Extra Part (Wedding)

17.3K 1K 32
                                    

Ibu menggenggam tanganku saat ijab kabul diucapkan. Aku bisa merasakan bukan hanya aku yang mengalami kegugupan luar biasa. Ibu pun sama. Jemarinya terasa dingin seperti jemariku. Meski ini bukan kali pertama aku menjalani prosesi sakral pernikahan, namun momen kali ini membuat jantungku jutaan kali bertalu lebih kencang.

Detik-detik mendebarkan yang kembali ku lalui bersama ibu. Saat namaku disebutkan dalam proses ijab kabul.

Dan teriakan 'Sah' dari para saksi yang hadir juga ibu bisikkan di telingaku. Ibu mencium kedua pipiku. Ibu menangis tapi dia justru melontarkan padaku kalimat, "Jangan nangis nanti make-upnya jelek."

Bu Wida menghampiri kami berdua. Ibu dan besannya itu saling lempar senyum haru. Dan tanpa aba-aba mereka memelukku bersamaan.

Aku bisa merasakan tubuh Bu Wida bergetar. Saat dia melepas pelukannya, airmata masih menganak sungai di pelupuk matanya. Dia meraih tanganku sesaat kemudian meski tak ada kata yang terlontar, tatap matanya menunjukkan keharuan berpadu emosi bahagia. Aku hanya terdiam. Terlalu banyak hal yang ingin ku katakan justru membuat bibirku kelu. Seperti Maria, aku sudah menganggap Bu Wida sebagai ibu kedua bagiku. Tapi Allah yang Maha Mengatur benar-benar mengatur skenario luar biasa hingga wanita paruh baya yang kini masih setia menggenggam tanganku itu saat ini telah secara sah di depan agama dan hukum sebagai orangtuaku.

"Makasih, Bu. Ibu mau menerima segala kekurangan Sha," lirihku. Dadaku terasa sesak. Mengingat kejujuran yang aku ucapkan pada hari Aqly akan melamar ku. Aku mengidap PCOS atau Polycystic Ovary Syndrome yang mempengaruhi tingkat kesuburanku. Dan itu menjadi salah satu alasan perceraianku dengan mantan suamiku dulu. Kami gagal memperoleh keturunan meski sudah menempuh jalur inseminasi buatan.

Aku seorang wanita yang tak sempurna.
Aku yakin tak semua orang akan bisa menerima kekuranganku itu. Meski dulu Zidni berusaha meyakinkan ku jika kami bisa melalui semua proses untuk mendapatkan buah hati, tapi tekanan datang dari mantan ibu mertuaku yang justru memiliki keyakinan jika semua itu hanya membuang waktu, tenaga dan menghabiskan biaya yang tak sedikit.

Seringkali mantan mertuaku itu mendatangiku secara diam-diam saat Zidni pergi bekerja, mulai dari hanya berupa kalimat sindiran halus sampai komentar nyinyir tentang ketidaksuburanku.

Lintasan trauma itu yang kemarin membuatku kalut. Meski Bu Wida selalu memperlakukan aku dengan baik, tapi bagaimana jika suatu hari nanti dia tetap menuntut ingin mempunyai keturunan yang sah dari Aqly sedangkan aku tak bisa mewujudkannya.

"Kamu nggak usah khawatir, Sha. Kamu tahu kenapa kami mendirikan panti asuhan ini?" Bu Wida lalu mulai menceritakan jika dulu pernikahannya dengan sang suami juga tak berjalan mulus. Lima tahun pernikahan tak juga memperoleh keturunan. Tetangga sering mengolok-ngoloknya sebagai wanita mandul. Dan menakut-nakutinya jika nanti sang suami akan mencari istri lain.

Bu Wida di vonis menderita Endometriosis. Membuatnya sempat depresi. Tapi berkat dorongan dari sang suami yang tak mau menyerah, membuat Bu Wida kembali bangkit. Berbagai pengobatan dan jalur alternatif di tempuh. Puasa senin Kamis, shalat sunah, sedekah, hingga mereka bernazar akan mendirikan panti asuhan jika berhasil hamil. Dan Allah menghijabah doa dan usaha mereka. Bu Wida berhasil hamil di tahun ke delapan usia pernikahan mereka.

Tapi ujian tak hanya sampai di situ. Saat Aqly lahir, hampir saja Pak Karim kehilangan istrinya karena Bu Wida mengalami Eklamsi di usia kehamilannya yang baru menginjak bulan ke delapan. Sehingga dokter memutuskan melakukan terminasi kehamilan karena Bu Wida beberapa kali kejang. Tindakan Sectio Caesaria dilakukan. Anak mereka lahir prematur.

Dua bulan mereka habiskan bolak balik rumah sakit karena anak mereka harus di rawat intensif di ruang NICU atau Neonatal Intensive Care Unit, ruang perawatan untuk bayi yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus guna mencegah dan mengobati terjadinya kegagalan organ-organ vital, disebabkan kelahiran prematur dengan kondisi organ tubuh yang belum sempurna dan berat badan lahir rendah. Saat itu anak mereka mengalami masalah pernapasan yang cukup berat.

