Chapter 15

14.8K 1.1K 15
                                    

Hari ini suasana di panti sangat riuh karena anak-anak sibuk mendekorasi aula panti untuk merayakan hari jadi berdirinya panti yang bertepatan dengan hari ulang tahun Bu Wida.

Bu Wida mengatakan jika acara peresmian panti ini dulu memang sengaja dilaksanakan bertepatan dengan hari kelahiran Bu Wida.

Aku sibuk menata makanan di meja dibantu Maria. Maria juga turut serta membawa kedua buah hatinya. Nadia dan Nabil sibuk berlarian bersama anak -anak panti yang lain. Mereka nampak akrab karena terbiasa di ajak Maria setiap akhir pekan berkunjung ke sana.

"Senang rasanya setiap kembali ke sini. Seperti pulang ke rumah. Walaupun aku nggak punya orangtua, tapi Bu Wida udah jadi lebih seperti ibuku. Beliau selalu jadi tempat aku mengadu. Beliau yang dulu selalu menghiburku saat mama baru saja pergi," ucap Maria saat tengah menghias kue berbentuk bulat dengan krim vanila kesukaan Bu Wida. Tak lupa susunan buah strowberry yang membuat tampilan kue itu sangat cantik.

Maria menyadari perubahan raut wajahku. "Ada apa?" herannya.

Ucapan Maria itu secara tak sengaja terasa menohok jantungku. Sesalku dulu yang mengabaikannya padahal dia juga tengah berduka. Kematian ibunya Maria tak lama setelah meninggalnya dr.Zain. Aku tak hadir saat dia tengah berduka. Tak ada saat dia berada di titik terendah dalam hidupnya. Bagi Maria ibunya adalah segalanya. Harta paling berharga saat itu. Aku tak tahu bagaimana Maria bisa menghadapi kesedihan itu sendirian. Aku, sahabatnya tak ada disampingnya.

"Maaf," hanya itu yang akhirnya terucap. Jika aku berkata lebih banyak mungkin airmataku siap mengalir sekarang.

Maria tersenyum. Entah dia tahu atau tidak maksud permintaan maafku. Dia mendekat ke arahku lalu menepuk pundakku pelan.

"Yahhhh.. " jeritku kemudian saat Maria mengoleskan krim vanilla ke hidungku.

"Tunggu. Akan ku balas," sebalik. Aku mencolek krim vanilla yang tersisa di atas meja lalu berlari mengejar Maria yang sudah antisipasi kabur dari tempat perkara.

Aku mengejar Maria hingga ke halaman. Makan apa wanita ini kenapa larinya secepat kilat, pikirku.

"Hey, kalian lebih ribut dari anak-anak itu. Apa masa kecil kalian kurang bahagia?" ujar Bu Wida saat Maria berhasil bersembunyi di balik punggungnya saat hampir ku tangkap.

Aku tersenyum miring ke arah Bu Wida lalu mendaratkan secuil krim vanilla di pipinya. Bu Wida terkejut. Tak menyangka jika aku justru berbalik menyerangnya.

Bu Wida pura-pura cemberut. "Padahalkan ibu udah dandan cantik nih," kata Bu Wida sambil mencubit pipiku pelan. Aku meringis. Membuat Maria terbahak. Aku pun ikut tertawa. Rasanya sudah lama tak bisa tertawa selepas ini.

Maria bilang ada kejutan untuk Bu Wida. Ternyata anak beliau satu-satunya akan datang dari Jakarta. Entah mengapa, sejak mendengar cerita dari Bu Wida kemarin, perlahan ada rasa marah yang menyusup di hatiku yang tak bisa ku tahan. Otakku yang seakan menolak untuk bertemu dengan dr.Aqly. Bahkan saat ini mendengar namanya disebut sudah mampu membuat tanganku tremor dan dadaku terasa sesak.

Aku harusnya tak boleh meragukan takdir dan jalan hidup yang sudah Allah gariskan dihidupku dan dr.Zain yang memang tak berjodoh. Tapi tak bisa ku nafikan ada campur tangan dari lelaki yang kini bergelar spesialis jantung itu atas meninggalnya calon suamiku sepuluh tahun silam.

Sesak itu justru membangkitkan lagi luka lamaku. Luka kehilangan cinta pertamaku, dr.Zain. Luka itu diam-diam masih terasa hingga sekarang. Walau sekuat tenaga kutekan untuk melupa.

Luka ini lebih dalam dari saat Zidni meninggalakanku. Mungkin karena memang kami menikah tanpa pondasi cinta. Jadi saat ada badai menerpa, pondasi itu langsung roboh tak bersisa.

Karena cinta perlu dua hati yang saling menguatkan. Dua jari yang saling menggenggam dan dua telinga yang siap menutup terpaan komentar miring di luar sana.

Aku tahu kami berdua salah. Aku dan Zidni, kami hanya saling bertahan untuk saling bersabar menerima kekurangan pasangan. Padahal hubungan yang sehat tak hanya perlu itu. Hubungan yang sebenarnya tak bertahan karena kesabaran, tapi bertahan karena adanya cinta. Cinta dan sabar adalah dua hal yang berbeda.

Banyak hubungan yang bertahan hingga tua karena mungkin salah satu pasangan sangat sabar menerima perlakuan semena-mena dari pasangan.

Bertameng karena ada ikatan pernikahan dia bertahan. Padahal hatinya pun memendam benci, cinta mungkin sudah lama bias dari hatinya. Terlebur oleh benci dalam diam. Hingga jika benci itu berubah dendam akibatnya akan fatal.

Berbeda halnya dengan cinta. Karena cinta kita akan bisa mencipta bahagia meski banyak duka yang dilalui. Cinta tak bisa diperlakukan semena-mena.
Karena jika mencinta kita punya hak untuk memilih tetap bersama atau berpisah.

***

Aku mengurung diri seusai acara hari jadi panti asuhan Al-Ikhlas diadakan. Aku tak ingin memberikan kesempatan untuk dr.Aqly mengobrol denganku. Aku sudah tau dari Maria jika dr.Aqly ingin bicara denganku.

Aku sudah bisa menebak hal apa yang akan dibicarakannya. Meski bibirku sudah menerima permintaan maaf dari Bu Wida saat dia hampir bersimpuh di hadapanku demi kata maaf untuk anaknya, namun jauh di sudut hatiku aku masih tak siap rasanya untuk bertemu dengan dr.Aqly.

Hal ini terlalu mengejutkan buatku. Tak bisa dengan mudah menerima kenyataan jika ternyata nyawa dr.Zain masih bisa diselamatkan andai saja dia tak mengalah dan menuruti perintah dokter bedah agar dia yang menerima operasi pertama, bukannya orang yang telah menyebabkan kecelakaan tersebut.

Andai saja waktu bisa diputar kembali.


***

Makasih banyak yaaa buat kalian yang baca, vote dan komen 😍

Jangan lupa follow akun aku juga ya😁😁☺😇


SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang