"Nina kamu kenapa?" tanyaku saat mendapati Nina dengan wajah pucat menghampiriku ke kamar Syifa.
"Cekkan tekanan darah Nina ya, Ka. Rasanya kepala Nina pusing banget."
Nina memijat-mijat keningnya. Matanya terpejam seakan menahan sakit. Wajahnya benar-benar terlihat pucat.Sigap aku mencari tensimeter digital yang memang disediakan ibu Melinda jika sewaktu-waktu diperlukan.
"Lebih baik kamu berbaring di sini!" Aku mengarahkan agar Nina berbaring di tempat tidurku.
Nina menuruti perintahku. Dia berjalan amat pelan ke tempat tidur.
"Kamu sudah makan?" tanyaku pada Nina ditengah pemeriksaan yang aku lakukan.
Aku menunggu jawaban Nina sambil terus fokus ke layar kecil pada alat tensimeter digital yang akan menampilkan angka tekanan darah Nina.
"Sudah semingguan ini Nina kurang nafsu makan, Ka," jawab Nina.
Keningku mengernyit. Ku perhatikan tubuh Nina. Benar. Tubuh Nina nampak kurusan dari biasanya. Kenapa aku baru menyadarinya. Aku selama ini kurang memperhatikan Nina karena sibuk menunggui Syifa di rumah sakit.
Hasil pemeriksaan ternyata tekanan darah Nina 90/60 mmHg. Rendah sekali.
"Kamu lagi haid?"
Mungkin Nina lagi kurang darah karena haid, terkaku.Nina menggeleng.
"Gejala apalagi yang kamu rasakan, Nina?" Aku tak bisa menyembunyikan kekhawatiranku dengan kondisi Nina.
Aku tak ingin dia sakit yang aneh-aneh. Semoga hanya masuk angin atau memang maagnya lagi kambuh. Karena Nina memang doyan sekali makanan asam dan pedas. Sesekali aku ingatkan tapi dia tetap ngeyel.
"Mual, Ka."
"Sejak kapan?" tanyaku.
Nina menerawang ke atas langit-langit. "Sekitar semingguan juga," jawabnya kemudian.
Aku akan kembali bertanya saat Nina berdiri dan berlari ke kamar mandi.
Aku mengikuti Nina hingga ke depan pintu kamar mandi. Aku bisa mendengar suara kerasnya
saat muntah."Nina, kamu baik-baik saja?" teriakku dari luar. Khawatir.
Aku menggigit bibir bawah. Jantungku terasa berdebar. Kegugupan menjalariku. Ada pikiran ganjil yang melintas dipikiranku. Tapi segera ku halau. Aku tak ingin berburuk sangka pada Nina.
Untunglah malam itu Faiz sudah tidur, sehingga aku bisa lebih lama membantu Nina menghilangkan rasa mualnya dengan menggosokkan minyak kayu putih ke punggung dan perutnya. Juga membuatkannya secangkir teh manis.
Setelah bersendawa beberapa kali, Nina bilang tubuhnya agak enakan. Ia bilang ingin kembali ke kamar dan segera tidur. Takut juga kalo Faiz bangun dan menangis keras karena tak mendapati Nina disisinya.
Saat Nina akan menutup pintu kamar, aku kembali mendekatinya, dan berucap sangat pelan. Bahkan telingaku sendiri hampir tak bisa mendengarnya.
"Nina kamu udah dapat mens bulan ini?"
Langkah kaki Nina terhenti. Dia urung membuka pintu.
Ragu dia menoleh ke arahku.
"Kenapa?" tanyanya getir. Sikapnya berubah gelisah.
Ku perhatikan Nina memuntir-muntir ujung bajunya. Keringat dingin mengucur perlahan dari keningnya.
Nina tak mau menatapku.
Ku raih tangan dingin Nina.
"Ada sesuatu yang ingin kamu katakan?" pancingku. Suaraku bergetar. Gamang jika jawaban Nina tegak lurus dengan dugaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHA (Completed)
ChickLit"Udah punya pacar?" tanya dr. Zain sambil masih fokus mengisi rekam medis pasien. Malah aku yang dibuatnya gagal fokus. Apa aku tak salah dengar. dr.Zain bercanda kali. "Be..belum.." jawabku terbata. "Calon suami?" Lah, pacar saja tak punya apalagi...