Chapter 3

23.1K 1.4K 14
                                    

"Selamat datang kembali, sahabatku", Maria menyambutku saat aku memasuki halaman puskesmas.

Puskesmas Amanah terletak cukup dekat dengan rumah orangtuaku, tempat aku tinggal sekarang setelah berpisah dengan Zidni, mantan suamiku.

Dulu sewaktu masih mahasiswi keperawatan aku juga pernah magang di sini bersama Maria.

"Sha, dari semua puskesmas yang pernah kita jalani praktik di sini yang paling enak ya, Sha. Kakak perawat dan dokternya ramah-ramah semua. Suka bercanda."

"Dan yang paling penting suka traktir makanan", sambungku.

Maria tergelak. "Dasar yang hoby makan. Pikirannya nggak jauh-jauh dari isi lambung."

"Nanti habis lulus aku mau kerja di sini deh, Mar."

"Aku sih ogah. Mau di Rumah sakit aja biar gajinya lebih gede", tukas Maria.

Nasib berkata lain. Justru Maria yang lulus CPNS dan ditempatkan di puskesmas Amanah. Sementara aku cukup beruntung dapat kouta tenaga kontrak di rumah sakit daerah, tempat dr.zain dulu bekerja. Lima tahun aku bekerja di sana sebagai tenaga kontrak sampai akhirnya dipinang dan diboyong Zidni ke kota dan kerja di sana.

Setelah berpisah dengan Zidni rasanya aku tak sanggup masih harus satu kota dengannya. Aku memutuskan untuk melamar menjadi tenaga kontrak di kota kelahiranku.

Dan pilihanku jatuh ke puskesmas Amanah, karena ada Maria di sana.

"Jadi tenaga sukarela di umur 30 tahun nelangsa banget ya aku, Mar".

Maria menepuk bahuku. "Akhir tahun ada penerimaan CPNS entar kamu daftar juga kan. Aku doain ya kamu lulus."

Di saat umur yang sudah menginjak kepala tiga ini, rasanya otak sudah mumet kalo harus disuruh ngerjain soal. Dulu saja waktu ujian kuliah kerjanya nyontek sama Maria. Tapi aku tetap meng-Aminkan ucapannya. Siapa tau ada malaikat lewat dan doa Maria cepat di kabulkan.

"Sha. Jalan sorenya kita tunda dulu gimana. suamiku baru chat katanya Nadia demam. Suruh aku cepat pulang."

"Ya udah, Mar. Nggak papa. Aku juga nggak akan ke mana-mana lagi. Masih banyak waktu kita buat jalan."

Maria menatapku dengan tak enak hati. Akhirnya ia meninggalkanku sendiri di halaman puskesmas. Maria menawarkan untuk mengantarkanku pulang tapi aku menolak.

Jarak yang cukup dekat dengan rumah membuatku lebih memilih untuk jalan kaki. Selain lebih sehat, aku juga nggak mau boros uang hanya untuk beli bensin karena sekarang aku tak punya penghasilan dan hanya nebeng hidup sama orangtua. Aku harus tau diri.

Sebenarnya setiap bulan aku masih menerima transferan dari mantan suami, "Selama kamu masih single dan belum menikah, aku masih merasa kamu adalah tanggungjawabku. Jadi tiap bulan aku akan memberikan kamu uang bulanan seperti biasa. Kamu jangan nolak ya, Sha. Ini hanya sampai kamu menikah koq."

Berulang kali aku menolak, tapi Zidni tetap berkeras mengirimiku uang bulanan.

"Kalo kamu blokir rekening kamu nanti aku datang anterin ke rumah mama lho", ancamnya.

"Gimana dengan istri kamu nanti?"
tanyaku takut istrinya akan cemburu dan membuat masalah baru dalam rumah tangganya nanti.

"Itu urusanku," jawab Zidni tersenyum dengan sorot penuh sesal karena perceraian kami.

***

Aku mengikuti tes CPNS yang diadakan bulan oktober tahun ini. Dan seperti yang ku duga aku kembali tak lulus. Otakku memang tak seencer Maria sejak dulu. Maria memang teman seperjuanganku dari sejak bangku Sekolah dasar. Karena sering ke mana-mana bersama, ibuku sering bilang kami kembar yang terpisah di rahim yang berbeda.

Maria menghiburku dengan mentraktirku semangkok bakso di samping puskesmas.

"Kirain mau di hibur dengan traktiran di restoran, Mar."

"Mahal, Bu. Saya ibu dua balita," timpal Maria. "Mana udah tanggal tua".

Aku terbahak. Maria dengan segala kesederhanaannya. Sosok yang selalu aku kagumi secara diam-diam, tapi kadang juga membuatku iri.

Aku terlahir di keluarga yang meski tak kaya tapi masih berkecukupan. Semua kebutuhanku terpenuhi. Dan meski secara gizi aku tak pernah punya kendala, otakku tetap saja tak secemerlang Maria. Ibu sering membandingkanku dengan Maria yang meski anak yatim dan ibunya hanya seorang buruh cuci, prestasinya selalu membanggakan.

Berkat bantuan Maria juga aku bisa lulus saat tes masuk akademi keperawatan. Andilnya sangat besar dalam hidupku.

Hidupku tadinya nampak sempurna, lulus kuliah keperawatan dan akan segera menikah dengan dokter. Di waktu bersamaan, Maria tengah berjuang untuk tes masuk CPNS di tengah kondisi ibunya yang memburuk di ruang ICU karena penyakit paru-parunya.

Maria dengan segala cobaan hidupnya masih bisa tersenyum dan menghiburku saat dia menjengukku yang terbaring tak berdaya di rumah sakit karena seminggu mogok makan setelah kepergian dr.Zain akibat kecelakaan saat akan berangkat menuju gedung pernikahan kami.

Aku yang merasa dunia seakan runtuh karena kehilangan yang begitu besar, tak mempedulikan kehadiran Maria. Tak sepatah kata pun yang ku jawab dari jutaan tanyanya tentang keadaanku. Aku merasa orang yang paling sengsara di dunia ini. Kehilangan calon suami saat hari pernikahan.

Baru setelah Maria pulang, ibu menghampiriku. Dia usap kepalaku dan berkata, "Sha, ibunya Maria meninggal dua hari yang lalu."

Jatuh air mataku. Sebenarnya mana yang lebih sengsara aku atau Maria. Aku kehilangan calon suami, tapi masih punya ayah dan ibu, keluargaku masih utuh. Semua datang merawatku. Menumpahkan seluruh perhatian agar aku tak bersedih.

Tapi Maria? Dia kehilangan sosok ibu, satu-satunya keluarga yang ia punya. Jangankan ada yang menghibur, uang untuk memakamkan ibunya saja dia harus berhutang ke tetangga.

Hari itu aku kembali merasa terpuruk. bukan menangisi kesedihanku, tapi keegoisanku. Aku benar-benar sahabat yang buruk. Aku jahat. Aku selalu minta untuk diperhatikan tanpa bisa memahami keadaan Maria. Selama ini Maria yang selalu mengalah dan mengutamakan keinginanku.

Keesokan harinya aku mencari Maria ke rumahnya tapi dia tak ada. Aku kalut ke sana kemari menanyakan keberadaannya. Ternyata Maria memilih tinggal di panti asuhan dekat kampus kami dulu. Dia mendaftar menjadi tenaga bantu untuk merawat anak-anak di sana sampai ada pemberitahuan kelulusan CPNS.

Aku ke sana dan memaksanya agar mau tinggal bersama kami, Namun mentah-mentah dia tolak.

"Nggak papa, Sha. Aku di sini aja. aku sudah terlalu banyak merepotkan keluarga kalian. Uang wisuda kemarin aja masih belum bisa aku ganti."

Aku menarik napas panjang, meski sudah berulang kali ku katakan jika uang itu benar-benar cuma-cuma, tapi Maria bersikeras akan menggantinya jika dapat kerja.

***


Makasih buat kalian yang udah kasih vote dan komen ya 🥰🥰🥰

SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang