Chapter 11

14.4K 1.2K 25
                                    

Aku kaget  saat menemui rumah  ibu Melinda  kosong. Pintu  pagar dikunci.  aku  berulang kali menelpon Bu   Melinda   untuk    mengetahui   apa    yang    terjadi    tapi    tak   sekalipun   dia mengangkatnya.

Setengah jam aku seperti orang  linglung didepan rumah Bu Melinda. Hingga ada  seorang tetangga yang menghampiriku dan mengatakan jika tadi pagi Syifa di larikan lagi ke rumah  sakit karena tak sadarkan diri.

Rasanya  kakiku   tak   lagi   menginjak  bumi.   Jantungku  berdebar  hebat.  Terbayang  wajah kesakitan  Syifa.  Apa   yang  aku  lakukan? Kenapa aku  meninggalkannya  di  saat kondisinya memburuk? Serbuan rasa sesal melesak bagai anak panah mengejar pikiranku.

Dengan gemetar aku mengeluarkan handphone dari dalam tas kecilku. Membuka aplikasi layanan ojek online. Sepuluh menit waktu yang kuhabiskan untuk menunggu ojol itu tiba, rasanya bagai berabad-abad. Aku sampai berdoa agar tumbuh sayap di punggungku agar aku bisa terbang dan segera menemui Syifa.

Aku  tiba   di  rumah   sakit  dengan  berlari   seperti  dikejar   setan  setelah  turun   dari  motor. Bahkan driver ojol sampai berteriak padaku karena aku lupa mengembalikan helm miliknya yang kupakai bahkan lupa bayar.

Setelah berulang kali meminta maaf pada sang driver, aku kembali ambil langkah seribu dan tiba di depan resepsionis, menanyakan dengan tergesa kepada resepsionis berbaju merah itu nomor  ruangan Syifa. Ternyata Syifa di rawat di ruang  ICU.

Di depan pintu  ruang   ICU  bisa ku  lihat  Faiz  dalam gendongan  neneknya. Beliau datang  setelah  tahu   kondisi  Syifa  yang   memburuk.  Aku  juga  melihat   beberapa  keluarga Bu Melinda   lainnya.   Semua  datang untuk   memberikan  dukungan  moril  untuk   Bu Melinda   saat menghadapi kemungkinan apa saja yang akan terjadi pada putri semata wayangnya.

"Masuklah, Sha. Syifa nunggu kamu di dalam," ucap Melinda saat keluar dari ruang  ICU dan melihatku berdiri termangu tak jauh dari pintu.

Aku menatap Bu Melinda heran. Bagaimana dia tahu jika aku ada di luar. Rupanya salah satu kerabat Bu Melinda yang memberitahunya lewat WhatsApp mengenai kedatanganku.

Karena  hanya  boleh satu orang  yang menunggu pasien didalam, kami harus bergantian jika ingin masuk ke dalam ruangan ICU, terpaksa Bu Melinda keluar agar aku bisa masuk ke dalam dan menemui Syifa.

"Makasih, Bu," ucapku terharu karena Bu Melinda memberikanku kesempatan untuk bertemu Syifa. Padahal kami sama-sama tak tahu kapan mungkin  Syifa akan mengakhiri perjuangan hidupnya. Mungkin hari ini, jam ini bahkan mungkin saat ini adalah menit-menit terakhirnya.

Ketakutan kami menjadi kenyataan. Tepat  beberapa  saat  setelah aku  masuk untuk  menemui Syifa. Syifa menghembuskan nafas terakhirnya. Padahal aku baru saja bisa menyentuh tangan mungilnya. Tangan mungil yang ku genggam dengan lembut. Jemarinya terlihat begitu rapuh, sehingga aku tak berani menggenggamnya dengan erat.

Untuk terakhir kalinya ku belai tangan mungil itu dengan membisikkan kata-kata cintaku untuknya. Juga rindu. Ya, aku bahkan sudah merindukan gadis kecil itu saat ini. Aku rindu senyumnya yang cantik. Tatap matanya yang sayu namun menenangkan. Aku rindu celotehannya jika kami bermain. Aku bahkan rindu saat dia menangis di pelukanku ketika sakit di dadanya terasa.

Kami kehilangan gadis  kecil  itu.

Pandanganku mengabur saat  ku  lihat  satu persatu alat  yang  selama  ini menopang hidup Syifa  dilepaskan. Satu persatu juga bulir airmata merembes turun ke pipiku.

Perawat memintaku untuk beristirahat di luar. Aku menolak. Aku menangis histeris sejadi-jadinya dan berontak saat tangan-tangan kukuh yang berusaha menarikku ke luar dari ruangan. Tapi apa dayaku. Tubuhku yang seakan kehilangan daya, dengan mudahnya berhasil diseret keluar.

Bu Melinda memelukku erat. Saat aku terduduk jatuh ke lantai sambil meraung.

"Ikhlaskan dia, Sha. Syifa sudah bahagia di Syurga sekarang," lirih Bu Melinda.

Walau  aku coba menahannya, isak tangis itu tak jua mau reda. Harusnya sekarang aku yang menghibur Bu Melinda.  Tapi kondisiku saat ini tak memungkinkan. Aku juga terjebak oleh rasa kehilangan. Bagaimanapun aku sudah menganggap Syifa  sebagai anakku sendiri.

Aku bersandar di kursi tunggu setelah Bu Melinda memintaku menunggunya di sana sampai dia selesai mengurus keperluan pemulangan jenazah Syifa.

Telingaku berdenging keras. Sepertinya aku mau  pingsan. Aku ingat sejak pagi belum  makan apapun karena sibuk dengan urusan Nina. Nampaknya aku mengalami hipoglikemia, tapi aku acuhkan. Aku lebih disibukkan dengan airmata yang sungguh tak mau  berhenti mengalir dari kelenjar lakrimalisku.

Rasa pusing mendera ku. Aku  memejamkan mata berusaha mengurangi tekanan rasa itu. Tapi ketika hanya gelap yang ku lihat saat menutup mata, otakku mengulang kembali memoriku bersama Syifa. Begitu nyata seperti benar-benar terjadi sekarang. Ku nikmati bayang-bayang semua itu. Untuk sekedar menenangkan jiwa tapi justru airmataku semakin deras tercurah.

Aku tak tahu berapa lama aku tenggelam dalam tangis. Rasanya detik waktu berjalan begitu lambat.

Saat membuka mata aku  terkejut  mendapati dr.Aqly, tengah berdiri  di hadapanku dan  menyodorkan sekotak coklat.

"Makanlah. kamu pasti lapar habis nangis!"

***


Makasih banyak yaaa buat kalian yang baca, vote dan komen 😍

Jangan lupa follow akun aku juga ya😁😁☺😇

SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang