Aku kaget saat menemui rumah ibu Melinda kosong. Pintu pagar dikunci. aku berulang kali menelpon Bu Melinda untuk mengetahui apa yang terjadi tapi tak sekalipun dia mengangkatnya.
Setengah jam aku seperti orang linglung didepan rumah Bu Melinda. Hingga ada seorang tetangga yang menghampiriku dan mengatakan jika tadi pagi Syifa di larikan lagi ke rumah sakit karena tak sadarkan diri.
Rasanya kakiku tak lagi menginjak bumi. Jantungku berdebar hebat. Terbayang wajah kesakitan Syifa. Apa yang aku lakukan? Kenapa aku meninggalkannya di saat kondisinya memburuk? Serbuan rasa sesal melesak bagai anak panah mengejar pikiranku.
Dengan gemetar aku mengeluarkan handphone dari dalam tas kecilku. Membuka aplikasi layanan ojek online. Sepuluh menit waktu yang kuhabiskan untuk menunggu ojol itu tiba, rasanya bagai berabad-abad. Aku sampai berdoa agar tumbuh sayap di punggungku agar aku bisa terbang dan segera menemui Syifa.
Aku tiba di rumah sakit dengan berlari seperti dikejar setan setelah turun dari motor. Bahkan driver ojol sampai berteriak padaku karena aku lupa mengembalikan helm miliknya yang kupakai bahkan lupa bayar.
Setelah berulang kali meminta maaf pada sang driver, aku kembali ambil langkah seribu dan tiba di depan resepsionis, menanyakan dengan tergesa kepada resepsionis berbaju merah itu nomor ruangan Syifa. Ternyata Syifa di rawat di ruang ICU.
Di depan pintu ruang ICU bisa ku lihat Faiz dalam gendongan neneknya. Beliau datang setelah tahu kondisi Syifa yang memburuk. Aku juga melihat beberapa keluarga Bu Melinda lainnya. Semua datang untuk memberikan dukungan moril untuk Bu Melinda saat menghadapi kemungkinan apa saja yang akan terjadi pada putri semata wayangnya.
"Masuklah, Sha. Syifa nunggu kamu di dalam," ucap Melinda saat keluar dari ruang ICU dan melihatku berdiri termangu tak jauh dari pintu.
Aku menatap Bu Melinda heran. Bagaimana dia tahu jika aku ada di luar. Rupanya salah satu kerabat Bu Melinda yang memberitahunya lewat WhatsApp mengenai kedatanganku.
Karena hanya boleh satu orang yang menunggu pasien didalam, kami harus bergantian jika ingin masuk ke dalam ruangan ICU, terpaksa Bu Melinda keluar agar aku bisa masuk ke dalam dan menemui Syifa.
"Makasih, Bu," ucapku terharu karena Bu Melinda memberikanku kesempatan untuk bertemu Syifa. Padahal kami sama-sama tak tahu kapan mungkin Syifa akan mengakhiri perjuangan hidupnya. Mungkin hari ini, jam ini bahkan mungkin saat ini adalah menit-menit terakhirnya.
Ketakutan kami menjadi kenyataan. Tepat beberapa saat setelah aku masuk untuk menemui Syifa. Syifa menghembuskan nafas terakhirnya. Padahal aku baru saja bisa menyentuh tangan mungilnya. Tangan mungil yang ku genggam dengan lembut. Jemarinya terlihat begitu rapuh, sehingga aku tak berani menggenggamnya dengan erat.
Untuk terakhir kalinya ku belai tangan mungil itu dengan membisikkan kata-kata cintaku untuknya. Juga rindu. Ya, aku bahkan sudah merindukan gadis kecil itu saat ini. Aku rindu senyumnya yang cantik. Tatap matanya yang sayu namun menenangkan. Aku rindu celotehannya jika kami bermain. Aku bahkan rindu saat dia menangis di pelukanku ketika sakit di dadanya terasa.
Kami kehilangan gadis kecil itu.
Pandanganku mengabur saat ku lihat satu persatu alat yang selama ini menopang hidup Syifa dilepaskan. Satu persatu juga bulir airmata merembes turun ke pipiku.
Perawat memintaku untuk beristirahat di luar. Aku menolak. Aku menangis histeris sejadi-jadinya dan berontak saat tangan-tangan kukuh yang berusaha menarikku ke luar dari ruangan. Tapi apa dayaku. Tubuhku yang seakan kehilangan daya, dengan mudahnya berhasil diseret keluar.
Bu Melinda memelukku erat. Saat aku terduduk jatuh ke lantai sambil meraung.
"Ikhlaskan dia, Sha. Syifa sudah bahagia di Syurga sekarang," lirih Bu Melinda.
Walau aku coba menahannya, isak tangis itu tak jua mau reda. Harusnya sekarang aku yang menghibur Bu Melinda. Tapi kondisiku saat ini tak memungkinkan. Aku juga terjebak oleh rasa kehilangan. Bagaimanapun aku sudah menganggap Syifa sebagai anakku sendiri.
Aku bersandar di kursi tunggu setelah Bu Melinda memintaku menunggunya di sana sampai dia selesai mengurus keperluan pemulangan jenazah Syifa.
Telingaku berdenging keras. Sepertinya aku mau pingsan. Aku ingat sejak pagi belum makan apapun karena sibuk dengan urusan Nina. Nampaknya aku mengalami hipoglikemia, tapi aku acuhkan. Aku lebih disibukkan dengan airmata yang sungguh tak mau berhenti mengalir dari kelenjar lakrimalisku.
Rasa pusing mendera ku. Aku memejamkan mata berusaha mengurangi tekanan rasa itu. Tapi ketika hanya gelap yang ku lihat saat menutup mata, otakku mengulang kembali memoriku bersama Syifa. Begitu nyata seperti benar-benar terjadi sekarang. Ku nikmati bayang-bayang semua itu. Untuk sekedar menenangkan jiwa tapi justru airmataku semakin deras tercurah.
Aku tak tahu berapa lama aku tenggelam dalam tangis. Rasanya detik waktu berjalan begitu lambat.
Saat membuka mata aku terkejut mendapati dr.Aqly, tengah berdiri di hadapanku dan menyodorkan sekotak coklat.
"Makanlah. kamu pasti lapar habis nangis!"
***
Makasih banyak yaaa buat kalian yang baca, vote dan komen 😍
Jangan lupa follow akun aku juga ya😁😁☺😇
![](https://img.wattpad.com/cover/245171466-288-k851463.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SHA (Completed)
Chick-Lit"Udah punya pacar?" tanya dr. Zain sambil masih fokus mengisi rekam medis pasien. Malah aku yang dibuatnya gagal fokus. Apa aku tak salah dengar. dr.Zain bercanda kali. "Be..belum.." jawabku terbata. "Calon suami?" Lah, pacar saja tak punya apalagi...