Chapter 12

14.4K 1.1K 26
                                        


Ku tatap mata sendu Ibu Melinda.  Kemarin  aku  senantiasa di sampingnya saat-saat kami mengiringi  kepergian Syifa  ke  tempat peristirahatan terakhirnya.

Sungguh tak  ada  lagi  air mata yang  mengalir dari sosok tegar di hadapanku itu. Ibu Melinda  hanya  diam. Dengan tatap sayu memandang pusara Syifa yang bertabur bunga di dominasi mawar alba. Bunga kesukaan  Syifa.
Desau angin meniupkan wangi bunga ke udara. Udara yang seakan tak berfungsi karena  dia masih merasakan sesak karena kehilangan semangat hidupnya.

"Delapan tahun  bukan  waktu  yang  sebentar untukku  berjuang bersamanya. Anak  ini sudah menjadi pecutku untuk bisa bertahan hidup. Disaat aku merasa sudah tak sanggup lagi berdiri. Kehadirannya  melecutkan  semangatku." Ibu  melinda  lebih  terlihat  bermonolog  sendiri.

Aku bisa merasakan kekosongan jiwa dalam setiap kata-kata Bu Melinda. Tatap matanya menceritakan segalanya. Tentang rasa sepi, rasa kehilangan, dan buncah kerinduan meski baru kemarin dia masih bisa menggenggam tangan mungil Syifa. Tapi wajah pias itu justru menyungging senyum di saat menggenggam tanah merah yang kini menjadi jurang pemisah antara dia dan putri kesayangannya.

"Aku yakin putriku sekarang sedang berlari di Surga. Tanpa rasa sakit. Tanpa ada derita. Dia hanya akan tertawa di sana. Dan dia akan selalu menunggu ibunya di pintu surga."

Dari lubuk hatiku terdalam, aku benar-benar mengagumi sosok Bu Melinda. Wanita  ini sungguh hebat. Bertubi-tubi  cobaan datang di hidupnya, tapi dia masih  berusaha untuk tegar.

Ya Allah aku merasa malu. Rasanya    selama ini aku telah dzalim karena terus berkeluh kesah. Sementara jutaan orang  di luar sana justru mendapatkan penderitaan yang lebih dari yang aku alami.

Aku bersyukur Allah berkenan mempertemukan aku dengan seorang Melinda. Seumur hidupku aku akan terus mensyukurinya. Darinya aku belajar arti kesabaran.

***

Aku kembali  kehilangan pekerjaan. Aku maklum jika Bu Melinda tengah mengalami kesulitan ekonomi, dia  membatasi pengeluaran dengan tak  lagi  mempekerjakan baby  sitter. Dia hanya mempertahankan satu asisten rumah  tangga yang merangkap sebagai pengasuh bayi untuk merawat Faiz.

Aku memutuskan untuk pulang  ke rumah  orangtua. Berharap di sana aku akan lebih cepat me-recovery perasaanku setelah kepergian Syifa. Di sana ada Nina. Aku bisa berbagi kesedihanku padanya. Aku yakin dia belum tahu tentang berita kematian Syifa dan aku berniat untuk memberitahunya.

Tapi betapa terkejutnya aku saat mendapati kabar  jika Nina telah  kabur  entah ke mana tanpa memberi kabar  sedikitpun. Ayah dan ibu sudah mencari ke segala tempat tapi tak jua bertemu. Bahkan mereka juga sudah lapor kepada pihak berwajib.

"Kita tunggu saja kabar dari pihak kepolisian. Semoga Nina cepat ditemukan," Ucap Ibu sambil menyerahkan secarik kertas berisi tulisan tangan Nina kepadaku.

"Kak Sha, maafin Nina pergi dari rumah ini tanpa kabar. Nina sudah memutuskan untuk hidup mandiri. Nina nggak mau merepotkan Kak Sha juga ayah dan Ibu Kak Sha. Mereka sangat baik. Nina juga sayang mereka. Tapi  Nina nggak mau jadi beban pikiran buat mereka. Biarlah Nina menanggung sendiri akibat dari perbuatan Nina di masa lalu.

Kak Sha nggak usah cari Nina. Kak Sha nggak usah khawatir. Nina janji bakalan jaga bayi dalam perut Nina ini sampai dia lahir selamat ke bumi. Nina juga sudah sayang sama dia. Dia akan jadi teman Nina menjalani hidup nanti.

Terimakasih buat Kak Sha yang selalu menguatkan Nina. Jika nanti Kak Sha bertemu dengan Bu Melinda tolong sampaikan sujud maaf Nina kepada beliau. Walau Nina yakin Nina nggak pantas dimaafkan. Dosa Nina terlalu besar pada keluarga Bu Melinda.

Titip salam sayang buat Syifa dan Faiz. Juga buat Ibu dan Ayah Kak Sha.

Penuh sayang dari Nina."

Menahan isak, aku membekap mulutku saat membaca bait demi bait tulisan tangan Nina yang mengabur di beberapa bagian. Nampaknya Nina juga tengah mengalirkan airmata saat menulis surat terakhirnya tersebut. Hingga airmata itu jatuh dan merembes ke surat yang jelas ditulis dengan amat tergesa-gesa. Tulisan Nina terlihat berantakan.

Tak lagi ku tahan air mataku saat selesai membacanya. Ibu pun ikut menangis di sampingku. Beliau pasti juga amat menyayangkan kepergian mendadak Nina.

Nina, di mana kamu  sekarang? Apa  yang kamu  lakukan? Bagaimana keadaanmu dan janin dalam kandunganmu?

Aku sangat cemas dengan kondisi Nina juga  janinnya.  Tapi  aku  berdoa semoga di manapun Nina  berada dia  selalu bisa menjaga dirinya. Semoga Allah selalu memberikan perlindungan kepadanya.

Malam semakin larut. Aku terkapar di atas tempat tidur dalam rasa lelah yang teramat sangat. Dalam pekatnya malam, dalam pelukan ibu, aku melarungkan segala kegundahanku atas kehilangan orang-orang terkasihku. Lagi.

***

Makasih banyak yaaa buat kalian yang baca, vote dan komen 😍

Jangan lupa follow akun aku juga ya😁😁☺😇


SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang