Chapter 2

26.8K 1.6K 61
                                    

Hari akad nikah tiba. Aku duduk dengan gelisah menanti kedatangan dr.Zain dan keluarganya. Tak hanya aku, ibu, ayah, keluarga dan tamu undangan pun menanti dengan tak sabar peristiwa sakral yang akan segera terjadi.

Detik berganti menit. Menit berganti jam. Sudah lewat satu jam dari jadwal yang direncanakan untuk pengucapan ijab kabul. Semua semakin gelisah saat om Hardi, adik dari ayahnya dr.Zain datang dengan wajah pucat.

Ayah setengah berlari menghampiri Om Hardi.

Sungguh aku bisa melihat ketakutan yang nyata di wajah Om Hardi. Pun juga wajah-wajah penuh kecemasan dari orang-orang disekitarku. Mereka semua nampak sepertiku tak sabar mendengar apa yang akan disampaikan oleh om Hardi saat itu.

***

Aku terpaku di depan nisan makam bertuliskan nama Dr.Zain Fikri. Rerumputan nampak mulai tumbuh tinggi disekitar makam itu. Sudah tiga tahun lebih aku tak berkunjung ke sini. Setetes air mata meluncur cepat ke pipiku tanpa bisa ku cegah.

Rasanya baru kemarin aku bisa tertawa dan bercanda bersama dr.Zain saat kami fitting baju pengantin.

Rasanya baru kemarin aku menerima chat mesranya yang bilang akan membawaku honeymoon ke Paris.

Rasanya baru kemarin dia tiba-tiba saja datang ke rumahku membawakan nasi goreng kesukaanku, dan bilang ia terlalu rindu. Masa pingitan terlalu lama.

Tapi sosok yang kini tengah berbaring tenang di alam lain itu sudah tak ada lagi. Telah 8 tahun kami berpisah. Tapi bayangannya masih lekat di pelupuk mataku.

***

Ibu menatapku haru. ia menubruk tubuhku dan memelukku erat.

"Maaf Nak, maaf kan Ibu. Semua salah Ibu. Ibu pantas Kamu benci."

Aku melepaskan pelukan ibu, ku tangkupkan kedua belah tanganku ke wajahnya. Ku hapus basah airmata yang mengalir di pipinya. Ku kecup kedua pelupuk matanya.

"Nggak ada yang salah, Bu. Semua sudah takdir Sha, Bu. Sha ikhlas menjalaninya. Jodoh kami memang hanya sampai di sini."

Aku terlarut dalam pelukan ibu. Sambil mencoba menahan isak yang akhirnya lolos juga dariku.

Aku baru saja bercerai dengan suamiku, Zidni. Sosok pria yang dijodohkan ibu denganku tiga tahun lalu. Seorang pengusaha muda yang tengah merintis karir di kota. Sehingga aku harus ikut dengannya dan berpindah tempat kerja. Beruntung aku di terima di salah satu rumah sakit swasta di kota.

Tadinya rumah tangga kami berjalan harmonis. Zidni sosok yang sangat perhatian dan humoris. Dia selalu bisa memancingku untuk tertawa. tahun pertama yang penuh kemanisan pasangan suami istri baru berubah saat buah hati yang kami nantikan tak juga hadir di rahimku.

Memasuki tahun kedua kami mulai berkonsultasi dengan dokter kandungan ditempatku bekerja, dan hasilnya aku mengalami gejala
PCOS atau Polycystic Ovary Syndrome.

PCOS memengaruhi kadar hormon pada perempuan. PCOS akan menghasilkan hormon laki-laki dalam jumlah yang lebih tinggi dari kondisi normalnya. Ketidakseimbangan hormon ini menyebabkan perempuan dengan PCOS melewatkan periode menstruasi, sehingga membuat dirinya sulit untuk bisa hamil.

Perempuan dengan PCOS membuat peluang kehamilan semakin menurun karena dalam beberapa kasus menyebabkan dirinya mengalami gagal berovulasi.

"Jangan khawatir. Peluang untuk hamil masih ada meski persentasenya kecil. Tapi beberapa pasien yang menjalankan terapi justru berhasil hamil. Yang penting berusaha dan jangan lupa berdoa, ya!" kata dr. Daniel menenangkan.

Tapi setelah dua tahun berjuang bersama dan tak kunjung hamil, di tahun ketiga pernikahan kami Zidni memilih mundur.

"Sha, aku tahu umurmu masih muda. Masih banyak waktu untukmu meneruskan terapu agar dapat segera hamil. Tapi bagaimana denganku, Sha. Umurku sudah hampir kepala empat. Dan ibuku tak pernah berhenti memaksaku untuk menikah lagi agar dapat memberinya cucu." Zidni menahan isak tangisnya.

Aku tahu Zidni adalah anak tunggal. Orangtuanya sangat berharap Zidni segara memiliki keturunan agar bisa meneruskan silsilah keluarga mereka. Itu hal yang wajar. Aku mungkin juga akan mengambil sikap yang sama jika di posisinya.

"Aku tahu kamu tak mau di madu. Aku juga tak sanggup melakukannya. Aku tak ingin menyakiti kamu lebih dalam lagi. Juga sikap ibuku yang semakin memojokkanmu. Aku tau kamu wanita yang sabar. Kamu adalah wanita terhebat yang pernah ku kenal. Aku beruntung memilikimu. aku yang tak pantas untukmu. Karena itu aku memilih mundur. Kamu berhak mencari kebahagiaan lain, Sha."

Malam itu ku luahkan segala kekesalanku pada suamiku, Zidni. Aku menganggapnya sungguh egois. Mana janji pernikahan yang dia ucapkan dulu akan setia dalam suka maupun duka.

Aku mengamuk sejadi-jadinya. Tapi bahkan setelah semua itu terjadi, pagi itu bahkan azan subuh pun belum terdengar berkumandang, Zidni menjatuhkan talaknya padaku.

Hari itu seminggu menjelang tiga tahun usia pernikahan kami, aku menjadi janda di usia 30 tahun.

***


Makasih buat kalian yang udah kasih vote dan komen ya 🥰🥰🥰

SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang