Cerita makin ga jelas. Baca aja juseyoooo~
.
.
.Keysha tidak hentinya mengucapkan kata pujian setelah sampai di kediaman keluarga Aaron. Halaman serta rumahnya tidak kalah luas dari rumah keluarga Abhitama. Netranya mengamati sekeliling yang masih nampak asing.
"Keysha, perhatikan langkahmu," tegur Doffy.
Saking asiknya, gadis itu sampai tidak memperhatikan langkahnya. Alhasil, ia sudah beberapa kali tersandung kakinya sendiri.
Gadis itu menyengir lebar sebagai tanggapan. Maklumlah, orang yang terlahir miskin sepertinya tidak bisa menyembunyikan rasa kagum melihat kemewahan seperti ini.
Semakin dekat dengan pintu masuk, siluet beberapa orang semakin terlihat jelas. Gadis itu jadi gugup sendiri. Berbagai pikiran negatif menyelimuti. Bagaimana jika mereka tidak menerima kehadirannya?
Doffy merangkul cucunya begitu sampai di hadapan keluarga yang sudah menanti. Senyum lebar terpampang jelas di wajah pria lansia tersebut.
"Ini Keysha. Cucuku yang sudah lama hilang."
Gadis itu tersenyum canggung, matanya berkeliaran mengamati setiap raut wajah orang.
"Ayah, dia. Dia p–putriku?" tanya seorang wanita. Ia mendekat, lalu menangkup wajah anaknya yang bahkan belum sempat ia lihat setelah lahir ke dunia.
Wanita itu tak kuasa menahan tangis. Ia memeluk tubuh sang anak dengan begitu erat, seakan ada yang akan mengambil anaknya lagi jika ia melepas pelukannya.
Keysha membalas pelukan wanita itu, air matanya juga turut meriuhkan haru. Ia dapat merasakannya. Hangat dari pelukan seorang Ibu yang tidak pernah ia rasakan.
Wanita itu melepas pelukannya, diraihnya kedua tangan sang anak, lalu mengecupnya secara bergantian. "Ini Mama, sayang."
"Mama," sebut gadis itu.
"Ayo kita masuk dulu," ajak Doffy.
Mereka semua masuk ke dalam rumah. Keysha dibawa ke ruang keluarga. Gadis itu tentu saja merasa canggung.
"Keysha, kamu istirahat dulu di kamar. Sore nanti, kita mulai terapinya, ya?"
Gadis itu mengangguk patuh pada ucapan sang kakek. Tubuhnya juga butuh istirahat, selama perjalan ke Bandung, ia tidak tertidur sama sekali.
"Han, tolong antar adikmu."
Gadis itu merasa deja vu. Ia jadi teringat saat pertama kali dirinya menginjakkan kaki di rumah Abhitama. Ah, ia jadi rindu kakaknya. Entah sedang apa lelaki itu sekarang, terkahir kali ia melihat jika lelaki tersebut sangat sedih karena ia pergi.
"Ayo, Ca."
Tidak seperti hayalannya akan ada kata penolakan, lelaki yang dipanggil Han itu menyanggupi perkataan sang kakek. Mereka berdua berjalan berdampingan ke lantai atas.
"Lo kalau butuh sesuatu, bilang aja, oke? Gue di kamar sebelah," kata Han sebelum masuk ke dalam kamar yang tepat berada di sebalah kamar Keysha.
Perasaan gadis itu jadi tidak karuan. Interior rumah ini hampir sama dengan rumah Alvis. Letak kamar di lantai atas pun sama persis. Siapapun, tolong gadis ini, mungkin sebentar lagi menangis karena rindu dengan sosok itu.
"Kak, Al. Maafin aku."
***
Tidak beda jauh dari keadaan sang adik. Lelaki itu sekarang sedang duduk di balkon kamar yang dulu ditempati oleh gadis tersebut. Pandangannya kosong, ia tidak tahu harus berbuat apa dan pergi ke mana untuk membuang rasa bosannya.Biasanya ia akan menjahili sang adik diwaktu seperti ini, tetapi sudah tidak bisa karena gadis tersebut harus pergi. Rasa sepi menyelimutinya. Ia tidak tahu kenapa ia bisa seperti ini. Padahal dulu, ia sudah terbiasa dengan kesendirian. Namun, semuanya berubah drastis begitu Keysha datang ke rumah.
