Epilog

18.5K 991 63
                                    

"Sha.. "

Aku menoleh pada asal suara. Maria berjalan tergesa ke arahku yang sudah hampir masuk ke dalam sebuah restoran tempat reuni SMA kami diadakan. Perut bulatnya bagai bukan sebuah beban saat dia dengan lincah mengejarku dengan langkah kaki panjang.

"Hati-hati!" tegur Kahfi melihat kelakuan istrinya. Pasti dia deg-degan istrinya akan jatuh karena halaman restoran terlihat licin sehabis diguyur hujan.

Aku dan Aqly juga geleng-geleng kepala
"Teman kamu tuh suka bikin suaminya sport jantung," sindir Aqly. Yang kubalas dengan tawa berderai.

"Adik apa kabar?" sapaku sambil mengelus perut buncit Maria.

"Kabar adik bayi, Tante Sha." Maria yang menjawab dengan suara sok diimut-imutkan.

"Kalo Kak Naufal apa kabar?" Aku juga menyapa putra keempat Maria berusia  lima tahun yang nampak mengantuk dalam gendongan Kahfi. Dan anak itu justru menangis saat ku sapa.

Kahfi dan Maria mulai sibuk membujuk agar Naufal berhenti menangis.

"Emangnya wajah aku nyeremin ya?" gumamku yang di dengar oleh Aqly.

"Iya nyeremin kalo lagi ngambek. Tapi kalo lagi baik cantiknya ngalahin artis Korea."

Aku mencubit perut Aqly yang dulunya six pack sekarang sudah bertransformasi menjadi bentuk donat.

"Sakit," gerutu Aqly mengaduh manja.

"Kamu gombalnya nggak kenal tempat," sahutku yang masih gatal ingin mencubitnya lagi.

Maria berdehem keras. "Udah pada ubanan juga masih aja kayak anak ABG baru kenal pacaran."

"Kalian mau sampai kapan gombal-gombalan di sini. Tanganku udah pegel benar ini gendong Naufal." Kahfi manyun.

Akhirnya kami berempat plus Naufal memasuki ajang pamer dan julid.

Alasan kenapa aku jarang ikut hadir dalam acara reuni sekolah. Ini kali pertama lagi setelah terakhir aku ikut acara reuni seusai aku menikah dengan  Aqly hampir sepuluh tahun yang lalu.
Aku bukan Maria yang tahan banting jika ada yang nyinyir tentangku. Aku bukan Maria yang akan membalas semua kekepoan mereka dengan seulas senyuman. Aku bukan Maria yang akan dengan cepat lupa tentang komentar miring akan 'ketidaksempurnaanku'.

Dulu saat baru menikah dengan Aqly pertanyaan mereka seputar gimana rasanya menikah untuk kedua kalinya, kapan rencana punya anak. Lalu mereka memberi ceramah tanpa ku minta tentang rahasia berumah tangga agar pernikahan langgeng hingga kakek nenek. Atau mereka dengan sukarela menasehati agar aku jago dandan agar suami tak berpaling ke lain hati.

Dan yang paling membekas di hatiku adalah saat mereka mendesakku agar aku tak perlu pakai alat kontrasepsi biar cepat hamil. Padahal seumur hidupku aku tak pernah sedikitpun menyentuh semua alat kontrasepsi.
Toh tak ber-KB saja aku tak bisa hamil.
Sebenarnya Aqly sudah melarangku untuk hadir. Karena dia tahu aku mudah baper jika ada yang menyindir masalah ketidaksuburanku.
Tapi entahlah. Hatiku terasa begitu ringan saat Maria mengajakku untuk hadir.

"Tenang saja. Ada aku. Nanti aku jadi jubir kamu," guyon Maria saat aku bimbang untuk hadir.

Dan di sinilah aku. Duduk bersama dalam satu meja dengan teman-teman lama masa SMA.

Awalnya tentu semua berjalan biasa saja. Mereka memujiku karena menjadi istri seorang dokter spesialis jantung terkenal. Lalu menyanjung kegiatan amal yang sering aku adakan untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Tapi seperti dugaan awalku. Pujian tersebut perlahan mulai bergeser ke arah kepo, sindiran, nyinyiran, dan berakhir ke-sok-bijaksanaan. Hingga mekarnya sang mawar merah di atas meja restoran itu tak lagi ku rasakan keindahannya. Hatiku perlahan melayu.

SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang