Sebulan lebih aku menganggur. Aku memasukkan berbagai lamaran ketidak hanya rumah sakit, tapi juga tempat kerja lainnya termasuk perusahaan tambang yang mungkin memerlukan kerja tenaga medis.
Hingga sore itu Maria datang dan menawarkan untuk ikut serta dalam acara bakti sosial di panti asuhan Al-Ikhlas, tempat dia dulu sempat tinggal.
Hari yang penuh haru itu, membuka mata batinku. Rasanya aku ingin menjadi tenaga sukarela di tempat mulia itu. Aku menemui ibu pemilik yayasan. dan dia terkejut dengan maksud yang kuutarakan.
"Kami tak bisa memberi gaji besar, Nak. keuangan kami tergantung dari besaran sumbangan donatur." wajah Bu Wida, pemilik yayasan nampak tak enak hati.
"Nggak papa, Bu. Saya nggak menuntut gaji. saya hanya ingin memberikan sedikit tenaga saya untuk membantu merawat anak-anak di sini. bolehkan, Bu?" tanyaku lagi penuh keyakinan.
Ibu kepala yayasan menatap ragu bergantian ke arahku dan juga Maria. Maria tersenyum penuh arti.
"Tenang, Bu, yang dikatakan Sha benar adanya. Dia tulus koq. Nggak di gaji juga nggak apa-apa yang penting di kasih tempat tinggal sama makan. Dia bisa ngamuk soalnya kalo lagi lapar." Gurauan Maria rupanya bisa meluluhkan hati bu Wida. Wanita berjilbab lebar itu tersenyum haru. Dia memelukku dan mendoakan keberkahan untukku. Berbalik aku yang terharu. Pantas dulu Maria betah di sini. Bu Wida luar biasa baik. Penuh kasih dan dedikasinya untuk masa depan anak asuhnya sangat tinggi.
***
Bulan depan usiaku genap 32 tahun. Sebuah usia yang tak lagi bisa dikatakan muda. Sebenarnya aku tak terlalu ambil pusing masalah usia, seandainya ibu tak selalu merongrongku agar segera mencari pendamping hidup kembali.
"Ibu nggak bisa tenang, Sha. Ngebiarin kamu hidup sendirian. Bagaimana jika nanti ibu sama ayah pergi dari dunia ini. Paling nggak sebelum semua itu terjadi, ibu bisa melihat kamu hidup bahagia dengan seseorang yang akan menjaga kamu sepeninggal kami nanti," ucap Ibu suatu hari saat aku pulang. Wajah sendunya meriuhkan hatiku. Hatiku jadi bergolak.
Kegelisahanku tentang masalah hidup terutama jodoh, sudah lama tak menjadi bahan pikiranku. Terutama setelah aku mengenal Syifa. Bagiku kehadiran Syifa mengubur keinginan lamaku akan hadirnya seorang anak di kehidupanku.
Hingga desakan dari ibu itu kembali merasuk alam pikiranku. Membuatku merindukan sesuatu yang tak pernah aku miliki selama ini. Karena jujur hidup berdampingan setiap hari dengan anak-anak di panti asuhan ini, sedikit demi sedikit mulai membangkitkan lagi keinginanku untuk memiliki buah hati sendiri.
Tapi bagaimana mau punya anak jika calon pendamping hidup saja tak punya.
Sering di penghujung tahajud, aku berlama-lama terhanyut dalam khusyuknya doa, tenggelam dalam munajat kepada Allah agar bisa kembali menata hidup berumah tangga. Tak ku pungkiri kadang aku merindukan sosok baru yang kuharap dapat membantuku melupakan masa lalu. Tentang dua kali kehilangan besar dalam hidupku.
Hari itu selesai memeriksa kondisi anak-anak di ruang isolasi karena beberapa anak terjangkit varicella, sehingga harus dipisahkan dari anak lainnya yang masih sehat, Bu Wida menemuiku.
"Kamu ada waktu? ada yang ingin ibu ceritakan sama kamu."
Aku menatap wajah Bu Wida dengan penuh rasa penasaran. Sirat wajahnya menggambarkan betapa penting hal yang ingin dia sampaikan padaku. Sebelumnya bu Wida tak pernah seserius ini.
"Ada apa, Bu?"
"Ibu mau curhat tentang kisah hidup ibu yang ada kaitannya sama kamu."
"Sama saya?" kagetku.
Bu Wida mengangguk.
"Ibu mulai ya ceritanya?" beliau meminta persetujuanku. Kelihatan tak sabar untuk segera memulai cerita.Aku mengangguk dan bersiap menjadi pendengar yang baik.
"Dulu ibu bersama-sama suami mendirikan panti asuhan ini. Tapi beliau sudah meninggal. Beliau pergi beberapa saat setelah panti asuhan ini berhasil diresmikan. Waktu itu anak ibu satu- satunya yang baru masuk SMA jiwanya terguncang. Dia tak siap kehilangan sosok ayah. Mereka berdua memang sangat dekat. Anak ibu mulai sering pulang malam. Kenal rokok dan akhirnya terjerumus ke obat terlarang."
Bu Wida berusaha menarik napas yang terlihat amat menyesakkan. Memulai cerita ini sama dengan mengoyak kisah masa kelam dalam kehidupannya. Terasa mencengkram jantung yang terselubung di dadanya.
"Saat itu ibu merasa malu pada anak-anak dipanti yang saat itu baru berjumlah sepuluh orang. Bagaimana tidak, mendidik anak kandung ibu saja tidak becus. Bagaimana mau merawat anak orang lain. Di saat ibu hilang kepercayaan diri itu, Allah mengirimkan Maria sebagai malaikat yang memberikan semangat hidup lagi buat ibu. Dia membuat ibu percaya jika anak- anak panti ini memang telah Allah amanahkan ke tangan ibu. Ibu tidak boleh menyia- nyiakannya. dan senantiasa berdoa untuk anak ibu agar dia bisa segera bertobat. Dia sudah beberapa kali masuk panti rehab dan terancam drop out dari sekolah. Hingga ibu menerima telepon dari polisi jika anak ibu kecelakaan dan dilarikan ke UGD."
Kembali ibu Wida menarik napas. Kali ini lebih lama. Nun airmatanya mulai turun mengaliri kulit pipinya yang semakin keriput.
"Ibu mana yang kuat melihat anaknya bersimbah darah. anak ibu sekarat dia harus segera dioperasi karena pendarahan hebat di kepalanya. Saat itu dokter yang bertugas mengatakan jika korban lain dari kecelakaan itu juga sekarat dan perlu penanganan lanjut. Tapi meja operasi yang tersedia hanya ada satu yang kosong.
Kamu tau, Sha. anak ibu yang menyebabkan kecelakaan itu. Dia mabuk. Demi menghindari kecelakaan beruntun mobil yang ditabrak anak ibu banting stir dan menabrak bahu jalan. Sudah seharusnya kami yang mengalah dan memberikan kesempatan untuk korban mendapatkan operasi lebih dulu. tapi kamu tau, Sha. Lelaki itu diantara napasnya yang mulai terputus, meminta dokter untuk menolong anak ibu lebih dulu."Tangis Bu Wida berubah menjadi jeritan tertahan. Matanya nyalang menatapku penuh rasa iba. Dan kepalaku diliputi tanda tanya besar.
"Kami berhutang nyawa pada lelaki itu. Anak ibu berhasil diselamatkan tapi lelaki itu menghembuskan napas terakhir di ruang UGD."
Deras airmata Bu Wida membuatnya sesenggukan. Aku diam mendengarkan tak ingin mengganggu waktu yang sangat emosional itu. Berulang kali aku mengusap punggung tangan Bu Wida sekedar memberikan kekuatan untuknya meneruskan cerita.
"Akhirnya saya tahu, lelaki baik hati itu seorang dokter yang bekerja di rumah sakit itu. Seluruh staf rumah sakit menangis haru karena hari itu kehilangan salah satu teman sejawat mereka. Ibu merasa amat bersalah. Bagaimanapun yang dia lakukan sungguh pengorbanan besar."
Bu Wida menyusut airmatanya. Berdeham sebentar agar dapat berbicara lebih mudah, karena rasanya seperti ada tangan-tangan tak kasat mata yang mencekik lehernya saking sulitnya dia untuk berkata, "Kamu tahu, Sha. Lelaki itu meninggal dengan balutan pakaian pengantin."
Aku tersentak. Pikiranku seakan tercerabut ke masa sepuluh tahun silam. Hari pernikahanku yang batal karena calon mempelai pria yang tak kunjung datang.
Melihat perubahan ekspresiku, bu Wida berujar, "Kamu benar, Sha. lelaki itu adalah calon suami kamu. dr.Zain Fikri."
***
Makasih banyak yaaa buat kalian yang baca, vote dan komen 😍
Jangan lupa follow akun aku juga ya😁😁☺😇
KAMU SEDANG MEMBACA
SHA (Completed)
Chick-Lit"Udah punya pacar?" tanya dr. Zain sambil masih fokus mengisi rekam medis pasien. Malah aku yang dibuatnya gagal fokus. Apa aku tak salah dengar. dr.Zain bercanda kali. "Be..belum.." jawabku terbata. "Calon suami?" Lah, pacar saja tak punya apalagi...