Otaknya kini terlalu lelah untuk berpikir, seharian ia ditimpa kenyataan menyakitkan. Kalau saja jarak kota Jakarta dekat dengan Kota Bandung, mungkin ia sudah pergi meyusul sang adik.
Lelaki itu lelah, ia butuh penyemangat.
"Alvis, kamu di sini ternyata." Kirana muncul dari balik pintu kaca. Ucapannya barusan bagai angin lalu di telinga sang anak.
Wanita tua itu menatap lamat-lamat wajah anaknya yang sama sekali tidak memperlihatkan bahwa ia sedang baik-baik saja. Wanita itu tersenyum, ia tahu betul apa yang membuat sang anak menjadi seperti ini.
"Alvis, kamu tenang aja. Keysha pasti balik ke sini lagi," tuturnya.
Lelaki itu menoleh. "Bener, Ma? Tapi, kalau dia betah sama keluarga aslinya?" Wajahnya makin murung saja. Memikirkan hal seperti itu membuatnya semakin takut jika sang adik tidak akan kembali.
Kirana menggeleng. "Nggak, sayang. Percaya sama mama, oke?"
Lelaki itu ragu, mana tahu apa yang dikatakannya tadi terbukti benar dan ia tidak bisa lagi bertemu dengan sang adik untuk selamanya.
Tidak ada respon dari anaknya membuat wanita itu kembali berpikir, hal apa yang dapat membuat sang anak kembali tersenyum. Wanita itu hanya tidak ingin jika kejadian sama lalu harus terulang kembali. Di mana Alvis yang ceria harus menjadi murung begitu kepergian sang pujaan hati.
Apakah ia harus memberi tahu kepada anaknya apa yang sedang ia dan sang suami sepakati dengan kakek dari gadis itu?
"Alvis, sebenarnya Mama sama Papa berenca–"
"Alvis, ada temen kamu di bawah. Ayo cepat turun, sebelum rumah jadi rimba karena Chaska."
Untung saja Baron cepat datang, jika tidak, maka hal yang seharusnya menjadi rahasia akan terbongkar karena ulah istrinya.
***
Alvis turun dengan malas ke lantai bawah. Padahal hari ini, ia berencana akan tidur seharian karena tidak ada objek yang akan ia jahili.
Wajahnya yang kusut makin kusut karena melihat Ditya juga ada di sana. Cih, lelaki itu masih bisa tertawa. Biarkan saja, besok tawa itu akan lenyap.
"Apa? Mau minta makan? Maaf, beras habis." Lelaki itu mendudukkan diri dengan kasar.
"Sialan anak Pak Baron. Kita ke sini mau hibur lo karena ditinggal pergi sama Keysha," kata Chaska dengan bangganya.
"Makasih. Tapi nggak perlu," balas lelaki itu.
"Raf, jangan tahan gue! Gue hilangin juga muka songong lo, Al!" ujar lelaki Tan itu menggebu-gebu. Membuat gerakan seolah-oleh ia tengah ditahan menggunakan tangannya sendiri.
"Ngga ada yang nahan lo juga," jawab Rafka acuh. Ia sedang malas meladeni lelaki Tan itu.
"Lo kenapa Raf? Biasanya juga langsung kumat pas gue pancing. Ah, ngga pren lah kita!" kata Chaska. Ia kesal dengan lelaki berhidung bangir itu!
"Mood gue ancur liat muka dia, Chas. Kenapa lo ajak segala, sih?" tanyanya dengan nada ketus.
"Biar seru aja. Gue mau liat drama dia lagi," jawab lelaki Tan itu.
"Kalian berdua ngomongin siapa, sih?" tanya Ditya heran.
"Ngomongin l–"
Mulut Rafka langsung ditutup oleh Chaska. Lelaki Tan tersebut tidak mau ambil resiko jika lelaki berhidung bangir itu sampai lepas kontrol.
"Al, kapan Keysha pergi?" tanya lelaki manis yang sudah tidak penasaran soal siapa yang sedang dibicaran kedua temannya.
"Kapan dia pergi, itu juga bukan urusan lo, 'kan?"
Alvis tersenyum puas melihat Ditya bungkam. Kalau seperti ini, apakah ia harus bertindak sekarang? Sepertinya tidak, besok lebih menyenangkan!
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Path of Destiny
Fanfiction[JANGAN LUPA FOLLOW YA, GAES!] ↪ft. 00L Kisah klasik gadis polos bertemu dengan lelaki jakung super menyebalkan