Chapter 17

13.9K 1.1K 16
                                    

Satu masalah terselesaikan. Aku dan dr.Aqly akhirnya berbaikan. Dan kami akhirnya berteman. Setiap bulan dr.Aqly berkunjung ke panti untuk menjenguk ibunya.

"Dulu dia nggak serajin ini ke sini lho, Sha," ungkap Bu Wida saat kami menikmati secangkir teh hangat dan pisang goreng yang baru saja aku buat. Kami duduk lesehan di beranda rumah bu wida yang menyambung dengan halaman belakang panti.

"Mungkin dia lagi nggak banyak pasien, Bu," terkaku asal dan mencomot sepotong pisang goreng yang meluncur mulus ke tenggorokanku tanpa perlu banyak aku kunyah.

Bu Wida menghembuskan napas pelan. lalu dia meletakkan tehnya ke tatakan yang ada di atas lantai.

"Sepertinya anak ibu lagi jatuh cinta."

Aku tersedak pisang goreng yang baru setengah kugigit. Aku terbatuk hebat untuk memancing agar potongan besar pisang yang menyangkut ditenggorokanku kembali keluar.

Bu Wida menepuk-nepik bahuku pelan, bukannya ikut panik, beliau malah tersenyum penuh arti dan berkata,
"Kamu juga merasa ya, Sha?"

***

Maria tertawa terbahak saat ku ceritakan kekhawatiranku atas sikap dr.Aqly yang terasa ganjil. Juga percakapanku dengan ibu Wida kemarin.

"Akhirnya kamu peka juga, Sha," ucap Maria dengan antusias sambil menuangkan sebungkus bakso ke mangkuk oleh-oleh dari dr.Aqly pada kunjungannya kali ini.

Aku menatap Maria dengan sejuta kebingungan. Tanda tanya memenuhi kepalaku.

"Kamu ngomong apa sih, Mar?"

Maria geleng-geleng kepala. "Kamu ini, Sha nggak bisa ya belajar dari pengalaman."

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Kenapa Maria ngomongnya berbelit-belit sih.

"Dulu kamu cerita kan kalo dr.Zain tak ada angin tak ada hujan, nembak kamu secara tiba-tiba. Kamu salah, Sha. Semua orang yang satu shift waktu kita magang dulu juga bisa menerka sikap dr.Zain yang nggak biasa sama kamu. Dia tuh perhatian sama kamu. Kamu nya aja yang nggak ngeh. Nggak peka. Kalo dia dulu sering curi-curi pandang sama kamu. Kamunya malah sibuk melototin buku catatan materi kuliah yang isinya tulisan cakar ayam kamu itu."

Aku terperangah. Masa iya begitu. dr.Zain nggak pernah cerita. Dan aku memang tak pernah merasa pernah diperlakukan special seperti itu. Apa memang benar aku orangnya kurang peka.

"Sha, yang kayak gitu-gitu tuh pria anti menampakkannya kalo si wanita malah cuek bebek." Aku kembali sangsi dengan penjelasan Maria. Bola mataku memutar jengah.

"Sumpah ya, Sha, kamu tuh jadi cewek kelewatan nggak pekanya. Padahal kamu itu bukan lagi anak remaja. Umur sudah 32 tahun, megang status janda lagi."

Sialan. Aku menoyor kepala Maria. "Nggak usah bawa-bawa umur sama status kali!" sergahku.

Maria kembali terbahak. lalu dia tiba-tiba diam. "Sha bukannya aku ingin membuka masa lalu kamu, tapi aku merasa kandasnya hubungan rumah tangga kamu sama Zidni bukan hanya masalah anak, tapi kamu yang kurang peka sama keinginan Zidni, yah maksudku semacam dia ngasih kamu perhatian tapi kamunya cuek aja. Kamu paham maksudku kan, Sha? "

Aku coba merenungi kata-kata yang dilontarkan Maria.

Zidni sosok yang dari awal pernikahan kami sangat perhatian dan sering bersikap romantis padaku.

Dan... seperti ada letusan bom di otakku. Menakutkan. Kenyataan itu menyentakkan alam bawah sadarku. Aku seperti menemukan sebuah kenyataan menyakitkan. Maria benar, dengan semua perhatian dari Zidni aku tak pernah sekalipun mencoba bersikap sebaliknya pada dia. Aku yak pernah membalas segala perlakuan manis yang dia berikan padaku. Aku dan sifat kekanak-kanakan yang melekat erat didiriku sejak kecil, selalu berharap diutamakan dan diperhatikan tanpa ada timbal balik untuk melakukan hal yang sama pada orang lain. Mungkin Zidni jenuh. Batas kesabarannya habis menghadapiku yang tak pernah peka. Mungkin dia mulai meragukan apakah aku benar-benar mencintainya. Apakah dia hanya sebagai pelarianku saja karena kehilangan dr.Zain.

Ada tangis yang ingin aku curahkan. Tapi jika aku menangis kembali untuk sebuah masa lalu yang tak bisa aku ubah kembali bukankah itu terasa percuma. Toh, aku tak akan mungkin bisa kembali dengan Zidni. Terakhir dia memberitahuku jika dia akan menikah akhir tahun ini.

"Jadi pertanyaannya sekarang adalah kenapa kamu bisa peka dengan sikap dr.Aqly? Padahal kan kamu bilang dia nggak pernah bersikap gombal sama kamu."

Aku kaget dengan argumen Maria.

"Aku nggak ada bilang ya dia suka sama aku," cecarku.

Maria tersenyum menggoda. "Aku juga nggak ada ya bilang dia suka sama kamu. Aku cuma bilang kamu peka."

Nyess. Seperti di guyur dengan air es tepat di puncak kepalaku. Aku mati kutu. Memang susah kalo mau ngeles dari Maria. Otaknya tokcer bisa mematahkan dengan mudah argumen dariku.

"Faktanya hal itu emang nggak mungkin, Maria. Dan seperti yang kamu bilang aku nggak muda lagi, megang status janda dan tak punya pekerjaan tetap. Mana mungkin dr.Aqly yang lebih muda hampir 5 tahun dariku, tampan dan bergelar spesialis itu mau sama aku," sangsiku.

"Ohh jadi kamu mengakui kalo..."

"Siapa bilang?"

Ucapan Maria terputus. Seseorang baru saja menyela ucapan Maria.

Kami berdua menoleh ke asal suara. Dan sama-sama terkejut, aku dan Maria bak anak kecil yang takut dimarahi ibunya karena tertangkap basah baru saja memecahkan vas bunga kesayangan milik sang ibu.

Aku dan Maria langsung terdiam tak berani menyapa dr.Aqly dan ibunya berdiri tepat di belakang kami entah sejak kapan. Aku tak berani menduga dari obrolan ngalur ngidul aku dan Maria barusan, bagian mana saja yang sudah ibu dan anak itu dengarkan.

Malu sekali rasanya. Ingin rasanya aku menciutkan badan dan nyungsep ke mangkok bakso yang baru saja aku nikmati bersama Maria.

Wajahku pasti saat ini semerah saos tomat. Maria pun tak kalah paniknya. Takut jika obrolan kami tadi ternyata menyinggung perasaan dr.Aqly dan ibunya.

***

SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang