Chapter 9

15.1K 1.1K 39
                                    

Kondisi Nina semakin memburuk. Dia mengalami Hyperemesis Gravidarum, mual muntah berlebihan selama kehamilan. Setiap memakan sesuatu, tak sampai satu menit, lambungnya langsung bergolak dan makanan itu kembali dikeluarkan. Karena tak ada makanan yang masuk ke perutnya membuat muntahnya semakin parah.

"Ayo kita ke rumah sakit, tubuh kamu udah makin lemah."

Berulang kali aku membujuk Nina. Tapi tak diindahkannya. Sklera matanya nampak putih pucat. Nina juga mengalami hipotensi, tekanan darahnya hanya 80/60mmHg pagi ini.

"Nggak, Ka Sha. Nina di sini aja. Nanti beli obat yang kakak kasih kemarin lagi. Biasanya habis minum obat agak mendingan," tolak Nina.

"Duh, Nina. Kamu udah dehidrasi berat gini, nggak bisa kalo cuma di rumah. Kamu harus dirawat, ya!" Aku masih tak menyerah untuk membujuknya.

Tapi Nina benar-benar keras kepala. Bujukanku tak mempan sama sekali. Aku hampir frustasi untuk membujuknya.

"Kalo ke rumah sakit, nanti Ibu Melinda bisa tau kalo Nina hamil. Nina nggak mau Ibu Melinda sampai tahu, Kak," Linda memelas padaku.

"Please, Kak Sha, jangan biarin masalah ini ke bongkar. Nina takut Bu Melinda marah. Nina benar-benar bisa kehilangan pekerjaan. Nina nggak mau itu terjadi."

Aku jadi kebingungan menghadapi Nina. Aku perlu orang lain untuk membantu membujuknya.

"Lebih baik kita jujur aja sama Bu Melinda. Kita nggak mungkin selamanya merahasiakan hal ini dari dia. Perut kamu bakalan makin besar, Nina."

Mendengar ucapanku justru Nina menjadi semakin gelisah. Bahkan dia bertingkah seperti orang linglung. Ku sentuh tangan Nina untuk menenangkannya. Tangan itu basah oleh keringat namun begitu dingin. Nafas Nina mulai tersengal.

"Jangan Kak, Bu Melinda bisa bunuh Nina kalo sampai tahu."

Aku terperangah. Bagaimana bisa Nina bisa berpikiran seperti itu pada Bu Melinda. Dari perspektif ku tak mungkin Bu Melinda akan bersikap seperti apa yang dipikirkan Nina. Bu Melinda sosok yang baik, sabar dan perhatian pada orang lain. Pun Nina yang sudah dia bilang seperti adiknya sendiri karena sudah bertahun tinggal bersamanya. Satu kesalahan yang kali Nina lakukan, mungkin masih bisa dia maklumi. Mungkin dia akan memaafkan.

"Nggak bakalan gitu, Nina. Bu Melinda kan orang yang baik. Kamu tahu itu kan?" Aku berusaha meyakinkan Nina.

"Makanya kamu bilang sama Kakak siapa yang hamilin kamu? Biar nanti kakak bantu buat cari dia. Kamu nggak bisa menanggung semuanya sendiri. Pacar kamu harus bertanggungjawab. Dan mungkin Bu Melinda bisa membantu kita. Dia memiliki jaringan pergaulan yang luas. Jika pacar kamu kabur, pasti dia bisa membantu melacak dengan mudah. Atau kita lapor polisi saja."

Mata Nina terbeliak. Dia menatapku horor. Kepalanya menggeleng dengan kuat dengan tatapan memelas.

Aku tak mengerti kenapa Nina masih ingin melindungi lelaki yang tak bertanggungjawab itu.

Kemudian Nina menarik nafas berat. Meraih tanganku, "Apapun yang terjadi, jangan bilang hal ini sama Bu Melinda. Janji ya, Ka!" Nina memaksa menyatukan kedua jari kelingking kami.

Aku dilanda kebingungan. Apakah aku harus menuruti permintaan Nina. Hati kecilku ingin menolak, tapi akhirnya aku tetap memenuhi keinginan Nina. Merahasiakan jika dia tengah berbadan dua.

Sore hari saat aku ingin mengantarkan teh hangat untuk Nina, aku terkejut karena menemukan Nina terbaring di depan toilet.

Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu Ibu Melinda. Ibu Melinda sangat terkejut melihat kondisi Nina. Dengan tanggap dia memanggil ambulan untuk segera membawa Nina ke rumah sakit. Ku lihat rasa khawatir menggelayut di mata cantik Bu Melinda. Dia bahkan tak melepaskan genggaman tangannya dari Nina saat roda mobil berwarna putih itu beranjak meninggalkan kediaman Bu Melinda.

SHA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang