Sebulan berlalu sejak Aqly melamarku dan aku yang meminta tangguhan waktu untuk memberi jawaban. Hingga saat ini pun aku masih tak punya jawaban. Istikharah yang kulakukan tak mampu membuat hatiku yakin untuk menerimanya. Masih ku ingat kata-kata sakral itu terucap meski diucapkannya dengan terbata-bata.
"Sha, aku ingin kita nggak hanya sebagai teman. Mungkin ini terlihat mendadak buat kamu. Tapi aku sudah lama menyukaimu. Dan.. dan.. "
Aqly lama terdiam. Hening. Hening yang membuat hatiku semakin gelisah. Aku duduk tak tenang. Seakan ada bara api di bawah pantatku. Aku dihinggapi kegugupan amat sangat menunggu Aqly menyelesaikan ucapannya.
"Singkatnya, aku ingin melamar kamu buat jadi pendamping hidupku," ucap Aqly cepat. Mungkin dia melakukannya karena rasa grogi yang dirasakannya.
Wajah frustasi Aqly berubah cerah. Dia menarik napas lega. Mungkin dia lega akhirnya bisa mengeluarkan isi hatinya.
Berganti aku yang diliputi rasa bimbang. Berbagai pikiran negatif merubungi otakku. Salah satunya, bagaimana jika dia ingin menikahiku karena rasa bersalahnya padaku karena dia menjadi penyebab kecelakaan sembilan tahun lalu itu?Bagaimanapun aku berusaha mengenyahkannya, pikiran negatif itu tak mampu aku musnahkan dari benakku. Bagaimana jika hal itu benar?
Maria melipat tangan ke dadanya di hadapanku. Seperti biasa dia melakukan tausiyah tentang pentingnya pernikahan dan juga tentang betapa baik dan gantengnya Aqly."Di mana lagi kamu bisa dapatin laki-laki sebaik dan se-handsome Aqly, Sha? Dia tulus sama kamu, aku jamin itu."
Huh, dasar mak comblang satu ini. Disuap berapa dia sama Aqly buat membujukku, rutukku.
"Di mana lagi kamu bakalan dapetin calon mertua seperhatian Bu Wida?" tambah Maria masih semangat empat lima merayuku.
"Di mana lagi kamu bakal dapetin anak-anak segini banyaknya, kalo nggak di sini?" Tunjuk Maria ke arah jendela lebar di belakang kami tempat anak-anak mengintip kami membuat cookies coklat untuk mereka. Mereka nampak sudah tak sabar. Aroma coklat yang menguar dari celah-celah oven, membuat air liur mereka seakan menetes.
"Apa lagi yang kamu pikirin sih, Sha?
Aku nggak ngerti deh. Kamu sendiri kan yang bilang kalo masa lalu itu bukan untuk ditangisi. Kamu masih dendam sama Aqly?"Aku menggeleng cepat. Pertanyaan itu sudah sering aku jawab. Aku memang sudah memaafkan Aqly. Bagaimana mesti kujelaskan pada Maria tentang kekhawatiranku tentang istilah 'hutang' yang ingin dibayar Aqly padaku.
Tuluskah dia mencintaiku. Atau dia hanya ingin menutupi rasa bersalahnya.
Trauma akan kegagalan berumahtangga juga seringkali membuat hatiku bimbang. Bagaimana jika hal itu akan terulang kembali? Bagaimana jika aku tak berhasil menyemai cinta dihatiku untuknya? Bagaimana jika dia seperti mantan suamiku yang dulu, lelah menunggu aku membalas cintanya lalu memilih untuk menyerah dan meninggalkanku?***
Mimpi itu begitu nyata. Aku seakan melihat langsung kecelakaan mobil yang terjadi antara Zain dan pemuda mabuk yang ugal-ugalan mengendarai motornya.
Aku berlari ke arah Zain yang terkapar di tengah jalan dengan banyak darah yang tak berhenti mengalir dari belakang kepalanya. Menggenggam tangan sedingin es itu erat. Tangan itu menepis genggamanku. Membuatku merasakan kehampaan seketika.
Wajah Zain terlihat kabur di mataku karena airmata yang menggenangi pelupuk mataku. Tapi aku tahu dia tersenyum. Senyum yang terlihat sama dari terakhir kali aku melihatnya. Senyum itu perlahan memudar. Seiring kepulan asap yang membubung ke langit. Tubuh Zain menghilang dari hadapanku berganti sosok baru yang terduduk lesu di depanku dengan sorot mata penuh pengharapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHA (Completed)
ChickLit"Udah punya pacar?" tanya dr. Zain sambil masih fokus mengisi rekam medis pasien. Malah aku yang dibuatnya gagal fokus. Apa aku tak salah dengar. dr.Zain bercanda kali. "Be..belum.." jawabku terbata. "Calon suami?" Lah, pacar saja tak punya apalagi...