Chapter 18

13.8K 1K 20
                                    

Aqly POV

Setelah sembilan tahun aku kembali dipertemukan dengan Sha. Wanita yang sembilan tahun yang lalu kebahagiaanya aku renggut paksa. Calon suaminya meninggal karena tabrakan denganku. Semua adalah salahku. Kesalahan yang selalu menghantuiku setiap saat. Kesalahan yang aku sesalkan sampai kapanpun selama sisa hidupku.

Hari itu Sha bersikap biasa saja. Aku senang, berarti dia tak mengenaliku. aku takut jika dia tahu identitasku sebenarnya, pisau buah yang berada di samping tempat tidur Syifa akan melayang ke wajahku.

Sha mungkin mengira itu adalah pertemuan pertama kami. Dia salah. aku pernah bertemu dengannya secara tak langsung dari balik pintu ruangan di mana dia di rawat karena mengalami anoreksia setelah kematian kekasihnya. Tubuh kurusnya amat mengenaskan. Tatapannya kosong dan tak bereaksi apapun padahal Maria sudah berulang kali mengajaknya bicara.

Aku bisa melihat kondisiku dulu dalam diri Sha, saat pertama tau Ayah meninggal. Aku dan Sha sama-sama terpuruk karena kehilangan yang besar secara mendadak. Hal itulah yang membuatku amat berempati padanya. Saat itu aku berujar dalam hati, aku tak ingin lagi melihat sebuah momen bernama kehilangan. Karena itu aku bertekad akan menjadi seorang dokter.

***

Hari itu aku mengucapkan vonis jika Syifa Aisha Huriyya, pasien anak berumur 8 tahun dengan kelainan jantung bawaan meninggal di ruang ICU tepat saat azan Ashar baru saja terdengar, di hadapan seorang wanita yang ku tahu adalah perawat pengasuh Syifa bernama Shahila. Wanita itu hampir pingsan. seorang perawat ku minta membawanya ke ruangan lain. Agar ia bisa lebih tenang.

Diam-diam aku memperhatikan Sha dari jauh. Dia tak bisa berhenti menangis. Hatiku ikut sakit melihat keadaannya. Aku kembali melihat tatapan kosong yang sama. Seperti sembilan tahun yang lalu. Saat dia juga kehilangan calon suaminya.

Aku benar-benar tak tahan melihatnya seperti itu. Dulu tak ada yang bisa aku lakukan untuk menghiburnya. Karena jangankan untuk menyapanya, bertemu dengannya pun aku tak punya keberanian sama sekali. Tapi sekarang aku harus bisa menghiburnya.

Aku berjalan ke kafetaria yang ada di lantai bawah dan membelikannya sekotak coklat.

Aku melakukannya dengan sengaja persis seperti yang wanita itu lakukan dulu saat menghiburku ketika aku kehilangan ayahku. Aku dan ibu membawa ayah yang terkena serangan jantung ke rumah sakit namun tiba di sana nyawa ayah sudah tak tertolong.

Saat itu aku masih SMA. Saat mendengar vonis dokter tentang kondisi ayah aku benar-benar tak bisa menerima. Aku syok dan histeris. Aku tak peduli pada teriakan ibu yang mencegah aku yang berlari ke luar UGD.

Aku tak kuat melihat jasad ayah yang sudah terbukur kaku. Entah ke mana aku melarikan kakiku yang tanpa alas. Perih kaki yang tertusuk kerikil tak aku pedulikan. Sampai tembok besar yang menjadi pembatas dengan jalan raya menghentikanku. Ternyata aku sudah sampai di taman yang ada di samping rumah sakit. Sekeliling taman dipagari oleh tanaman yang merambat ke tembok. Aku memutuskan untuk duduk di bawah salah satu pohon besar di samping tembok itu. Dan menangis sendirian di sana dalam waktu cukup lama.

Tiba-tiba ada seorang perawat wanita berbaju serba putih menghampiriku. Aku terus menangis dan tak menghiraukan saat dia mencoba mengajakku bicara. Dia mengusap kepalaku lembut dan menghiburku. Suaranya amat menenangkan.

"Nggak papa kamu boleh nangis sepuasnya, itu hak kamu, Dik. tapi nanti habis nangis kamu pasti lapar. Ini ada coklat."

Perawat wanita itu mengangsurkan sebatang coklat ke tanganku.

"Jangan lupa dimakan ya. Kak Sha pergi dulu."

Perawat itu pergi tanpa sempat ku lihat wajahnya. Tapi aku bisa dengar tadi dia menyebut namanya, Sha.

***

"Siapa bilang?" celetukku menyela ucapan Maria.

Maria dan Sha tengah ngobrol di ruang makan saat aku dan ibu memasuki ruangan itu tanpa sepengetahuan mereka berdua.

Aku sampai menahan napas mendengarkan isi percakapan Sha dan sahabatnya itu. Sementara ibu malah tersenyum menggoda ke arahku. Tadinya aku ingin mendengarkan sampai habis obrolan mereka, tentu saja aku yang sedang mereka bahas, aku ingin tahu dengan pasti bagaimana pendapat Sha tentangku. Tapi aku tak tahan untuk tidak berkomentar saat Sha dengan gamblangnya bilang jika aku tak mungkin menyukainya.

Oh, God.

Aku menyukainya. Tentu saja. Aku telah menyukainya sejak lama. Sejak aku menerima sebatang coklat darinya. Sejak itu aku menyukainya. Tapi tak pernah berani menampakkan diri lagi dihadapannya. Apalagi mengutarakan perasaanku padanya. Siapa aku? Hanya seorang anak SMA yang diam-diam menyukai seorang gadis yang usianya lima tahun lebih tua dariku. Aku takut dia akan menganggapku aneh. Mungkin dia akan berpikir jika aku hanya main-main tentang perasaanku. Cinta monyet anak remaja.

Aku bisa melihat rona merah menjalar di wajah Sha saat dia menyadari kehadiranku dan ibu di belakangnya.

Ekspresi tegangnya membuatku geli. Aku ingin tertawa rasanya. Namun sekuat daya kutahan. Sha pasti sangat malu sekarang. Dan jika tawaku lepas mungkin dia bisa saja marah atau merajuk.

"Se..jak ka..pan.. Ibu ada di sini?" tanya Sha terbata.

Astaga kenapa justru dia bertanya pada ibuku. Padahal aku yang ada di depannya. Bahkan Sha menghindari tatapanku. Membuang pandang ke arah lain.

"Barusan koq, Sha," jawab ibu santai. Seolah dia tak sedikitpun mendengarkan percakapan Sha dan Maria yang tak sengaja kami dengar tadi.

"Ah, iya ibu lupa bilang tadi anak-anak ingin dibacakan dongeng sama Maria. Mereka sudah nungguin kamu, Mar."

Ibu berdehem cukup keras. Dan mengedipkan mata pada Maria yang juga berdiri kikuk di samping Sha.

Seolah paham dengan kode yang ibu berikan, Maria dengan ringan berkata, "Siap, Bu. Maria akan segera ke sana."

Dan tanpa ada basa-basi lagi Maria dan ibu langsung ngacir ke luar ruang makan meninggalkan aku dan Sha berdua.

Suasana langsung berubah canggung. Baik aku dan Sha tak ada yang bersuara. Diam terpaku di tempat masing-masing.

Tuhan, ke mana keberanian yang sudah aku siapkan sejak tadi malam. Bukankah ini waktu yang sudah aku nantikan. Hari ini, ya hari ini aku ingin segera menyatakan perasaanku pada Sha. Entah memang dia sudah sadar sendiri atau dia akan terkejut saat aku mengatakannya nanti.

Detik-detik terbunuh sia-sia tanpa ada satupun kalimat yang bisa aku ucapkan.
Susah payah ku kumpulkan keberanianku hingga berhasil berkata, "Sha, aku...aku.. "

Ya Allah, kenapa aku jadi ikutan gagap. Nyaliku jadi ciut saat melihat kepanikan di wajah Sha. Dia duduk amat gelisah. Sepertinya wanita ini ingin segera pergi dari hadapanku. Apa aku sebegitu menakutkannya baginya. Aku meringis. Jangan-jangan dia masih tak bisa menerima kesalahanku dulu.

Hatiku jadi bimbang. Apakah ini saat yang tak tepat. Haruskah aku menunggu lebih lama lagi sampai Sha bisa menerima kehadiranku dalam hari-harinya. Sampai dia bisa melihatku tanpa ada rasa menyalahkan. Terkadang aku merasa jika Sha masih membenciku meski dia bisa bersikap biasa-biasa saja saat kami bertemu.

"Aku..ingin..kita.."

***

SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang