Chapter 4

19.9K 1.3K 10
                                    

Maria lulus CPNS dan ditempatkan di Puskesmas Amanah. Setahun kemudian dia menikah dengan seorang guru honorer yang bekerja di SMA tempat kami dulu sekolah.

Pernikahan mereka sangat sederhana. Sekarang mereka sudah dikarunia dua buah hati yang sangat lucu. Suaminya, meski setelah mereka menikah selama 7 tahun masih bekerja sebagai tenaga honorer yang nyambi sebagai tukang ojek, kehidupan rumah tangga mereka sangat jauh dari pertengkaran.

Mereka bisa saling menutupi kekurangan pasangan dan menjadikannya sebagai ladang pahala dengan menerimanya secara ikhlas.
Jauh di sudut hatiku aku merasa iri. Perasaan jika Allah itu tak adil kadang menyusup ke otakku.

Tapi aku selalu ingat kata-kata ibuku, "Jangan mudah iri, Nak, dengan kesenangan orang lain, kamu nggak tau duka dan luka apa yang sudah dia alami. Juga jangan sedih, Sha, dengan ujian yang sedang kamu alami. Kamu nggak tau mungkin Allah sedang menyiapkan sebuah kebahagiaan baru yang tak kamu sangka. Kamu harus selalu berpikir baik sama Allah. Dia Maha Mendengar. Nggak mungkin kamu selalu berada di bawah, suatu saat Allah pasti akan membukakan tabir rahasianya kenapa saat ini kamu diberikan cobaan yang berat."

Kutatap mata sendu ibu. Beliau tempat aku mengadu. Selalu saja sabar dengan segala hal yang aku keluhkan. Tak pernah menghakimi meski aku berbuat salah.

"Ibu selalu mendoakan buat kebahagiaan kamu, Sha. Bagi ibu kamu tetap putri ibu yang paling membanggakan."

Aku memeluk ibu erat. "Makasih, Bu. Sha nggak tau harus gimana jika nggak ada ibu."

Kini aku tau, kehilangan yang paling besar adalah kehilangan sosok ibu. Dua kali aku telah kehilangan sosok pendamping hidup, ternyata kehilangan orang yang dicintai tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Kehilangan sosok mulia ini. membayangkannya saja aku tak sanggup.

***

"Aku mau nyambi kerja deh, Mar."
Maria terkejut mendengar penuturanku.

"Kerja apa?"

"Iya aku juga bingung nih. Kamu ada teman atau kenalan yang nyari pegawai apa?"

Maria terbahak. "Sha, Sha, kamu tau sendiri pergaulanku nggak luas. Cuma dari rumah ke puskesmas, dari puskesmas langsung pulang ke rumah. Paling banter ke pasar itu pun seminggu sekali."

Bahuku melorot mendengar ucapan Maria.

"Ya udah nanti aku tanyain sama ayahnya anak-anak, siapa tau dia ada punya kenalan yang nyari pegawai."

Senyumku kembali merekah. Sambil merapal doa dalam hati semoga kemelutku dalam mencari penghasilan bisa segera teratasi. Malu rasanya masih menadahkan tangan sama ibu.

Usia 30 tahun dengan ijazah keperawatan tapi tak mempunyai pekerjaan tetap juga ditambah statusku sebagai janda sedikit banyak mengundang komentar sinis dari sebagian orang. Aku nelangsa.

***

"Sha, kata ibu kamu mau nyari kerja lain ya?" tanya Kamil, kakak tertuaku yang baru pulang dari Surabaya. Dia bekerja sebagai akuntan di salah satu bank di sana.

"Iya nih, Ka. Ka Kamil ada tawaran?"

Kamil mengangguk. "Jadi baby sitter mau?"

Aku menatap ragu.
"Koq jadi baby sitter sih ka. Kaka kan tahu aku nggak terlalu suka sama bayi. Aku nggak ada pengalaman ngerawat bayi. Kasian nanti anak orang."

"Kenapa nggak di coba dulu sih, Sha?" tanya ibu nimbrung.

"Iya, Sha. Teman kaka ini nyari baby sitter yang sekalian perawat gitu. Biar kalo ada apa-apa cepat penanganannya. Gajinya gede lho, Sha. Perawat yang dulu mengundurkan diri karena mau nikah dan ikut suaminya ke luar daerah," bujuk Kamil. Ia tau adiknya itu masih ragu.

"Jadi bukan bayi ya? Udah balita kah?"

Kamil mengangguk.
"Kalo nggak salah umurnya tujuh tahun deh. Dia punya kelainan jantung. Jadi anaknya perlu pengawasan lebih intensif di rumah."

"Aku pikirin dulu deh, Ka," jawabku kemudian.

"Nih aku kasih nomor mereka kalo kamu berminat. Kamu bisa tanya-tanya dulu juga. Bu Melinda baik koq orangnya ramah juga. Kamu nggak bakalan nyesal kerja sama dia."

Kamil mengirimkan kontak nomor orang tersebut kepadaku. Aku memandang inya beberapa saat kemudian menyimpan kontak Bu Melinda di handphone ku.

***

Akhirnya dengan berbagai pertimbangan aku menerima tawaran menjadi baby sitter itu. Ibu nampak tak rela.

"Baru juga ibu kumpul sama kamu udah pergi lagi." Airmatanya tak terbendung.

Ampun deh ibu. 6 bulan dibilang baru. Aku saja sudah kehabisan urat malu makan dan segala kebutuhan kembali dipenuhi sama ibu.

"Masih satu kota juga, Bu. kalo weekend katanya boleh libur. Jadi Sha kan bisa pulang buat jenguk ibu," hiburku.

Walaupun masih nampak tak rela, ibu tetap mengantarkanku hingga pagar depan rumah. Dia memelukku erat sebelum masuk ke dalam mobil.

Aku pun ikut sedih. Siapa yang tak senang jika bisa hidup bersama ibu. Tapi aku nggak boleh tetap berdiam diri. Di depanku masih panjang jalan yang harus ku titi. Entah masa depan apa yang ada di depanku sekarang. Semuanya masih nampak abu-abu.

Menjadi seorang baby sitter tak pernah sama sekali terlintas dalam benakku. Ternyata anganku dulu setelah lulus dari akademi keperawatan untuk bekerja di rumah sakit tak semulus yang aku impikan.

***

Makasih banyak yaaa buat kalian yang baca, vote dan komen 😍

Jangan lupa follow akun aku juga ya😁😁☺😇

SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang