembali menceritakan tentang Keysha, mulai dari mana asalnya, sampai berapa umurnya ia beberkan. Yang lain terkejut tentunya saat tau jika umur Keysha sepantaran dengan mereka.
"Terus, dia manggil lo, Kakak?" tanya Rafka tak habis pikir. Bisa-bisanya Alvis menyuruh Keysha memanggilnya dengan sebutan Kakak, sedangkan mereka sepantaran?!
"Iya, siapa suruh dia mau." Kekeh Alvis.
"Wah, emang gila lo. Dah, nggak ngerti lagi gue sama jalan pikiran, lo." Rafka geleng-geleng kepala.
Mereka lanjut bercerita tentang hal-hal random lainnya. Seperti Chaska yang bercerita jika dia kemarin dikejar oleh cabe perempatan saat tak sengaja bertubrukan. Sontak yang mendengar tertawa terbahak. Bayangkan saja bagaimana takutnya Chaska saat itu, ditambah lagi jalanan sedang sepi. Chaska meringis saat mengingat bagaimana dirinya diteriaki agar berhenti berlari dan meladeni para cabe yang mengejarnya. Jika yang mengejar hanya satu orang saja, mungkin Chaska masih bisa meladeninya, tetapi kemarin dia dikejar tiga orang sekaligus, serasa sedang uji adrenalin. Masih tersimpan jelas diingatannya bagaimana bentuk wajah orang yang mengejarnya. Wajah putih bagaikan mandi tepung, bibir merah menyala—tebal bibir merahnya mungkin lima centi, rambut pirang warna-warni, baju ketat kekurangan bahan, celana pendek sepaha, serta bekas kenalpot motor di bagian paha sebagai pelengkap.
Keseruan mereka bercerita harus terhenti karena bel masuk mengintrupsi. Dengan langkah lunglai mereka kembali ke kelas. Harus menerima nasib karena belajar menghitung lagi. Jika punya mesin waktu, akan sangat menyenangkan, sebab, bisa mempercepat waktu untuk pulang. Baru tiga puluh menit yang lalu mereka meraskan kebahagiaan, kini harua sirna karena rentetan angka kembali terlihat.
"Bisa nggak sih, lambaikan tangan ke kamera sambil bilang nyerah?" pertanyaan aneh ke luar dari mulut Chaska. Terlihat jelas jika dia sudah tidak ingin belajar. Salah sendiri mangambil jurusan MIPA. Sudah begitu, berada di kelas MIPA unggulan lagi.
Sebenarnya Chaska dan Rafka sama pintar dengan Alvis serta Ditya. Hanya saja dua orang itu lebih sering mengeluh ketimbang berusaha. Bukan tanpa alasan mereka berada di kelas unggulan, tetapi karena kecerdasan mereka. Jika tidak, sudah pasti mereka akan di tempatkan di jurusan IPS atau Bahasa.
"Ngaco, lo. Udah, jangan ngeluh. Kerjain aja tuh soal," ujar Rafka sambil menoyor kepala Chaska gemas.
"Au ah, capek." Chaska menempatkan wajahnya ke lipatan tangan. Dia ingin tidur saja. Toh, kepintarannya tidak akan berkurang. Saat akan memasuki dunia mimpi, suara Alvis menggagalkannya."Yang nggak belajar, nggak boleh ketemu adek gue."
"Ck, lo mah. Nggak, asik." Rajuk Chaska dengan bibir yang sengaja di maju-majukan.
"Dih, jijik Chas," sembur Ditya yang tidak tahan dengan sikap Chaska yang jauh dari kata normal.
.
.
.Uwaw, makasih yang udh mau mampir><
KAMU SEDANG MEMBACA
Path of Destiny
Fanfiction[JANGAN LUPA FOLLOW YA, GAES!] ↪ft. 00L Kisah klasik gadis polos bertemu dengan lelaki jakung super menyebalkan