Chapter 13

14.4K 1.2K 36
                                    

Sebulan lebih aku menganggur. Aku memasukkan berbagai lamaran ketidak  hanya  rumah sakit,   tapi   juga   tempat  kerja   lainnya   termasuk  perusahaan   tambang  yang   mungkin memerlukan kerja tenaga medis.

Hingga  sore itu Maria  datang dan  menawarkan untuk  ikut serta dalam acara bakti  sosial di panti asuhan Al-Ikhlas, tempat dia dulu sempat tinggal.

Hari yang penuh  haru itu, membuka mata batinku.  Rasanya aku ingin menjadi tenaga sukarela di tempat mulia  itu.  Aku  menemui  ibu  pemilik  yayasan. dan  dia  terkejut  dengan maksud yang kuutarakan.

"Kami tak bisa memberi gaji besar, Nak. keuangan kami tergantung dari besaran sumbangan donatur." wajah Bu Wida, pemilik yayasan nampak tak enak hati.

"Nggak  papa,  Bu. Saya  nggak  menuntut gaji.  saya  hanya  ingin  memberikan  sedikit  tenaga saya untuk membantu merawat anak-anak di sini. bolehkan, Bu?" tanyaku lagi penuh keyakinan.

Ibu kepala yayasan menatap ragu bergantian ke arahku  dan juga Maria. Maria  tersenyum penuh  arti.

"Tenang, Bu, yang dikatakan Sha benar  adanya. Dia tulus koq. Nggak  di gaji juga nggak  apa-apa yang  penting di kasih tempat tinggal  sama makan. Dia bisa ngamuk soalnya kalo lagi lapar." Gurauan Maria rupanya bisa meluluhkan hati bu Wida. Wanita  berjilbab  lebar itu tersenyum haru.  Dia memelukku dan  mendoakan keberkahan untukku.  Berbalik  aku  yang terharu. Pantas dulu Maria betah di sini. Bu Wida luar biasa baik. Penuh  kasih dan dedikasinya untuk masa depan anak  asuhnya sangat tinggi.  

***

Bulan  depan  usiaku  genap  32  tahun. Sebuah  usia  yang   tak  lagi  bisa  dikatakan  muda. Sebenarnya aku tak terlalu ambil pusing masalah usia, seandainya ibu tak selalu merongrongku agar segera mencari pendamping hidup kembali.

"Ibu nggak bisa tenang, Sha. Ngebiarin kamu hidup sendirian. Bagaimana jika nanti ibu sama ayah pergi dari dunia ini. Paling nggak sebelum semua itu terjadi, ibu bisa melihat kamu hidup bahagia dengan seseorang yang akan menjaga kamu sepeninggal kami nanti," ucap Ibu suatu hari saat aku pulang. Wajah sendunya meriuhkan hatiku. Hatiku jadi bergolak.

Kegelisahanku  tentang  masalah  hidup  terutama  jodoh, sudah lama tak menjadi bahan pikiranku. Terutama setelah aku mengenal Syifa. Bagiku kehadiran Syifa mengubur keinginan lamaku akan hadirnya seorang anak di kehidupanku.

Hingga desakan dari ibu itu kembali merasuk alam pikiranku. Membuatku merindukan sesuatu yang tak pernah aku miliki selama ini. Karena  jujur  hidup  berdampingan setiap hari  dengan anak-anak di panti  asuhan ini, sedikit demi  sedikit mulai membangkitkan lagi keinginanku untuk memiliki buah  hati sendiri.

Tapi bagaimana mau punya anak  jika calon pendamping hidup saja tak punya.

Sering  di  penghujung  tahajud, aku berlama-lama terhanyut dalam khusyuknya doa, tenggelam  dalam  munajat kepada Allah agar  bisa kembali  menata hidup  berumah tangga. Tak  ku pungkiri kadang aku  merindukan sosok baru  yang  kuharap dapat membantuku melupakan masa lalu. Tentang dua kali kehilangan besar dalam hidupku.

Hari itu selesai memeriksa kondisi anak-anak di ruang  isolasi karena beberapa anak  terjangkit varicella, sehingga harus dipisahkan dari anak  lainnya yang masih sehat, Bu Wida menemuiku.

"Kamu ada waktu? ada yang ingin ibu ceritakan sama kamu."

Aku menatap wajah Bu Wida dengan penuh  rasa penasaran. Sirat wajahnya menggambarkan betapa penting hal yang ingin dia sampaikan padaku. Sebelumnya bu Wida tak pernah seserius ini.

"Ada apa, Bu?"

"Ibu mau curhat tentang kisah hidup ibu yang ada kaitannya sama kamu."

"Sama saya?" kagetku.

Bu Wida mengangguk.
"Ibu mulai ya ceritanya?" beliau meminta persetujuanku. Kelihatan tak sabar untuk segera memulai cerita.

Aku mengangguk dan bersiap menjadi pendengar yang baik.

"Dulu ibu  bersama-sama suami mendirikan panti  asuhan ini. Tapi  beliau  sudah meninggal. Beliau  pergi  beberapa saat setelah panti asuhan ini berhasil diresmikan. Waktu  itu  anak  ibu  satu- satunya  yang  baru  masuk SMA jiwanya  terguncang. Dia  tak  siap  kehilangan  sosok ayah. Mereka berdua memang sangat dekat. Anak  ibu  mulai  sering  pulang  malam.  Kenal  rokok dan akhirnya terjerumus ke obat  terlarang."

Bu Wida berusaha menarik napas yang terlihat amat menyesakkan. Memulai cerita ini sama dengan mengoyak kisah masa kelam dalam kehidupannya. Terasa mencengkram jantung yang terselubung di dadanya.

"Saat itu ibu merasa malu pada anak-anak dipanti  yang saat itu baru berjumlah sepuluh orang. Bagaimana  tidak,  mendidik  anak  kandung ibu  saja  tidak  becus. Bagaimana  mau  merawat anak  orang  lain.  Di saat ibu  hilang  kepercayaan diri itu, Allah mengirimkan Maria  sebagai malaikat yang memberikan semangat hidup lagi buat  ibu. Dia membuat ibu percaya jika anak- anak   panti   ini  memang  telah   Allah  amanahkan  ke  tangan ibu.  Ibu  tidak  boleh   menyia- nyiakannya. dan  senantiasa berdoa untuk  anak  ibu agar  dia bisa segera bertobat. Dia sudah beberapa kali masuk panti  rehab  dan  terancam drop  out  dari sekolah. Hingga  ibu menerima telepon dari polisi jika anak  ibu kecelakaan dan dilarikan ke UGD."

Kembali ibu Wida menarik napas. Kali ini lebih lama. Nun airmatanya mulai turun mengaliri kulit pipinya yang semakin keriput.

"Ibu mana yang  kuat  melihat  anaknya bersimbah darah. anak  ibu sekarat dia  harus segera dioperasi karena pendarahan hebat di kepalanya. Saat itu dokter  yang  bertugas mengatakan jika  korban   lain  dari  kecelakaan itu  juga  sekarat dan  perlu  penanganan lanjut.  Tapi  meja operasi yang tersedia hanya  ada satu yang kosong.
Kamu  tau,  Sha.  anak  ibu yang  menyebabkan kecelakaan  itu. Dia  mabuk. Demi  menghindari kecelakaan beruntun mobil yang ditabrak anak  ibu banting stir dan menabrak bahu  jalan. Sudah  seharusnya   kami   yang   mengalah   dan   memberikan   kesempatan  untuk   korban mendapatkan operasi lebih dulu. tapi kamu  tau, Sha.  Lelaki itu diantara napasnya yang  mulai terputus, meminta dokter  untuk menolong anak  ibu lebih dulu."

Tangis Bu Wida berubah menjadi jeritan tertahan. Matanya nyalang menatapku penuh rasa iba. Dan kepalaku diliputi tanda tanya besar.

"Kami berhutang nyawa  pada lelaki itu. Anak  ibu berhasil diselamatkan tapi lelaki itu menghembuskan napas terakhir di ruang  UGD."

Deras airmata Bu Wida membuatnya sesenggukan. Aku  diam  mendengarkan tak  ingin mengganggu waktu  yang  sangat emosional itu. Berulang kali aku  mengusap punggung tangan Bu Wida  sekedar memberikan kekuatan untuknya meneruskan cerita.

"Akhirnya saya tahu, lelaki baik hati itu seorang dokter  yang bekerja  di rumah  sakit itu. Seluruh staf rumah  sakit menangis haru  karena hari  itu  kehilangan salah satu teman sejawat mereka. Ibu merasa amat bersalah. Bagaimanapun yang  dia lakukan  sungguh pengorbanan besar."

Bu Wida menyusut airmatanya. Berdeham sebentar agar dapat berbicara lebih mudah, karena rasanya seperti ada tangan-tangan tak kasat mata yang mencekik lehernya saking sulitnya dia untuk berkata, "Kamu tahu, Sha. Lelaki itu meninggal dengan balutan pakaian pengantin."

Aku tersentak. Pikiranku  seakan tercerabut ke masa sepuluh tahun  silam. Hari pernikahanku yang batal  karena calon mempelai pria yang tak kunjung datang.

Melihat  perubahan ekspresiku, bu  Wida  berujar, "Kamu benar, Sha.  lelaki  itu  adalah calon suami kamu.  dr.Zain Fikri."



***

Makasih banyak yaaa buat kalian yang baca, vote dan komen 😍

Jangan lupa follow akun aku juga ya😁😁☺😇


SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang