Part 13

42 15 2
                                    

.
.
.

Hari yang Keysha tunggu telah tiba. Semalam, gadis itu hampir tidak bisa tidur lantaran tidak sabar lagi untuk bersekolah.
Seperti biasa, ia bangun pagi-pagi sekali. Membantu Bi Munah menyiapkan sarapan pagi, lalu memyiapkan diri setelah itu membangunkan kakaknya.

Gadis itu kini berdiri di depan pintu kamar Alvis. Tiga kali ketukan di pintu, tetapi tidak mendapati sahutan dari dalam. Ia memilih masuk saja ke dalam karena pintu tidak dikunci.
Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Namun, ia tidak menjumpai wujud dari oknum yang tengah ia cari.

Ke mana lelaki itu?

Langkahnya membawa ia pada satu ruangan lagi yang belum ia datangi. Kamar mandi. Gemercik air terdengar dari dalam. Ah, ternyata orang yang dicari sedang mandi.

Tumben sekali manusia menyebalkan itu bangun cepat. Biasanya di jam seperti ini, lelaki itu masih berpacaran dengan gulingnya. Memilih untuk abai, ia beranjak pergi. Namun, baru beberapa langkah, decitan pintu terdengar.

"Eh! Mau ngintip gue mandi lo, ya?!"

Gadis berambut hitam tersebut ingin sekali berbalik lalu menjitak kepala orang yang baru saja menuduhnya yang tidak-tidak. Namun, niat itu ia urungkan lantaran mengingat jika orang tadi setelah mandi biasanya hanya menggunakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.

"Nggak. Aku tadi mau bangunin kamu, Kak."

"Alasan. Bilang aja mau ngintip!" Alvis tetap kukuh dengan tuduhannya.

"Aku kalau mau ngintip juga pilih-pilih orang," tandas gadis itu, "Udah, ya? Aku mau ke bawah."

Lelaki itu hanya bisa tersenyum sabar mendengar jawaban gadis yang pergi dari kamarnya selang beberapa detik lalu.

"Dosa apa yang gue buat sampe punya adek modelan dia, ya?"

Lelaki itu memilih untuk bersiap-siap dari pada memikirkan hal yang tidak perlu. Begitu selesai, ia langsung turun ke bawah.
Sesampainya di sana, ia langsung duduk di meja makan sembari melihat adik beserta pembantunya sedang membuat sarapan pagi.

"Bi Eca, cepetan dikit, dong! Tuan Muda udah lapar, nih."
Dapat ia lihat kilatan amarah dari mata Keysha. Hal itu membuatnya tertawa. Serasa ada yang kurang kalau belum menjahili sang adik di pagi hari.

Bukk!

Gadis yang baru saja disebut Alvis sebagai pembantu itu menaruh piring berisi nasi goreng dengan kasar hingga menimbulkan bunyi.

"Widih ... santai dong, Bi. Kalau piringnya pecah gimana? Ada uang buat ganti?"

Gadis itu sudah mengambil garpu untuk mencolok mata kakaknya, tetapi urung setelah mendengar ucapan lelaki itu barusan. Benar juga, seharusnya ia tidak harus kelewat batas seperti ini.
Bagaimana kalau piring tadi sampai pecah?

"M–maaf ...." Cepat-cepat gadis itu beranjak dari hadapan kakaknya sebelum cairan bening dari pelupuk matanya keluar.

"Lah? Kenapa, dah? Biasanya nyolot kalau dikatain." Tanpa berpikir lebih lanjut, lelaki itu makan dengan lahap. Cacing di perutnya sudah bersahutan sejak tadi.

Beralih dari Alvis yang makan dengan lahap ke Keysha yang tengah menatap makanannya tidak minat. Gadis itu terus saja berpikir tentang ucapan kakaknya.

Ia juga berpikir tentang sikapnya belakangan. Terlalu lancang untuk ia yang hanya 'anak pungut' mencari gara-gara sampai membalas perlakuan dari anak pemilik rumah. Wajah gadis itu kian menekuk. Bi Munah yang dari tadi memperhatikan menatapnya bingung.

"Kamu kenapa?" Tangan keriputnya ia tenggerkan di pundak si gadis yang sedang bersedih.

"Aku, nggak apa-apa, Bi."

Wanita tua itu tersenyum. Beliau tahu, jika nona mudanya termakan omongan sang kakak.
"Kakakmu hanya bercanda." Usapan halus ia berikan di rambut panjang gadis itu, berharap dengan itu sang majikan lebih merasa tenang, "Sekarang, habiskan makananmu sebelum Kakak galakmu itu marah."

Gadis itu mengangguk. Buru-buru menghabiskan makanannya sebelum lelaki menyebalkan tersebut datang mengomel karena makanannya belum habis.

"Kalau begitu, Bibi pamit ya, Non." Setelah mendapat anggukan dari majikannya, wanita tua itu beranjak dari sana.

"Eca! Ayo cepetan! Telat lima detik gue tinggal!" teriak Alvis dari ruang tengah.

Untung saja gadis itu sudah selesai makan. Jika tidak, bisa panjang urusannya. Sebelum pergi menemui kakaknya, ia pergi ke kamarnya untuk memasang beberapa benda yang ia beli kemarin pada tubuhnya.
Gadis itu memandang pantulannya di cermin. Apa keputusannya ini sudah benar?

"Caaa! Gue nggak main-main, loh, ya. Cepetan!"

Sebelum mendengar teriakan kakanya lebih lanjut, ia segera turun menghampiri lelaki itu.
Keterkejutan terlihat jelas di wajah Alvis begitu melihat dandanan 'baru' adiknya. Kalau adiknya itu berdandan mirip Dora, mungkin ia akan maklum karena otak adiknya itu sedikit miring menurutnya.
Numun, dandanan adiknya sekarang seperti gembel. Lelaki itu menutup mata, ia mencoba menetralkan napasnya. Ia sekarang tahu apa yang ada di pikiran adiknya.

"Ca. Gue tahu kalau lo mau sembunyiin status kita sebagai keluarga. Tapi, ngga gini juga caranya. Dengan lo cosplay jadi gembel kayak gini, lo bakalan di-bully. Seandainya lo di-bully dan gue nggak ada di sisi lo, siapa yang bakalan disalahin?" Lelaki itu menarik sebentar napasnya karena terlalu banyak bicara.
"Gue khawatir, Ca. Perundungan di sekolah besar itu nggak main-main. Biar pun ada larangan, lo pikir mereka bakalan denger? Nggak. Jadi, tolong dengerin gue sebagai Kakak lo. Balik ke kamar, lepasin semua dandanan gembel lo ini. Atau, lo ngga usah ikut ke sekolah."

Bukannya langsung menurut, gadis itu hanya diam mematung. Kepalanya senantiasa mendongak agar bisa melihat wajah sang kakak. Mulutnya setengah terbuka dengan mata mengerjap beberapa kali.

"Caaa! Denger gue ngomong nggak, sih?!"

Gadis itu menggeleng. "N–nggak. Abisnya Kakak ngomongnya kayak orang lagi nge-rap." Bibirnya ia majukan beberapa senti, jurus paling ampuh untuk meredakan emosi Kakaknya yang siap meledak sebentar lagi.

'Untung imut lo, Dek. Coba enggak, udah gue lempar ke rawa!'

Lelaki itu terseyum, tetapi terlihat horor di mata adiknya. "Intinya, lo lepasin semua benda aneh itu, ya?"

Gadis itu mengangguk. Sepersekian detik berikutnya, ia lari terbirit. Sedangkan Alvis hanya menggeleng.

Apa selalu begitu dandanan Keysha saat berada di sekolah lamanya? Jika, iya, pantas saja anak itu dirundung. Kalau di perhatikan, adiknya itu lumayan cantik. Ia saja hampir hilang akal kalau melihatnya.

"Arrghhh! Gue mikirin apa, sih?" Lelaki itu mengacak rambutnya frustasi.

"Aku udah si ... ap. Loh, Kakak kenapa?" tanya Keysha yang baru saja tiba.

Kakaknya menoleh. "E–enggak. Em, Ca. Dandannya jangan cantik gini, boleh? Di sekolah banyak buaya soalnya."

Gadis itu bingung. Tadi, katanya ia tidak boleh terlihat seperti gembel. Mempercantik diri pun tidak boleh? Jadi, ia harus apa?
"Loh, Kak. Bukannya tadi nggak bol–"

"Kalau dibilangin sama Kakak, dengerin!"

"Ck, iya!"

"Ke kamar mandi di kamar tamu aja, lama kalau balik ke atas lagi."

"Siap, Tuan."

.
.
.
Tbc

Path of Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang