Aqly baru saja mencuci tangannya begitu selesai melakukan operasi pemasangan ring jantung pada salah satu pasiennya, jam di dinding menunjukkan pukul 10 malam, ketika nada dering dari handphone-nya menggema. Aqly mengambil benda persegi empat panjang berwarna silver itu dari saku snelli-nya.Glabela dokter tersebut mengerut sesaat ketika membaca pesan dari ibunya.
"Siap-siap beli cincin. Ibu udah tak sabar nimang cucu."
Sempat loading sebentar, neuron Aqly dengan cepat mengantarkan impuls ke otaknya. Seketika senyum Aqly langsung merekah. Dia paham maksud sang ibu.
Pesan yang telah dia tunggu sekian lama. Pesan yang membuatnya harap-harap cemas di siang dan malam. Yang membuatnya menunggu sebuah jawaban. Jawaban dari Sha atas lamarannya sebulan yang lalu. Meski dia lebih berharap jawaban itu dia terima langsung dari pihak yang bersangkutan. Tapi tak apa. Toh hasil akhirnya Sha memilih untuk menerimanya. Haru menyebar di setiap pembuluh darahnya. Hingga dia merasakan sesak di dadanya. Sesak karena dentuman bahagia yang menggila.
Dengan cepat dia mengetik pesan balasan kepada ibunya.
"Siap laksanakan!"
Entah kenapa Aqly salah tingkah sendiri setelah selesai membalas pesan dari ibunya. Semampunya dia mencoba menahan senyum di bibirnya tapi tak bisa. Entah bagaimana otot-otot wajahnya semakin berkontraksi untuk menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan menghasilkan sebuah senyuman.
Aqly mengecek jarum jam di arlojinya.Jam 10 malam lewat lima belas menit. Masih sekitar 8 jam lagi menuju pagi. Rasanya dia sudah tak sabar menunggu matahari segera terbit esok hari. Sepertinya malam ini akan menjadi malam terpanjang dalam hidupnya. Padahal dia ingin secepatnya meluncur ke kota kelahirannya. Dia sangat ingin bertemu dengan Sha. Dia sangat merindukan wanita itu. Rindu yang tak pernah bisa dia ungkapkan. Rindu yang hanya dapat dia pendam di palung hatinya. Rindu yang terbiasa dia bisikkan di sepertiga malam saat bermunajat kepada Rabb-Nya. Rindu yang sebentar lagi mungkin akan bermuara di dermaganya.
Sha adalah dermaganya. Pelabuhan terakhir yang selalu dia ingin singgahi. Singgah untuk selamanya. Sampai, mungkin jika Allah mengijinkan, malaikat Izrail memisahkan raga mereka.
Aqly berjalan keluar dari Scrub Station ruang operasi menuju ruang perawat jaga. Dia melangkahkan kaki dengan begitu ringan. Ringan sekali. Seakan semua beban yang selama ini menumpuk di punggungnya telah terangkat begitu saja dan berpendar menjadi selimut malam yang menghangatkan hatinya.
Dua staf perawat jaga yang sibuk mengoplos obat injeksi, sontak ternganga, heran tak habis pikir dengan tingkah laku Aqly yang nampak tiada henti menunjukkan duchenne smile-nya, padahal dia baru saja bergelut di ruang operasi tiga jam lamanya. Sungguh moment langka. Tak ada wajah tegang Aqly yang lebih terbiasa terlihat jika dia selesai menghadapi operasi besar.
Sarah bahkan harus mengucek matanya berkali-kali. Takut salah lihat kalau-kalau yang tengah berjalan ke arah mereka itu salah satu penghuni kamar mayat. Sarah sampai merinding.
"Bella, coba cek di rekam medis yang barusan Dokter Aqly operasi tadi cewek apa cowok. Jangan-jangan cewek cantik sejenis Song Hye kyo. Sampai dia macam orang sawan gitu habis selesai operasi. Senyum-senyum nggak jelas," sangsi Sarah.
Bella menoyor kening Sarah. "Jangan ngomong aneh-aneh deh. Kan yang nganter pasien ke OK tadi Kamu."
Sarah meringis. "Iya..ya," jawab Sarah. Memutar bola matanya ke atas.
Mengingat-ingat usia wanita paruh baya yang menjadi pasien Dokter Aqly hari ini. Menyadari kekeliruan asumsinya Sarah ngikik.
Sarah meletakkan telapak tangannya ke dada. Merasakan debur jantungnya.
"Duh lihat senyum Dokter Aqly gitu makin meleyot deh." Sarah berlagak akan pingsan.
"Besok kita cek EKG sama-sama aja, Sar. Sumpah tuh dokter spesialis jantung emang hobi bikin jantung anak gadis orang jantungan," gerutu Bella.
Aqly bisa mendengar jelas percakapan Bella dan Sarah, dua staf perawat jaga malam itu. Tapi dia abaikan. Setelah menyapa mereka berdua dan ijin pamit untuk pulang, Aqly melangkah semakin cepat menuju lift.
Saat tiba di parkiran dia berhenti sejenak di depan mobilnya dan bersandar di samping jendela mobilnya. Menatap langit malam yang tak berbintang. Namun seonggok bulan purnama menyinari pandangannya. Membuat malamnya semakin terasa begitu indah.
Sebaris doa dia rapalkan. Sebagai tanda syukur atas semua anugerah yang dia terima. Setetes airmata tak mampu dia bendung mengalir dari kelenjar lakrimalis-nya. Tapi bahkan dia tak berniat menghapusnya. Airmata ini akan jadi saksi kebahagiaan dan kesyukurannya.
"Terimakasih ya Allah. Aku tahu Engkau tak pernah mengabaikan doa-doa hamba."
♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
SHA (Completed)
Chick-Lit"Udah punya pacar?" tanya dr. Zain sambil masih fokus mengisi rekam medis pasien. Malah aku yang dibuatnya gagal fokus. Apa aku tak salah dengar. dr.Zain bercanda kali. "Be..belum.." jawabku terbata. "Calon suami?" Lah, pacar saja tak punya apalagi...