Part 18

41 11 8
                                    

Selepas kepergian Alvis, Ditya benar-benar pergi mencari tahu siapa yang sudah merundung adik sahabatnya tersebut. Tujuannya sekarang adalah ruang kontrol, di sana kita bisa melihat rekaman CCTV sekolah.

Lelaki itu berjalan tergesa menaiki tangga. Ruang kontrol terletak di sebelah selatan, agak jauh dari ruang kelas. Ia sedikit mengumpat karena letak ruangan itu ada di lantai tiga.

Begitu sampai di sana, ia segera masuk dan mengecek ruangan kelas sebelas Bahasa 2. Namun, bukannya mendapat apa yang ia mau, ia malah mendapati layar hitam. Ia mendesah kecewa. Ayolah, pergi ke sini butuh perjuangan!

Tampaknya CCTV di kelas tersebut sudah dirusak lebih dahulu. Huh, benar-benar rencana yang matang. Lelaki itu memilih untuk pergi saja dari sana, berjalan dengan gontai. Matanya tidak henti berkeliaran, berjalan sendirian seperti ini bak syuting film horor.

Ditya mencoba untuk berpikir, kira-kira siapa yang membuat Keysha seperti itu. Apakah si gadis iblis? Namun, tidak mungkin ia akan berbuat sejauh itu.

Di tengah lamuannya, ia dikagetkan dengan kehadiran seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapannya. "Anj-kaget!" Ia mengusap dada.

"M-maaf," sesal orang itu.

Ditya mengangguk. "Eh, lo Bella, 'kan? Anak Bahasa 1?"

"I-iya, kenapa?" tanya Bella.

"Lo liat Jessica sama antek-anteknya bully orang lagi nggak?" tanyanya, berharap gadis yang dijuluki kutu buku itu tahu sesuatu.

"Tadi pagi, di kantin," jawab gadis itu, "Ah, iya! Satu lagi, tadi aku sempet liat mereka lagi ngobrol sama si murid baru. Setelahnya, aku ngga tahu lagi."

Ah, jadi benar dugaannya? Namun, apa alasan mereka merundung adik sahabatnya sampai seperti itu? Itu sudah keterlaluan.

"Thanks, ya!" ucap Ditya sebelum pergi dari hadapan gadis itu.

***

Mari kita bahas sedikit tentang Bella Aurelia atau gadis yang dikenal dengan julukan 'Kutu Buku'

Gadis ini adalah secret admirer dari seorang Raditya Andaka. Kesehariannya di sekolah adalah memantau serta mengisi loker sang kekasih impian dengan berbagai cemilan. Tidak lupa sesekali menyisipkan lembaran puisi yang ia buat. Sedikit berlebihan, sih.

Gadis yang sudah menyukai Ditya sejak masuk ke sekolah menengah pertama itu, belum berani untuk memuji lelaki tersebut secara terang-terangan. Ia hanya takut, kalau nantinya lelaki yang disukainya akan merasa terganggu dan perlahan menjauh.
Sedikit sadar diri. Mana mungkin gadis berpenampilan culun sepertinya bisa bersanding dengan orang terpandang seperti Ditya? Benar kata orang, lelaki itu tidak bisa digapai. Hanya bisa di screnshoot. Heheh, bercanda.

***

Mobil jemputan Ditya telah tiba. Setelah menyelesaikan beberapa tugasnya, ia segera meninggalkan pekarangan sekolah menuju ke rumah sepupunya. Ia saat ini butuh penjelasan.

"Pak, tunggu sebentar, ya? Saya nggak lama," katanya pada sang supir.

"Iya, Den." Sang supir mengangguk patuh.

Ditya sudah berada di dalam rumah. Setelah bertanya pada pembantu di mana sang majikan, ia segera bergegas ke tempat tujuan. Ia membuka dengan kasar pintu kamar bercat putih itu. Kemudian, ia menarik kasar sang sepupu yang sedang tengkurap bermain laptop.

"Aw, bisa pelan-pelan aja nggak? sakit tahu!" ringisnya.

"Sakitan mana sama orang yang lo bully?" tanya lelaki itu menantang.

Sepupunya diam. Menatap lelaki di depannya dengan heran. Kenapa lelaki ini?

"Apa, sih? Ngga jelas," decaknya.

"Lo apain si Keysha, Jess?" tanya lelaki itu pada intinya. Ia tidak ingin berlama-lama di sana.

Jessica membulatkan matanya. Dari mana pria di hadapannya ini tahu?

"Oh, jadi lo dateng ke sini, marah-marah ngga jelas karena cewek kecentilan itu?"

Ditya menaikkan sebelah alisnya. Kecentilan? Apa maksudnya?

"Maksud lo?"

"Iya, kecentilan. Masih baru udah berani deketin Herdian sama Alvis," nyinyir gadis itu.

Lelaki terebut ingin sekali memarahi habis-habisan sang sepupu. Bagaimana bisa gadis itu berpikiran pendek? Andaikan saja ia tahu jika korban bully-nya adalah adik dari lelaki yang ia taksir, akan seperti apa reaksinya?

"Jess, dengerin gue. Stop bully orang! Gue nggak mau nantinya lo kena masalah," jelas lelaki itu.

"Nggak! Selama anak kecentilan itu masih deketin mereka berdua, gue nggak bakalan berhenti buat bully dia."

"Terserah. Yang penting gue udah peringatin, kalau sampe lo kenapa-napa, jangan cari gue." Lelaki itu melongos pergi begitu saja tanpa mendengar teriakan Jessica yang terus saja menyerukan namanya.

Lelaki itu bimbang, apakah ia harus jujur pada Alvis? Atau melindungi sepupunya, lagi. Ah, nanti saja memikirkannya, ia pusing.

***

Alvis terus saja memandangi pintu yang tertutup di depannya. Di balik pintu itu ada dokter yang masih memeriksa kondisi adiknya lebih lanjut. Ia sangat khawatir akan keadaan gadis itu.

Masih teringat jelas olehnya wajah pucat pasi dengan rambut yang tidak berbentuk. Siapa yang begitu tega membuat adiknya jadi seperti sekarang?

Alvis menyesal telah mendengarkan perintah gadis itu untuk pulang terlebih dahulu. Ia bersumpah, siapapun yang telah membuat adiknya jadi seperti itu, akan mendapat ganjaran yang mungkin lebih menyakitkan.

Alvis adalah tipe orang yang tidak memdulikan sekelilingnya. Penjaga gerbang sekolah saja ia tidak tahu namanya selama ini, apalagi para perundung? Ia harap, Ditya bisa menemukan pelakunya dan memberitahunya segera.

Pintu berdecit membuyarkan pikiran lelaki itu yang sedang berkelana. Ia berdiri dari duduknya dan menghampiri dokter yang baru saja mengalungkan stetoskop di lehernya.

"Gimana keadaan adik saya, Dok?" tanyanya tak sabaran.

Dokter itu menghela napas, membuat Alvis ketar-ketir.

"Adik kamu kena serangan panik hingga membuatnya pingsan," jelas sang dokter. "Oh, iya. Kamu tahu kenapa dia sampai seperti itu?"

"Saya nggak tahu pasti, tapi kata teman, adik saya jadi korban bully."

Dokter itu menangguk. "Adik kamu sepertinya memiliki trauma. Mungkin, setelah ini dia akan menerima serangan panik lebih banyak. Jadi, tolong jaga dia baik-baik. Usahakan jauhkan dirinya dari hal-hal yang membuatnya jadi trauma. Contohnya bentakan," papar sang dokter.

"Baik, Dok. Terima kasih."

Alvis masuk ke dalam ruangan begitu dokter tadi kembali ke ruangannya. Ia berdiri di samping brankar sang adik. Tangannya terulur untuk mengusap pelan kepala sang adik, sebisa mungkin untuk tidak membuat risih.

Ia menatap ke surai hitam sang adik, rambut panjang kesukaannya kini tidak lagi berbentuk. Tangannya mengepal kuat.

"Tenang, Ca. Gue pastiin mereka yang udah bikin lo kayak gini lebih menderita."

Alvis kemudian menelpon ke salon langganan mereka dan memintanya untuk meratakan rambut Keysha. Entah bagaimana nantinya jika gadis itu tahu rambut kesayangannya digunting pendek.

Alvis beralih panggilan pada Ditya. Ia penasaran, apakah sahabtanya itu sudah mengetahui siapa yang merundung adiknya?

[Maaf, Al. Tapi, gue nggak bisa nemuin siapa pelakunya. CCTV kelas Bahasa 2 juga udah dirusak lebih dulu.]

"Yaudah, Dit. Nggak apa-apa, thanks, ya?" Alvis memutuskan sambungan sepihak.

Berbohong sekali saja pada sahabat tidak apa, bukan? Namun, berbohong untuk sesuatu yang besar tentunya mempunyai resiko yang besar juga.

Jika harus memilih, lelaki yang sekarang sedang mengusak rambut frustrasi akan memilih untuk tidak tahu apa-apa.

.
.
.

Tbc

Duh, si aa kasep. Malah lindungin sepupu ga tau dirinya:(

Path of Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang