Part 16

55 13 6
                                    

.
.
.

Alvis mengerutkan kening begitu melihat Tia masuk sendiri ke dalam kelas. Pertanyaan yang ada dalam kepalanya saat ini adalah, di mana sang adik? Bukannya mereka berdua pergi bersama?

Saat gadis berponi itu lewat, dengan sigap Alvis mencekal pergelangan tangannya.
"Keysha mana?" tanyanya.

Tia terdiam. Gadis itu memandang lamat-lamat tangannya yang ditahan oleh lelaki yang ia taksir. Sial, pasti pipinya memerah sekarang.
"T–tadi, Eca pamit ke toilet," jawabnya gugup.

"Kenapa nggak ditemenin?"

"Katanya ngga usah."

Sebelumnya, Tia sudah menawarkan diri untuk menemani Keysha pergi ke toilet, tetapi ditolak oleh gadis itu. Katanya ia ingin belajar bepergian sendiri, siapa tahu disaat gadis itu sendirian, ia tidak perlu merepotkan orang lain untuk mengantarkannya kembali ke kelas. Ada-ada saja.

Alvis mengangguk singkat setelah mendengar penjelasan dari teman adiknya. Cekalan tangan ia lepas, sejurus kemudian, tubuhnya tidak terlihat lagi.

Di sisi lain, tepatnya di toilet wanita. Seorang gadis baru saja selesai menuntaskan panggilan alam. Setelah mencuci tangan, ia berniat untuk pergi dari sana dikarenakan jam pelajaran berikutnya akan tinggal beberapa menit lagi.

Tangannya tinggal beberapa centi untuk memegang knop pintu, tetapi lebih dahulu didorong kasar dari luar, gadis itu sampai harus mengundurkan langkahnya.

Di hadapannya kini berdiri tiga gadis. Mereka berdiri dengan wajah angkuh serta tangan terlipat di dada. Keysha seperti deja vu.

Ditatapnya satu-persatu gadis yang ada di depannya. Pupilnya membesar begitu menyadari salah seorang dari mereka adalah orang yang selama ini ia ingin hindari. Begitupun sebaliknya, orang yang gadis itu maksud sama terkejutnya.

Namun, keterjutan itu tidak berlangsung lama, sebab, gadis itu kini sudah menampilakn senyum liciknya.

"Lama tidak bertemu Keysha." Itulah kalimat yang ia tangkap begitu sang lawan berbicara tanpa suara.

Keringat dingin mulai membanjiri. Pikiran buruk terus menghujam pikiran Keysha. Ia takut. Sangat.

"Oh, jadi ini cewek centil yang deketin dua pangeran sekolah sekaligus?" Salah seorang gadis berjalan mengelilingi tubuhnya.
Menelisik dari atas sampai bawah, Keysha risih. Namun, ia tidak berani untuk mengatakannya. Ia berharap, bantuan segera datang.

"Lama lo, Jess! Gue udah nggak sabar, nih!"

Gadis yang ditegur memutar matanya malas. "Aelah, sabar dikit napa Fel!"

Jessica Gleonard. Gadis yang ditakuti hampir seluruh siswi. Siapa yang tidak kenal dengannya. Gadis yang mendapat julukan 'Iblis' ini adalah seorang perundung. Tidak ada yang berani mengusik.

Bukan hanya dia, tetapi juga Felly maimac dan Bianca Aldrik. Keduanya merupakan teman dari gadis iblis tersebut.

"Lama, ah! Langsung gini dong." Tanpa aba-aba, Bianca mengguyur Keysha.
Ketiganya terbahak melihat wajah terkejut dari gadis yang mereka bully.

"Ini peringatan pertama, oke?" Jessika selaku ketua dari mereka mencengkram dagu Keysha. "Sampe gue denger ada gosip tentang lo yang deketin Alvis sama Herdian, abis lo di tangan gue!" Dihempaskannya dengan kasar wajah sang empu.

Merasa jika urusan mereka sudah selesai, ketiganya pergi dari sana. Namun, Bianca—orang yang Keysha hindari—menyempatkan diri untuk berucap sebentar.
"Nikmati penderitaan lo, lagi, Ca." Gadis itu kemudian keluar, tidak lupa untuk mengunci pintu dari luar.

Keysha termangu di tempat. Tubuhnya bergetar hebat sampai merosot ke bawah lantaran tidak bisa menopang tubuh.
Tangan yang mula terjuntai, kini beralih fungsi menjambak rambutnya. Tidak. Keysha tidak ingin dirundung kembali. Luka lamanya belum sembuh, ia masih trauma.

Ia pikir tidak akan pernah bertemu dengan Bianca lagi setelah kepindahan gadis itu. Nyatanya, nasib baik belum berpihak kepadanya. Ia dipertemukan lagi dengan orang yang pernah merundungnya hingga ia pernah berniat untuk mengakhiri hidup.

Mengapa dunia begitu Sempit? Tak terasa, buliran air mata berjatuhan dengan deras. Tangannya semakin kuat menarik anak rambut. Gadis itu mulai bergumam tidak jelas. Selalu begitu saat traumnya kambuh.

"J–jangan lagi ...." Tangis kian menjadi, ia merapatkan tubuhnya kala gedoran serta seruan orang memanggilnya terdengar.

Brak!

Dentuman keras dari pintu yang beradu dengan dinding membuat Keysha memejamkan matanya.
"Ca, ini gue. Buka mata lo."
Mendengar suara yang ia kenal, gadis itu membuka matanya. Herdian, sosok itu yang pertama kali ia lihat.

"J–jangan deket-deket." Keysha mendorong tubuh lelaki bermata sipit itu agar menjauh darinya.
Namun, bukannya menuruti perkataan gadis itu, Herdian malah semakin mendekat.

"Aku bilang jangan deket-deket, Kak!" Keysha meninggikan suaranya, lelaki itu sampai terkejut.

"Lo apain Keysha, sialan?!" Tiba-tiba Alvis datang. Lelaki itu menarik kerah baju Herdian dari belakang, kemudian menyudutkannya di tembok.

Lelaki sipit yang tertuduh, merasa tidak terima. Ia mendorong bahu lelaki yang menuduhnya hingga kaitan pada kerah bajunya terlepas. Ia tidak terima jika dituduh seperti ini, ia saja baru datang dan mendapati kondisi Keysha sudah seperti ini.

"Gue ngga apa-apain dia," ujarnya tenang. Herdian masih sadar untuk membuat keributan di toilet, terlebih lagi ini toilet wanita.

"Terus, gue percaya? Pasti lo lakuin sesuatu ke dia, 'kan?"

"Bukan gue, anjing!" Lama-lama kesabaran lelaki sipit itu habis juga. Mengapa manusia di hadapannya ini tidak percaya? Sebegitu bencinya, kah?

Alvis geram. Ketimbang jujur saja, mengapa susah sekali? Ia bersiap melayangkan satu pukulan sebelum suara sang adik mengintrupsi pergerakannya.

"K–kak, udah." Keysha berujar lirih. Ia tidak ingin orang lain berkelahi karenanya.

Terlebih lagi, Herdian tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kondisinya saat ini.
Alvis buru-buru menghampiri adiknya, lalu mengangkat tubuh dengan timbangan tak seberapa itu menuju UKS. Ia berlari, tidak peduli dengan beberapa orang yang sempat ia tabrak. Gadis dalam gendongannya lebih penting sekarang.

Aksinya itu tentu banyak menimbulkan tanda tanya pada orang-orang. Lelaki yang terkenal dingin dan tak tersentuh itu sekarang berubah menjadi sosok yang peduli. Berlaku pada gadis baru itu tentunya. Mereka mulai bertanya-tanya siapa sebenarnya gadis itu?

Sosok Alvis pun tidak luput dari pandangan ketiga gadis yang sekarang menggeram marah. Padahal mereka sudah memberi peringatan pada Keysha. Namun, gadis itu sepertinya tidak kapok. Buktinya saja ia malah berpura-pura sakit agar Alvis mau membantunya.

"Gadis sialan. Lihat aja nanti." Jessica bergumam. Tatapannya penuh dendam, "Cabut, kita buat rencana untuk hama satu itu."

Bianca tersenyum samar mendengar perkataan temannya barusan. Baguslah, dengan begini, ia tidak perlu repot-repot untuk mengotori tangannya karena sekarang, ada orang lain yang membalaskan dendamnya.

Tugasnya sekarang hanyalah untuk mengomopori Jessica agar terus menyiksa Keysha. Licik memang, tetapi jika itu menguntungkan baginya, mengapa tidak?
Ibaratnya, seperti seorang yang berlindung dibalik punggung temannya saat ada perang.

Hahah, rubah nakal.

.
.
.
Tbc

Path of Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang