Menerima kenyataan jika Bu Melinda dan Pak Rico telah bercerai, membuatku teringat dengan mantan suamiku, Zidni. Bahtera rumah tangga kami karam hanya karena tak hadirnya sang buah hati. Kami harus berpisah padahal sama-sama masih ingin bertahan.
Nasib di dunia ini memang tak ada yang tahu. Banyak pasangan yang sangat mendambakan buah hati tapi setelah bertahun menikah tak jua mendapatkannya.
Tak sedikit usaha, waktu dan biaya yang mereka curahkan agar bisa mendapatkan kehamilan. Ada keringat, airmata dan darah yang mereka rasakan.
Di lain sisi justru banyak buah hati yang tersia-sia dari orangtua yang tak bertanggungjawab. Mereka tak ingin anak itu hadir dalam hidup mereka. Bahkan mulai dari masa pembentukan embrio banyak yang ingin menggugurkannya. Di buang ketika baru lahir ke bumi. Ditelantarkan karena faktor ekonomi. Apapun alasan di balik semua itu, tak bisa diterima baik di mata hukum maupun agama.
Hari itu aku mengunjungi Nina di ruang kebidanan rumah sakit. Dia mengatakan sudah diperbolehkan oleh dokter pulang hari itu.
"Nina nggak tahu harus ke mana, Ka. Nina nggak mau pulang ke kampung dengan membawa aib untuk orangtua. Nina mau mencari pekerjaan lagi aja di kota ini."
Aku tercenung. Kondisi Nina yang masih nampak lemah tak akan memungkinnya untuk bekerja. Bahkan wajahnya masih nampak anemis.
Ibu hamil memang sangat rentan mengalami anemia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi, seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Saat mengalami anemia, darah tidak memiliki sel darah merah yang cukup sehat untuk mengangkut oksigen ke jaringan Ibu dan kepada janin.Aku kasihan melihat Nina. Tak seperti wanita hamil kebanyakan yang menyambut berita kehamilannya dengan luapan sukacita, Nina justru hanyut dalam arus duka. Bapak Rico benar-benar lepas tangan. Ia menolak bertanggungjawab. Bahkan mengelak dengan berkata jika janin dalam rahim Nina bukan anaknya.
Lama aku berpikir untuk mencarikan tempat bernaung sementara untuk Nina sebelum dia berhasil mendapatkan pekerjaan. Tiba-tiba aku teringat ibuku. Aku menelpon beliau. Ku jelaskan keadaan Nina. Ibuku ternyata bisa menerima dan bersedia menampung Nina untuk sementara waktu sampai kondisinya sehat kembali.
Kuutarakan maksud hatiku untuk meminta Nina tinggal bersama ibuku. Awalnya dia menolak, tapi akhirnya luluh juga setelah aku bujuk dengan setengah memaksa. Nina bersedia ikut denganku untuk pulang ke rumah ibu.
"Anggap saja rumah sendiri. Ibu senang sekarang ada teman di rumah. Rumah ini sangat sepi sejak kepergian Sha. Dia jarang sekali pulang ke rumah. Padahal ibunya kangen."
Aku tahu ibu setengah menyindirku. Aku hanya bisa memeluk ibu dan merayunya agar tak lagi cemberut.
"Ini nomor temanku. Namanya Maria. dia bekerja di puskesmas dekat sini. Jika ada perlu apa-apa kamu hubungi saja dia, ya!" ucapku pada Nina saat aku akan pergi meninggalkan rumah. Aku juga sudah memberitahu Maria tentang keberadaan Nina dan kondisinya sekarang.
Ku peluk Nina untuk membesarkan hatinya. Aku tahu dia tengah berada di titik terendah dalam hidupnya. Dia mungkin akan susah payah mengembalikan semangat hidupnya.
Dia perlu dukungan dari orang-orang sekitar agar hidup yang akan dia jalani berikutnya tak akan lagi menjerumuskannya ke kesalahan yang baru. Kesalahan yang akan dia sesali seumur hidup. Anak dalam kandungannya memerlukannya untuk tetap menyayanginya selama dia berada di rahimnya. Untuk itu Nina memerlukan pikiran yang tetap waras.
***
Makasih banyak yaaa buat kalian yang baca, vote dan komen 😍
Jangan lupa follow akun aku juga ya😁😁☺😇

KAMU SEDANG MEMBACA
SHA (Completed)
Chick-Lit"Udah punya pacar?" tanya dr. Zain sambil masih fokus mengisi rekam medis pasien. Malah aku yang dibuatnya gagal fokus. Apa aku tak salah dengar. dr.Zain bercanda kali. "Be..belum.." jawabku terbata. "Calon suami?" Lah, pacar saja tak punya apalagi...