Mendengar cerita itu mau tak mau membuatku tersungkur di pangkuan Bu Wida. Aku merasa malu. Bu Wida yang selalu nampak ceria ternyata menyimpan banyak cerita hidup yang getir.

Bu Wida yang menguatkan aku agar tak perlu merasa rendah diri dengan kondisi kesehatanku. Ribuan wanita di luar sana juga banyak mengalami hal yang sama dengan yang aku alami saat ini. Keluarganya siap menerima konsekuensi ke depannya jika ternyata rahimku memang tak bisa menghasilkan keturunan.

"Yang disebut anak tak hanya dia yang lahir dari rahim kita. Lihatlah puluhan anak yang kita rawat selama ini. Mereka lahir tapi tak ada yang ingin mengakui eksistensi mereka di dunia ini. Mereka tak punya orangtua sebagai tempat berlindung. Tak ada keluarga yang memberikan kasih dan cinta. Jika bukan kita yang bermurah hati lalu siapa lagi."
Bu Wida kembali tersenyum. Senyum yang tak pernah lekang dari wajahnya. "Kalian boleh membawa salah satu dari mereka jika kalian ingin."

Ya, salah syarat dari Aqly jika kami menikah adalah aku akan ikut ke mana pun dia bertugas nantinya. Tentu aku tak akan bisa tinggal di panti asuhan ini lagi.

Setelah berbagai pertimbangan dan tukar pikiran antar pihak keluarga aku menerima perjodohan itu.
Dan tibalah hari ini. Hari yang akan menyatukan dua keluarga yang sebelumnya tak ada ikatan apa-apa.
Bu Wida memberi isyarat agar aku berdiri.

"Ayo kita ke depan!" ajaknya menuntunku ke tengah aula mesjid tempat Aqly duduk berhadapan dengan bapak penghulu.

Bu Wida tahu jika aku grogi saat Aqly menatap ke arahku. Dia melingkarkan tangannya di pundakku dan mengusap-usap lembut. Aku menunduk, menatap karpet abu-abu polos yang kupijak  seketika berubah motif menjadi bunga warna-warni. Lonjakan serotonin membuatku seakan berhalusinasi.

"Nggak pa-pa tatap-tatapan kan sekarang udah sah," ucap Bu Wida di depan telingaku. Entah niat hati Bu Wida berbisik atau tidak, suaranya cukup jelas terdengar hingga membuat orang-orang di sekitarmu tertawa.
Baik aku maupun Aqly di buat salah tingkah.

Aku dipersilakan Bapak Penghulu duduk di samping calon suamiku, oh astaga lima menit yang lalu lelaki berbaju serba putih ini telah sah menjadi suamiku. Aih, pipiku langsung merona. Refleks aku menyentuh pipiku. Hangat. Aku pikir aku tak sedang demam. Tapi...

"Sha.. "

"Sha.. "

"Sha.. "

Aku mendongak. Wajah Aqly tepat di depan wajahku. Aku terjengit dan sontak memundurkan wajah. Menatapnya dengan tatap bingung. Dia mau apa, pikirku.

"Kamu melamun ya?" tanyanya dengan tatap tanya di balik senyum manis yang menghias di wajahnya.

Rupanya dari tadi aku tak mendengar dia memanggilku. Bahkan hingga tiga kali. Aku menatapnya tak enak. Astaga bisa-bisanya aku tak fokus di saat seperti ini. Sepertinya aku perlu secangkir teh panas agar otakku tak lagi beku.

"Aku mau baca doa pengantin," ucap Aqly lembut. Dia tak berhenti mencari arah pandangku. Karena aku hanya menunduk sesekali melempar pandang pada para tamu. Tak ingin menatap ke arahnya.

Bisa ku lihat di tengah barisan tamu yang duduk di bagian depan ada Maria yang penuh semangat menjepretkan kamera ke arah kami. Dia melambai antusias dan melemparkan finger heart ke arahku saat aku melihat ke arahnya. Dasar Maria. Bisa-bisanya dia melakukan itu di tengah orang banyak.

Akhirnya ku beranikan diri untuk memandang ke arah lelaki di depanku. Bahkan otakku seperti masih tak percaya jika sekarang kami sudah sah sebagai suami istri. Tenggorokanku seperti tercekat saat ingin membalas ucapan Aqly yang menyebutku dengan satu kata ajaib. ‘Istri’.

Darahku berdesir. Hatiku ketar-ketir. Dan tanpa sadar aku tersenyum ke arahnya.

Aqly tersenyum tipis melihat reaksi terkejutku. Astaga senyumnya semakin membuat jantungku cenat cenut.
Aqly meletakkan telapak tangannya di puncak kepalaku sambil mengusap pelan, seraya berdoa, “Allahumma inni as-aluka khairaha wa khaira maa jabaltaha alaihi, wa audzubika min syarriha wa syarri maa jabaltaha alaihi.”

“Ya Allah, aku memohon dari-Mu kebaikan istriku dan kebaikan dari tabiat yang Kau simpankan pada dirinya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan istriku, dan keburukan dari tabiat yang Kau simpankan pada dirinya.”

***










SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang